Aku mager, lagi menstruasi hari pertama. Sejak tadi malam dewi kemalasan telah merasukiku. Aku bahkan nyaris nggak mandi ke sekolah seandainya ayah nggak mengancam akan memberikan bau lipatan bokongnya padaku. Aku yang lebih memilih nyemplung ke bak daripada nyium bau lipatan b****g ayah pun akhirnya mandi.
Sampai di sekolah, aku juga cuma duduk aja. Berdiri buat manggil guru pun malas. Alhasil Hafis yang mirip acar kupaksa menggantikan tugasku sebagai ketua kelas. Walau dia nggak protes langsung, aku yakin si acar ngedumel dalam hati. Kelihatan dari mukanya yang layu kayak mentimun direndem di air garam semaleman.
Si Erika, teman sebangkuku yang biasanya diam akhirnya angkat bicara melihatku malas. Cewek yang lebih mirip lidi-kurus banget dan tinggi serta sempat kukira bisu itu mengeluarkan suara emasnya. Dia murid pindahan sejak tahun ajaran baru. Dan jujur saja, selama semester satu, aku dan dia nggak pernah bicara.
"Na," panggilnya.
"Apa, Rik?" tanyaku.
"Udah istirahat," jawabnya.
"Iya, kenapa? Aku lagi haid, nggak sholat," kataku ngasih info.
"Iya, tahu. Tapi…" Erika menggantungkan ucapannya.
"Tapi apa?" tanyaku heran.
"Aku dapet surat tadi pagi dari anak unggulan," curhatnya.
"Terus?" tanyaku heran.
"Isi suratnya buatmu," jawabnya.
Aku yang lagi rebahan akhirnya membalikkan tubuhku ke arahnya.
"Buat aku?" tanyaku memastikan pendengaranku.
Erika mengangguk mengiyakan.
"Iya, mau kubacain?" tanyanya menawarkan.
"Boleh," jawabku.
"Oke, aku bacain ya," katanya menyanggupi.
Aku mengangguk sekali lagi.
"Oi, Nana Sugimoto, aku tunggu minumanku di kelas. Jangan lama-lama ya, laper dah!" Erika membacakan isi surat yang diterimanya.
"Heh!?" seruku kaget.
"Pengirimnya tertulis Salman Damai ganteng pakai manis plus pinter," Erika menambahkan.
"Cih, dasar narsis!" gerutuku kesal. "Males, lagian ngapain coba dia ngirim surat ke kau, nggak ke aku langsung." Aku membalikkan tubuhku lagi. Pengen tidur sambil ngadep jendela, jadi nggak ada yang tahu kalau aku ileran pas tidur.
"Na, belum selesai," tegur Erika. "Pacar, aku akan meminta ayahmu ngebuang komik-komik di kamarmu jika nggak nurut."
"What?!"
Aku segera bangkit lalu bergegas menuju kantin setelah mengambil minuman instan yang Damai berikan kemarin. Sampai di kantin aku langsung menemui Mang Dudung.
"Mang, minta gelas plus air hangat ya," pintaku.
"Oke," sahut Mang Dudung yang rupanya udah paham. Sepertinya Damai memang sudah mengatakan padanya jika aku akan datang untuk mengambil gelas berisi air hangat.
"Nih, Neng!"
"Makasih," kataku sambil mengambil segelas air hangat yang mang Dudung berikan.
"Rp3.000, Neng."
"Eh?" Aku melongo, kaget.
"Rp2.000 buat nyewa gelasnya, Rp1.000 buat air panasnya," jelasnya.
"Lah, nggak gratis?" tanyaku.
"Mas Damai bilang bakal nyewa selama sebulan dan yang bayar pacarnya. Adek pacarnya kan?" Mang Dudung balik bertanya, bingung.
Aku terdiam, shock.
"Bukan?"
"Pacarnya, kok," jawabku cepat.
"Yaudah, mana uangnya?" pinta Mang Dudung.
Aku terpaksa memberikan uang sakuku yang terakhir. Sebenarnya tinggal Rp3.500, jadi dikurangi 3000 sisa uangku sekarang hanyalah uang kerokan.
Setelah membuatkan Damai minuman, aku segera pergi ke kelasnya. Tiba di depan kelasnya ternyata kelasnya masih sepi, mungkin dia lagi sholat dhuhur.
"Heh, ada aliran sesat nih nyasar!" teguran itu membuatku menoleh cepat.
Aku pindai sebentar, rupanya April.
Nama lengkapnya Aprilia Godell, seperti namanya wajahnya mirip ondel-ondel. Dibilang cantik maksa dibilang jelek dosa. Dia juara fisika sekaligus si juara lomba karaoke di acara sekolahku dulu. Dia-cewek paling nggak suka aku, alasannya aku pun nggak paham. Mungkin kabel otaknya konslet. :v
"Apaan, Pril?" tanyaku BT.
"Ngapain ke sini?" Dia balik nanya dengan jutek.
"Mau ketemu Damai, nggak mungkin kamu," jawabku nggak kalah jutek.
"Dih najis, nggak lelah kau ngejar-ngejar Damai?" sahut seorang cewek lainnya nggak kalah ketus.
Aku perhatikan seksama, mengingat siapa dia. Ternyata, si Mar—Fina atau siapapun nama panggilannya. Pernah ketemu aku di perpustakaan tempo hari. Mukanya biasa aja. Hanya saja hidungnya berlebihan karena sedikit keturunan Arab.
"Heh Marimar, aku udah sering ke kelasmu selama ini tapi nggak ada bacaan suci, tuh! Sejak kapan kelasmu jadi musholla?" balasku.
Marimar alias Fina mengatubkan bibirnya sembari mengepalkan tangan, bahkan melakukan gerakan seolah mau menonjok.
"Apa? Mau nonjok aku? Tonjok sini, aku siram kau!" tantangku.
"Dasar nggak tahu sopan santun," sahut Fina.
"Iyalah, aku tahunya cuma almarhum sopan sofian," balasku.
"Kau.." Fina geram.
"Udah!" April menahan Fina yang nyaris maju.
"Jaga mulutmu, ya! Lain kali aku lakban mulut kau pake batu!" ancam Fina lalu masuk ke kelasnya.
"Katanya unggulan, tapi mau ngelakban pake batu. Dia udah jadi d***u?" gerutuku kesal.
April dan Fina pun masuk. Sisanya cuma tinggal seorang cewek yang nggak gendut, atau kurus. Wajahnya biasa aja. Dia melihatku dari atas ke bawah.
"Aku Kafi," katanya memperkenalkan diri.
"Nana," sahutku.
"Ya, aku tahu. Kau pacarnya Damai?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Udah berapa lama pacaran?" tanyanya lagi.
"Setahun, kenapa?" jawabku balik nanya.
"Nggak mau putus?" sindirnya.
"Nggak, tuh," sahutku tegas.
"Yah, padahal Damai pantesnya sama Sisil," katanya agak kecewa.
"Kenapa kok gitu?" tanyaku heran.
"Karena Sisil lebih cantik, pintar dan kaya dibanding kau. Dia yang harusnya jadi ratu di hatinya Damai, bukan rakyat jelata sepertimu," jawabnya dengan percaya diri.
"Damai maunya sama aku, bukan dia, trus kau mau apa?" tantangku.
Kafi hanya tersenyum sinis.
"Lihat aja, aku pasti bisa membuat Damai jadian sama Sisil. Siap-siap aja!" katanya bersungguh-sungguh.
"Ah, Nana! Mau ketemu Damai ya?"
Aku menautkan alisku. Si Kafi mendadak kesambet.
"Heh?"
"Ah, Mai! Pacarmu nyari nih!" katanya sembari melambai-lambaikan tangan.
Aku menoleh ke belakang dan melihat si iblis kecil yang lagi jalan mendekat bareng si mie keriting dalam helm dan batok kepala.
Damai yang dipanggil pun langsung berlari kecil sambil melambaikan tangan. Iblis kecil itu bahkan memamerkan deretan giginya yang putih dengan melakukan senyum lebar ala iklan. Aku yang melihatnya begitu hanya mampu tersipu sambil membalas senyuman dan lambaian tangannya.
Si iblis kecil makin mendekat dan lewat gitu aja.
"Kafi, kafi, nanti belajar bareng?" tanya si iblis kecil dengan tingkah anak-anaknya.
Kafi menggigit bibirnya, menahan tawa sambil melihatku dengan tatapan mengejek.
"Iya, Mai. Kita kan harus persiapan buat OSK, secara tahun lalu kamu sang juara 1 dan aku juara 3," katanya.
"Oke, oke, kau mau bantuin aku bikinin aku soal nggak?" tanya Damai pada Kafi.
Kafi mengangkat tangannya lalu membentuk isyarat dengan jarinya seolah berkata 'ok'. Si iblis kecil kegirangan.
"Asyik," serunya girang.
Mereka mulai mengobrol asyik dan aku jadi mirip teratai yang lagi liatin katak pacaran.
"Sabar, Na," hibur Fahri yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatku.
"Iya, makasih," sahutku.
"Damai emang gitu, nggak peka banget, parah!" Iqbal menimpali.
"Nggak apa-apa, udah biasa," kataku maklum.
"Kok kamu kuat?" tanya Fahri heran.
"Eh, ngomong-ngomong itu cincin kayaknya nambah ya," kata Iqbal sambil menunjuk jariku.
"Dikasih Damai," sahutku malu-malu.
"Wih, kaya amat dia sampe ngasih cincin emas," kata Fahri setengah nyindir dan kagum.
"Emang kaya kan? Walau suka kere," celetuk Iqbal.
"Iya sih," ucap Fahri setuju.
"OSK ikut kan Na?" tanya Fahri.
"Iya, ikut. Kau?" kataku balik nanya.
"Ikutlah."
"Kimia?" tebakku.
Fahri mengangguk mengiyakan.
"Kalau kau, Bal?" tanyaku pada Iqbal.
"Biologi."
"Bah, pelajaran berat semua. Herannya kok rambut kalian nggak ada yang botak atau ubanan ya?" kataku kebingungan.
Fahri dan Iqbal yang mendengar ucapanku tertawa geli.
"Yaelah Na, doanya gitu amat."
"Heran aja, bukan doain," sanggahku.
"Oi, Pacar! Tettettet ya, ada pacar juga malah genit," ketus Damai sambil menghampiriku.
"Hah?"
"Ini minumanku, nih?" katanya langsung fokus sama minumannya yang kupegang sejak tadi.
"Iya, minuman…"
"Oke," potong Damai lalu mengambil mninuman di tanganku dan meneguknya sampai habis.
"Nih! Udah habis! Balik sana!" usirnya.
Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat.
"Ini! Malah bengong," katanya sembari meletakkan gelas secara paksa di tanganku. "Balik sana!"
Aku menghela napas panjang lalu melangkah pergi.
"Kasihan, Mai," kata Fahri berempati
"Biarin," sahut Damai sewot.
Oke, Mai. Hari ini masih aku liatin. Nggak tahu besok, berharap aja aku nggak jadi gila