"Xiao Rou." lelaki albino itu kembali memanggil namaku.
"Menjauh dariku," ucapku sambil menjauh darinya.
"Xiao Rou," panggilnya lagi, aura dingin yang begitu menusuk keluar dari tubuhnya.
Lelaki itu berjongkok sambil menatapku. Menatapku? Tidak, ia tidak dapat melihatku.
"Mengapa kau takut pada para lelaki?" tanyanya lembut.
Baru kali ini aku mendengar suaranya yang melembut, lelaki albino itu adalah Ren Xi. Lelaki bersurai putih yang selalu dijauhi oleh semua orang karena kebutaannya. Meski wajahnya tampan, sayangnya ia terlahir buta.
Tetapi, ada satu keanehan yang membuatnya seperti bisa melihat seseorang. Ia bisa melihat darahku.
"Kau terluka, lagi-lagi kau mencoba kabur," katanya sambil lihat ke arah kakiku.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku penasaran.
"Entah, sejak kehadiranmu di sini samar-samar aku bisa melihat sesuatu meskipun masih terlalu gelap," jawabnya seperti biasa tanpa senyum di wajahnya.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanyanya sambil duduk bersila menatapku.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanyaku gugup.
Gugup? Tentu saja, Ren Xi selalu memasang dinding tak kasat mata sehingga semua orang tidak dapat mendekatinya, termasuk diriku.
"Mengapa kau takut sekali dengan pria tampan? Aku bahkan tidak mengetahui rupaku seperti apa," tanyanya dengan ekspresi datar.
"I-itu karena aku membenci mereka," jawabku gugup, aku tidak ingin ia mengetahui siapa diriku sebenarnya.
"Katakan saja, aku tidak akan mengatakannya pada siapa pun," ucapnya sambil memetik bunga yang berada di sisinya.
"Kau benar-benar pemaksa, Pangeran Ren Xi," jawabku sedikit kesal dan baru kali ini aku melihatnya tertawa meski sebentar.
"Aku hanya penasaran, mengapa kau begitu takut pada pria tampan?" jawabnya lagi.
"Karena mereka aku takut pada pria tampan, karena mereka aku tidak dapat hidup tenang. Karena mereka tampan, mereka merasa dapat memiliki banyak wanita. Karena mereka tampan, setelah mendapati kedudukan mereka, mereka ingin membuangku." Aku tidak mengerti apa yang aku katakan, setidaknya aku sudah memberitahunya.
"Mereka? Siapa 'mereka' itu?" tanya lelaki albino itu penasaran.
"Delapan orang yang ingin mendapatkanku sekaligus menyingkirkanku," jawabku setengah berdesis.
"Aku tidak akan bertanya lebih jauh dari itu, aku memiliki pertanyaan lain untukmu." Aku memiringkan sedikit kepalaku dan menatap bingung ke arah lelaki albino itu.
"Apa kau cantik?" tanyanya begitu saja membuatku tidak mengerti apa maksud dari pertanyaannya.
"Aku tidak tahu, aku rasa aku berwajah biasa saja," jawabku dan lelaki albino itu mengangguk.
"Berarti kau sangat cantik," katanya membuatku bingung akan maksud dari perkataannya.
"Lalu, apakah aku tampan?" tanyanya lagi.
"Ya, kau begitu tampan dengan rahang yang tegas membuatmu terlihat dingin dan angkuh. Ketampananmu begitu terlihat indah," jawabku tanpa sadar.
"Tetapi, sayangnya aku tidak dapat melihatmu bahkan tidak berniat memilikimu," ucapnya dan kini aku mengerti apa yang ingin ia sampaikan.
"Jadi, apakah kau akan tetap takut padaku?" Ya, mengapa aku harus takut pada lelaki yang bahkan tidak dapat melihatku.
"Tidak," jawabku seketika, lagi-lagi lelaki itu tersenyum.
Meski ia buta, Ren Xi tampak seperti orang normal yang dapat melihat.
"Kalau begitu, jika kau terkena serangan traumamu itu lagi datanglah padaku. Aku akan membuatmu lebih baik," ucapnya dengan senyum menawan.
Entah mengapa aku mempercayainya, dan entah mengapa aku mulai menyukainya.
***
Aku terbangun dari tidurku dan mendapati Jendral Guan Fei yang sedang duduk tertidur. Ternyata ini sudah malam, mimpi tadi mengingatkanku pada Ren Xi. Pangeran Albino yang buta akan tetapi, ketampanannya membuatnya terlihat sempurna. Lelaki tampan yang bahkan tidak berniat memilikiku, itulah yang aku inginkan.
Tetapi, sialnya aku menyukainya hanya karena ia tidak ingin memilikiku. Kembali ke dunia nyata, mungkin aku tidak akan bertemu kembali dengan sang Pangeran. Hidupku akan terkurung di tempat yang mereka sebut dengan Istana.
Tempat yang begitu nista, di mana mereka mementingkan harta, tahta, dan wanita. Aku membenci mereka, mereka yang mengaku sebagai Kakak terbaik untukku. Dan aku adalah seorang Putri Mahkota yang harus menikah dengan kedelapan lelaki itu.
Menyedihkan, aku ingin sekali terlahir di kehidupan rakyat jelata yang bebas menentukan pilihan hidup. Berlari bersama dengan seorang teman di sore hari, begitu indah untuk dipikirkan. Tetapi kenyataan kembali menamparku dan menarikku ke dalam jurang kesengsaraan.
"Putri, Anda sudah sadar?" tanya Jendral Guan Fei, aku meliriknya sebentar dan kembali menatap langit-langit kediamanku.
"Apa yang terjadi?" tanyaku lirih.
"Anda terkena serangan trauma itu lagi, Putri," jawabnya dan Jendral itu berjalan ke arahku.
"Ahh, aku mengingatnya. Si Pangeran b******k itu terlalu dekat dengan wajahku," jawabku kasar.
Sejak kapan aku bisa sekasar ini? Tetapi, aku menyukainya.
"Putri, tidak baik berbicara seperti itu." Aku melihatnya, Jendral itu tidak menyukai perkataanku.
"Maaf, aku hanya terlalu kesal. Tiba-tiba saja ia sudah berada di ranjangku dan berkata jika aku adalah tunangannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, bukankah dia adalah Kakakku?" jawabku dan kulihat wajah tidak sukanya mulai melunak.
"I-itu ...." Kulihat Guan Fei tidak dapat menjawab pertanyaanku.
"Guan Fei?" panggilku sambil mencoba duduk dan ia kembali tersentak.
"Maafkan saya, Putri. Saat ini lebih baik Anda memikirkan kesehatan Anda," jawabnya sambil sedikit menunduk.
"Baiklah, aku mengerti kau tidak ingin membicarakannya," jawabku lemah.
Ahh, aku merindukan kamarku di istana Xia Pi. Tidak ada lelaki yang berkata kasar ataupun menatapku tajam selain Ren Xi. Sedangkan di sini, mereka semua terlihat tidak menyukaiku sejak dulu. Meski kedelapan Kakakku sangat menjagaku dan bahkan mungkin mereka mencintaiku.
"Putri." Aku menoleh dan menatap sang Jendral.
"Apa Putri ingin menceritakan sesuatu? Mungkin saat Anda berada di wilayah Kerajaan Xia Pi." Aku tahu, Guan Fei ingin mencari informasi tentang sesuatu.
"Apa ada yang terjadi saat aku tidak sadarkan diri?" tanyaku langsung dan mendapatkan anggukan darinya.
"Anda terus saja memanggil seseorang bernama Ren Xi, apakah saya boleh mengetahuinya, Putri?"
"Ren Xi ...," aku tersenyum dan tertawa kecil. "... dia adalah lelaki tampan yang dapat menyembuhkanku dari trauma menyebalkan itu," jawabku dan kulihat kedua mata Jendral itu terbuka lebar.
"A-apa maksud Anda, Putri?"
"Mungkin trauma ini akan hilang jika aku terus bersamanya," jawabku, aku yakin Guan Fei akan melaporkannya pada para Pangeran.
"Hamba akan mengusahakan pemuda bernama Ren Xi datang di hadapan Anda. Kesehatan Anda adalah yang utama."
"Tunggu, apa kau ingin mati dengan memanggil lelaki itu?"
"Apa maksud Anda, Putri?"
"Guan Fei, aku yakin para Pangeran tidak akan membiarkan temanku itu datang ke istana."
Teman? Ahh, bolehkan aku menganggapnya teman?
"Anda benar, Putri. Maafkan saya yang tidak mengetahui situasi Anda."
"Apakah kau bisa membantuku untuk mengirimkan surat padanya?"
"Tentu saja, Putri. Saya akan membantu Anda untuk mengirimkan surat pada seseorang yang bisa menyembuhkan Anda."
Guan Fei, seorang Jendral Perang yang sangat loyal terhadap anggota keluarga kerajaan. Kesetiaannya sudah teruji dan ia selalu berada di sisi para Pangeran. Sejak dahulu Guan Fei lah yang menghukumku jika aku berbuat salah. Dan melihat dari keadaan, sepertinya ia merasa bersalah akan diriku yang tidak mengingatnya.
"Terima kasih," jawabku sambil memberikan senyum lembut padanya.
Aku yakin Guan Fei saat ini lebih mudah untuk diajak bekerja sama, maka dari itu aku harus lebih dekat dengannya.
"Hari masih gelap, lebih baik Anda beristirahat, Putri."
"Ya, selamat malam," jawabku lalu kembali merebahkan tubuhku.
"Aku harap saat terbangun tidak ada satu pun dari mereka yang menggangguku."
***
Aku membuka mata saat udara hangat mulai mengusikku, mencoba bangun dan mendapatkan para dayang yang tertunduk menungguku bangun. Di mana Fu Yue? Aku tidak melihatnya sejak kemarin.
"Selamat pagi," sapaku tentunya dengan senyum secerah matahari pagi ini.
"Selamat pagi, Putri," jawab mereka serentak dengan memandang wajahku tidak percaya.
Ahh, aku lupa. Aku tidak pernah menyapa para dayangku, aku yang dahulu sepertinya sangat menyebalkan bagi mereka. Selama tinggal di Kerajaan Xia Pi aku selalu berperilaku baik, mungkin ini yang seharusnya aku lakukan.
"Putri, hari ini para Pangeran ingin bertemu dengan Anda," ucap dayang Yu She.
Aku mengenal mereka, mereka adalah dayang pribadi Ibu. Sepertinya aku benar-benar dijaga ketat kali ini.
"Baiklah," jawabku dengan senyuman hangat.
Mereka pasti akan lebih percaya jika aku seperti ini, karena perilaku ku yang buruk banyak pelayan dan bahkan para Pangeran yang selalu saja menghukumku. Semoga saja mereka tidak berbuat macam-macam yang akan membuat jantungku berpacu lebih kencang.
"Para Pangeran akan datang ke pavilliun milik Anda, Putri. Anda bisa menunggu di sana setelah makan siang." Aku hanya mengangguk tidak lupa dengan senyum untuk mereka.
Mereka terlihat senang akan senyumanku, padahal sebelumnya mereka selalu mengejekku. Setelah makan siang aku bersiap dan diantar ke pavilliun milikku yang sebenarnya aku mengingatnya jelas.
Sudah berapa lama aku meninggalkan istana? Pavilliun ini berubah menjadi begitu indah daripada sebelumnya. Terdapat kolam yang berisikan ikan-ikan yang begitu cantik. Menunggu mereka mungkin akan memakan waktu lama, jadi aku memilih duduk di pinggir kolam dengan menikmati embusan angin di siang hari.
Begitu damai hingga membuatku merasa nyaman, seandainya sejak dulu seperti ini.
"Menikmati siang harimu, Putri?"
Aku membuka kedua mataku dan menoleh ke sumber suara, ternyata mereka sudah berkumpul. Tunggu, mengapa Yuan Xi berada di sini? Oh tidak, jika ia berada di sini berarti akan terjadi bencana.
"Pa-pangeran," jawabku gugup dan langsung saja berdiri memberi hormat pada mereka.
"Ternyata kau benar-benar tidak mengingat kami, Putri Xiao Rou." Aku menoleh ke arah Shi Jing, sang Pangeran keempat.
Jika dahulu aku sering bermanja-manja dengannya, mungkin kali ini aku memilih untuk menghindarinya.
"Maafkan aku," jawabku sambil menunduk.
"Xiao Rou, aku merindukanmu."
Yi Luo, dia mungkin tidak terlihat berbahaya. Tetapi, jika dibandingkan dengan Yuan Xi, ia lebih ingin memilikiku.
"Maafkan aku, apakah kalian bersedia memperkenalkan diri?" kataku dan sepertinya membuat mereka sedikit terkejut.
"Maafkan kami, kau pasti kebingungan dengan sikap kami," kata Shi Jing.
Shi Jing memang selalu yang mengerti situasi dan keadaan, mungkin akan sulit untukku kembali keluar dari istana ini. Bersikap dingin padanya hanya akan membuatnya semakin penasaran, ini akan sulit aku jalani.
"Dia adalah Pangeran pertama sekaligus Putra Mahkota, Sun Liu Jun. Lalu Pangeran kedua adalah lelaki berparas dingin itu, Sun Yuan Xi. Pangeran ketiga adalah lelaki beriris biru, Sun Ding San. Aku adalah Pangeran keempat, Sun Shi Jing. Yang berkata merindukanmu adalah Pangeran kelima, Sun Yi Luo. Pangeran keenam adalah Sun Wu Xin, ia memiliki telinga yang sedikit runcing. Pangeran ketujuh adalah Sun Zhao Lang, lelaki bersurai pendek itulah dirinya. Dan yang terakhir adalah Sun Xuan Tian, ia yang bersurai merah indah itu," jelas Shi Jing.
Aku mengingatnya dengan jelas, Xuan Tian yang mengejarku hingga aku terjatuh dari tebing. Mungkin kali ini mereka semua akan turun tangan untuk menangkapku, jika aku kembali kabur dari istana. Shi Jing saat ini lebih berbahaya, ia dapat mengetahui jika seseorang membohongi dirinya. Aku harus berhati-hati, atau ia dengan cepat mengetahui kebohonganku.
"Lalu, ada apa kalian semua ingin menemuiku?" tanyaku.
"Aku benci berbasa-basi, para wanitaku sedang menungguku. Jadi, cepatlah katakan yang ingin kalian katakan." Zhao Lang, aku benar-benar ingin menendangnya jika mereka izinkan.
"Maaf, Pangeran. Jika Anda sibuk dengan para WANITA Anda, sebaiknya pergi dan jangan pernah menemuiku," jawabku tegas.
Sejak dulu kami memang tidak pernah akrab, Zhao Lang yang menganggapku anak kecil yang mengganggunya. Dan aku menganggap dirinya sebagai musuh karena telah mengurungku di istana berbulan-bulan.
"Seperti biasanya kau selalu menentang kami, Xiao Rou," katanya sambil berjalan mendekatiku.
"Kau hanya menghilang beberapa minggu dan kini kau terlihat lebih manis dari sebelumnya," lanjutnya sambil mencium rambut panjangku.
"Ingin sekali aku memaki dan menghina dirimu ketika kau kembali, akan tetapi ... melihatmu yang seperti ini, aku tidak sanggup melakukannya," lanjut Zhao Lang sambil kembali ke tempatnya berdiri.
Ada apa dengan mereka? Tidak biasanya mereka bersikap sedikit manis seperti ini. Dan mengapa traumaku menghilang? Apa karena mimpi itu?
"Xiao Rou, apa yang kau lamunkan?" Tubuhku sedikit tersentak saat Shi Jing berjalan mendekatiku.
"Aku sedikit melihat sesuatu," jawabku lirih.
"Mungkin itu adalah kenanganmu yang sedikit demi sedikit kembali," jawab Shi Jing sambil mengelus surai hitam milikku.
"Ya, semoga saja," jawabku sedikit kaku.
"Apa yang kau lihat, Xiao Rou?" Aku menoleh ke arah sang Putra Mahkota.
"Sesuatu yang sedikit mengerikan," jawabku asal.
"Penjara bawah tanah dan–" Tiba-tiba saja tubuhku melemas.
Bayangan itu kembali muncul, saat di mana aku mendapatkan luka permanen di tubuhku. Bayangan seorang wanita tua yang mencambukku dengan pecahan benda tajam terselip di tali cambuk. Sial, kenangan buruk itu kembali menghantuiku!
"Putri, jangan terlalu memaksakan diri." Yi Luo memegang tubuhku yang hampir terjatuh.
"Baiklah, sebaiknya kau beristirahat, Putri."
"Aku baik-baik saja, lagi pula kalian sudah meluangkan waktu untukku," jawabku sambil tersenyum.
"Baiklah, kita berbincang di sini," putus Yi Luo dan aku hanya mengangguk.
Kedelapan Pangeran itu jarang sekali bisa berkumpul seperti ini, biasanya Ibu Suri akan menjauhkan Pangeran lain dengan Putra Mahkota. Sedikit menggali informasi dari mereka, mungkin aku dapat mempelajari keadaan istana saat ini.
Tawa canda menghiasi perbincangan kami, tetapi Xuan Tian terlihat murung sambil menatapku. Sepertinya ia merasa bersalah dari siapa pun karena sudah membuatku seperti ini.
Tunggu, mengapa traumaku tiba-tiba menghilang?