5

1210 Words
Hari ini untuk pertama kali, aku membenci yang namanya sistem timbal-balik. Aku merasa bahwa sesuatu yang kita dapatkan dari orang lain bukanlah sebuah alasan untuk membalasnya. Tidak ada hutang budi, hutang Ani apalagi hutang-hutangan. Nggak ada! Aku tahu sejak dulu kalau Senin itu adalah hari kesialanku tetapi tidak menyangka akan separah ini. Aku telah kering, kerontang bahkan nyaris jadi pohon merangas di musim kemarau. I'm dry and dying. Semuanya karena dia, si iblis kecil itu!! Tadi—aku sengaja ke rumahnya pagi-pagi. Dengan membawa kue tart yang dibeli dengan menghemat uang sakuku selama setengah bulan, ingin memberikan dia kejutan di hari spesial kami. Yups, ini adalah hari anniversary kami yang ke-1 tahun. Aku membawa kue itu ke rumahnya setelah mengemis-ngemis pada Ayah agar dianterin ke rumah Damai naik mobil. Tapi yang terjadi malah di luar ekspektasi. Wajah happy, kaget dan penuh rasa haru yang aku bayangkan lenyap dalam sekejap saat dia melihatku dengan wajah cemberut. "Ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya si iblis kecil dengan wajah masih ngantuk dan beberapa kali menguap tanpa menutup mulutnya. Nggak bau sih, nggak bau. Beneran. Bau jigong pun kalau Cogan keciumnya kayak wangi mawar, harum-harum mematikan. Meski begitu, aku kesal. Soalnya ngerasa dia nggak sopan aja nguap depan aku. Tapi apa peduliku? Ini Damai, udah biasa. Biasa nggak peka. "Oi, Pacar, ada apa?" tanya Damai lagi. "Happy anniversary," seruku girang. Walau terkesan garing. Damai melongo. Krik krik krik Suara tangis jangkrik. "Kan udah dirayain kemarin, kukasih hadiah juga kan? Kurang?" tanya Damai sambil mengusap-usap matanya. "Iya sih, tapi kan ini hari jadian kita yang sebenarnya. Aku cuma mau ngerayain bareng sama pa…" "Kayak anak alay, deh! Nggak usah lebay!" potong Damai yang langsung membuat sarafku kejepit seketika. Alay? Lebay? Oi, kau amnesia? Situh yang maksa ngerayain anniv tiap bulan?!! Bangun, jangan tidur! Aku pandang si iblis dengan wajah murka, saat dia nggak lihat. "Apa? Ngedumel lagi kau?" tuduhnya. Aku langsung geleng-geleng kepala. "Ng-nggak kok," bantahku. Damai menyipitkan matanya. "Serius?" tanyanya masih nggak percaya. Aku mengangguk. Damai diam, mikir bentar sambil melihat kue di tanganku, bukan aku. "Ini rasa cokelat?" tanya Damai sambil menunjuk kue yang sudah selesai dia scanning. Aku mengangguk mengiyakan. "Aku nggak begitu suka cokelat," katanya. Aku menghela napas berat, kecewa. "Tapi aku suka cherry-nya," lanjutnya Damai lalu memunguti buah cherry yang ada di atas kue tart yang aku bawa. Dia mulai memasukkan buah cherry itu satu per satu ke mulutnya. Dia kunyah, telan, masukin lagi, kunyah, telan. Gitu terus sampai cherry-cherry itu lenyap dan amblas ke lambungnya. Padahal, jika boleh jujur, aku juga pengen nyicip meski cuma satu. Separuhpun nggak apa-apa. "Mau?" tanya Damai saat dia lagi ngunyah cherry yang terakhir. "Mau, tapi kan udah kau makan," sahutku sambil menelan ludah. "Nah itu tahu, jadi nggak usah pengen. Beli aja lagi kalau mau. Aku nggak ada uang," pungkasnya membuatku ingin banget menghantamkan kue di tanganku ke mukanya. "Kuenya masih mau dikasih lilin, nyalain api, ditiup dan dipotong?" tanya Damai dengan nada sedikit kesal. Aku menggeleng. "Nggak usah deh," kataku peka melihat ekspresi Damai yang seolah berkata 'nggak usah acara gituan. Alay'. "Bagus," katanya sambil senyum. "Oh iya, kuenya buat aku?" tanyanya. Aku mengangguk. "Yaudah aku terima kuenya ya," kata si iblis kecil lalu mengambil kue yang kupegang. "Makasih ya. Aku berangkatnya bareng Arin, kau berangkat duluan sana," katanya menimpali. "Heh?" Pintu ditutup dan aku hanya menganga dengan wajah oon. Aku ngerasa aneh, kayak ada kerikil di paru-paruku. Nyesek-nyesek batuk. Sedetik, dua detik sampai setengah menit dan pintu rumah Damai masih sama, tertutup dengan sempurna. Dia beneran menyuruhku berangkat sendiri setelah mengambil kue anniversary kami yang ke satu tahun. Dasar Iblis kecil!!! Aku menghela napas panjang, mencoba menimbulkan sugesti positif agar tidak marah. Aku tidak ingin hari bahagiaku sirna. Ngarepnya begitu. Tapi Damai akan selalu jadi Damai. Dia adalah iblis kecil yang memang minta dibacaan surat Yasin tiap malam Jum'at, tepat sebelum upacara bendera dimulai, dia datang menemuiku. Awalnya aku pikir dia mau meminta maaf tetapi bayanganku ternyata jauh sekali. Sepertinya aku nggak bakat meramal sikap Damai walau dia adalah pacarku. "Oi, Pacar," sapanya ramah. Aku hanya diam, masih ngambek karena tadi disuruh berangkat sendiri. “Pacar,”panggilnya lagi. "Apa?" sahutku BT. "Pacar nyapa ramah kok malah jutek gitu?" protes Damai. "Bodo," sahutku sewot. "Nggak boleh ngomong gitu. Nggak baik," kata Damai mengingatkan. Aku diam, mencerna kata-kata bijak si iblis kecil. "Jangan ngomong gitu lagi ya," pesannya. "Oke," kataku mengiyakan. "Nah kalau gitu kan cantik," puji Damai sambil senyum ganteng. Aku hanya tersenyum tipis, tersipu malu. Ah, benar-benar cogan idaman. Luluh hatiku bang karena senyum browniesmu. Bodo amat sama yang tadi pagi. "Ah iya, ada topi?" tanya Damai tiba-tiba. Aku menautkan alisku. "Topi sekolah?" tanyaku. Si iblis kecil mengangguk dua kali. "Ada," jawabku. "Mana?" pinta Damai. "Bentar," kataku lalu ke bangkuku untuk mengambil topi sekolahku. "Nih," kataku menunjukkan topiku. "Sip. Pinjem," kata Damai seraya mengambil topi yang sedang aku pegang. Dia melambaikan tangan lalu berlari pergi ke kelasnya, meninggalkan aku yang masih belum sadar dengan apa yang terjadi. Aku tercenung beberapa saat hingga akhirnya menyadari kalau itu topi satu-satunya dan sebentar lagi upacara. Endingnya jadilah aku yang sekarang. Kluwer-kluwer kayak mujair keluar dari air. Aku yang aslinya punya topi, harus berdiri bersama JPTL ( Jajaran pelajar atribut tidak lengkap ). Kami dibariskan lurus dengan terik matahari yang bersinar cerah sebagai hukuman. Tidak hanya itu, setelah upacara selesai masih disuruh lari lapangan tiga kali. Na'asnya aku juga disuruh berdiri di dekat tiang bendera karena menguap saat Pak Taufiq ngasih siraman rohani pagi. Begitulah ceritanya mengapa aku sekarang sudah jadi pindang kering dan sekarat nyaris coid. Upacara telah usai. Aku yang sudah selesai dihukum segera pergi ke kantor guru, berniat memanggil guru pelajaran selanjutnya. Tapi batal saat melihat Hafis sudah bersama Mr. Dayat, guru bahasa Inggris kelas XI. Aku mengubah tujuanku, mau ke kantin. Beli air, haus. Belum sampai di kantin, tiba-tiba si iblis kecil datang. "Ai," sapanya dengan wajah tampan tanpa dosa. "Ho?" "Makasih," katanya sambil memberikan topiku kembali. "Ya," sahutku singkat, masih marah karena aku harus dihukum demi menolongnya. "Topiku ilang, makanya aku minjem punyamu," katanya menjelaskan tanpa diminta. "Oh," sahutku malas. "Kok jawabnya singkat?" tanya Damai heran. Dia beneran minta dilindes Slender kayaknya biar peka dikit. "Ngomong dong, kok marah?" tanyanya lagi. "Nggak apa-apa, aku nggak marah," elakku. "Bohong!" sergah Damai. "Ayo ngomong kalau marah. Kenapa?" tanya Damai ngotot. "Bah, apa sih? Aku nggak apa-apa, lagian ngapain coba aku harus marah ke kau?" balasku. "Ya siapa tahu aku bikin salah yang bikin sakit hati," kilah Damai. "Nggak tuh, hatiku masih sehat. Belum kena hepatitis," sanggahku mulai emosi. "Bagus, deh" kata Damai sambil senyum. "Kok bagus?" tanyaku heran. "Daripada kamu sakit, mending aku aja yang sakit," jawabnya yang membuatku merasa mendadak digombali. Pipiku menjadi terasa panas. Baper. "Ciyee, malu-malu nih," goda Damai. "Apa sih," seruku salah tingkah. Wajahku pasti sudah berubah menjadi merah. "Pacar, kalau aku bikin salah langsung ngomong ya. Aku nggak paham kode atau telepati cewek," katanya setengah meminta. Aku mengangkat satu jempol tanganku. "Oke," kataku menyanggupi. "Ah, boleh minta tolong?" tanya si iblis kecil sambil senyum. Aku bergidik ngeri, entah kenapa merinding kayak ketemu setan penunggu toilet mendengar kata itu darinya. Firasatku buruk. "A-apa?" tanyaku sambil keringet dingin. "Buatin minuman ini di jam istirahat pertama," kata Damai sambil memberikanku serenteng minuman instan yang biasa diminum untuk menunda lapar. Bukan promo, jadi tebak aja sendiri. "Banyak amat," keluhku. "Mau diminum semua nih?" Si iblis kecil mengangguk. "Yups, tiap hari bawain ke kelas ya di jam istirahat pertama. Aku nggak sarapan, jadi suka laper," jawab Damai. "Ah iya, gelasnya minta aja sama mang Dudung. Aku udah nitip gelasnya tadi. Sekalian minta air hangat lalu buatin aku itu ya. Makasih Pacar. Dah," kata Damai menimpali. Si iblis kecil pun mencubit gemas pipiku dan pergi meninggalkan aku yang masih diam. Shock. Aku memandang minuman instan yang Damai berikan di tanganku. Benar-benar aku sudah jadi pacar serba-serbi. Mungkin karena itu Sari menjulukiku Strong ( Stress nggak mau ditolong ). Help Me, Please. Hiks.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD