Chapter 7

1947 Words
Tiga hari telah berlalu, Xiao Rou belum juga berniat untuk kabur dari istana kerajaannya. Keberadaan para Pangeran di sisi gadis itu membuat pergerakannya terkunci. Bahkan Guan Fei tidak bisa mendekatinya. Entah apa yang terjadi, Xiao Rou merasakan ada yang aneh dari para Pangeran dan semua orang. Perubahan sudut pandang akan dirinya kini menjadi lebih baik, para pelayan pun kini sangat menyukai kehadiran sang Putri. Padahal sebelumnya mereka kurang suka akan kelakuan Xiao Rou yang seperti lelaki, sedikit sombong dan tidak pernah menyapa. Terlihat dari wajah mereka seperti bersyukur akan dirinya yang hilang ingatan. Xiao Rou yang saat ini berada di kediamannya tidak bisa bergerak bebas dikarenakan lelaki tampan di hadapannya tidak kunjung pergi sedari pagi. "Kakak, apa kau tidak memiliki pekerjaan lain selain datang ke kediamanku sejak pagi hari?" tanya Xiao Rou membuat lelaki tampan tanpa ekspresi itu menoleh ke arahnya. "Aku ingin menemanimu, perlahan kami ingin mengembalikan ingatanmu secepatnya. Dan jangan memanggilku 'Kakak', panggil saja dengan namaku," jawab lelaki tampan itu dan kembali menyeruput teh hijau miliknya. "Tidak perlu seperti itu, Shi Jing. Aku baik-baik saja, sebaiknya kau kembali mengurusi pekerjaanmu," jawab Xiao Rou bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela. "Jika kau mengingatku, kau sudah pasti tidak menginginkan diriku pergi, Xiao Rou," gumam Shi Jing sambil menatap sendu adik tercintanya. "Shi Jing, aku ingin sendiri. Bisakah kau pergi?" ujar Xiao Rou tanpa menoleh. "Baiklah, katakan padaku jika kau membutuhkan sesuatu," jawab Shi Jing mengalah. Lelaki tampan itu menghembuskan napasnya berat, ia mendekati Xiao Rou dan memeluk gadis itu dari belakang. Xiao Rou yang terkejut hanya bisa tersentak. Tanpa permisi, Shi Jing langsung saja mengecup pipi kiri Xiao Rou. Xiao Rou hanya bisa diam terpaku menahan napasnya sejenak. "Sampai jumpa, Xiao Rou," bisik Shi Jing lembut, Xiao Rou yang terdiam hanya menganggukkan kepalanya. Jantungnya kembali berdegup kencang, meski ia sudah mengenal Shi Jing, tetapi entah mengapa jantungnya tetap berdegup kencang. Wajahnya memucat dan kembali memikirkan perkataan Ren Xi. "Tenanglah, Xiao Rou," gumam gadis itu sambil menghembuskan napasnya lelah. "Yang Mulia Putri, Jendral Guan Fei ingin bertemu dengan Anda." Suara seorang pengawal terdengar dari luar kediaman sang Putri. "Biarkan dia masuk," jawab Xiao Rou sambil menatap pintu kamarnya terbuka dan menampilkan sang Jendral. "Selamat siang, Putri," salam sang Jendral sambil menunduk hormat. "Ada apa, Guan Fei?" jawab Xiao Rou sambil sedikit memiringkan kepalanya. "Maafkan hamba yang baru saja menghadap Anda, Putri. Tuan Jun Yi telah kembali dari medan perang dan berhasil menaklukkan wilayah Chang Sha, karena itu hamba harus melaporkan apa yang terjadi di sini," jawab Guan Fei, Xiao Rou mengangguk mengerti. Meski dalam hati ia memilih tidak ingin membicarakan pria berbahaya bernama Jun Yi itu. "Jun Yi?" Xiao Rou berpura-pura tidak mengenal pria bernama Jun Yi. "Tuan Jun Yi adalah Panglima Kerajaan Shang Zu, Putri," jelas Guan Fei dan Xiao Rou lagi-lagi hanya mengangguk. "Guan Fei, aku ingin kau mengirimkan suratku pada seseorang," pinta Xiao Rou setengah berbisik. "Hamba mengerti, Putri," jawab Guan Fei tersenyum mengerti. Xiao Rou tersenyum lalu mengambil sebuah gulungan surat kosong dari dalam lemari. Xiao Rou membuka gulungan itu di atas meja kecil dan mulai menggulung lengan pakaiannya hingga menampilkan lengan putihnya yang begitu menggoda. Guan Fei yang melihat itu langsung saja memalingkan wajahnya. Diambilnya pisau yang gadis itu simpan di dalam laci dan menggoreskannya tepat di lengan kirinya. Perlahan darah mulai mengalir keluar dan mengotori sedikit pakaiannya. Dengan cepat Xiao Rou menulis di atas gulungan kertas itu dengan darahnya, tulisan berupa garis tidak teratur yang hanya diketahui artinya oleh Ren Xi dan juga dirinya. Guan Fei yang merasa aneh karena Xiao Rou tidak juga berbicara akhirnya menoleh dan mendapati Xiao Rou menggulung lengannya dengan kain yang masih terus mengeluarkan darah. "Putri! Apa yang Anda lakukan?!" kata Guan Fei histeris sambil mendekati Xiao Rou. "Diamlah, aku baru saja selesai membuat surat itu," jawab Xiao Rou sedikit kesal karena suara Guan Fei yang pastinya terdengar sampai luar kediamannya. Dengan cepat Xiao Rou menekan lukanya hingga darahnya berhenti mengalir. Secepatnya Xiao Rou menggulung kertas di atas meja itu. Guan Fei hanya membelalakan kedua matanya tidak mengerti. "Putri, Anda menulis surat dengan darah Anda?" tanya Guan Fei sedikit bergetar. "Hanya ini yang bisa ia baca, sekarang kau bisa kirimkan surat ini ke wilayah Kerajaan Xia Pi. Beri pada kurir katakan saja kau utusan sang Dewi, dan surat itu untuk sang Albino. Kau mengerti?" Guan Fei hanya mengangguk tanpa ingin bertanya lebih lanjut karena aura sang Putri terlihat menyeramkan. "Sesuai perintah Anda, Putri," jawab Guan Fei dan langsung saja undur diri dari hadapan Xiao Rou. "Hanya ini yang bisa aku lakukan, jika aku memakai tulisan seperti yang dapat dibaca orang lain, itu hanya akan membuat aku tidak dapat kembali keluar dari istana ini," gumam Xiao Rou. Dan saat dirinya melihat keluar jendela ia dapat melihat Yuan Xi yang terlihat mengepalkan kedua tangannya. "Sial, apa dia melihatku menulis surat untuk Ren Xi?" gumam Xiao Rou yang kini tersenyum kikuk menatap Yuan Xi yang langsung saja meninggalkan tempatnya berdiri. Xiao Rou menghembuskan napasnya berat, akan berbahaya jika Yuan Xi mengetahui apa yang ia lakukan. Rencananya untuk kembali kabur akan gagal dan tidak akan ada yang bisa membantunya keluar istana lagi. Brakk Xiao Rou terkejut dan menoleh ke arah pintu yang rusak karena lelaki tampan yang baru saja menatapnya itu sudah berada di hadapannya. Xiao Rou mundur beberapa langkah karena saking terkejutnya dengan kedatangan sang Pangeran. Grep "Ahk ...," rintih Xiao Rou kesakitan saat luka gores di lengannya dipegang kuat oleh sang Pangeran. "Pa-pangeran." Para pengawal ingin menghentikan sang Pangeran kedua akan tetapi, sang Pangeran mengisyaratkan untuk mereka keluar dari kediaman Xiao Rou. "Yu-yuan Xi," ucap Xiao Rou bergetar. "Apa yang kau lakukan, Xiao Rou?" desis Yuan Xi sambil terus menekan luka di lengan Xiao Rou. "A-apa maksudmu?" jawab Xiao Rou gugup. "Kau menyakiti tanganmu sendiri!" Yuan Xi langsung saja merobek lengan pakaian Xiao Rou. Sraakk "Ahk ...." Xiao Rou dengan cepat menutupi d**a kirinya yang kini terlihat begitu menggoda karena Yuan Xi yang merobeknya. "Yuan Xi!" pekik Xiao Rou sambil melangkah mundur. Yuan Xi yang baru saja menyadari jika pakaian Xiao Rou begitu mudah untuk dirobek membelalakan matanya saat ia menatap bagian tubuh atas Xiao Rou yang terlihat menggoda. Yuan Xi terdiam sesaat saat kedua irisnya terus menatap tubuh Xiao Rou. "Xiao Rou." Yuan Xi kembali berdesis dan menghampiri adiknya. "Yu-yuan Xi." Xiao Rou kembali mundur beberapa langkah hingga tubuhnya menyentuh dinding ruangan. Yuan Xi mengurung tubuh Xiao Rou dengan kedua tangannya yang kini berada di kedua sisi Xiao Rou. Lagi-lagi jantung gadis itu berdegup kencang, tatapan Yuan Xi kali ini benar-benar seperti ingin membunuhnya. Meskipun Yuan Xi tidak akan pernah bisa membunuhnya. "Jangan melukai dirimu sendiri seperti tadi," ucap Yuan Xi sambil sedikit mengangkat dagu Xiao Rou untuk menatap dirinya. "Ma-maaf," cicit Xiao Rou dan kembali menundukkan wajahnya. "Aku tidak ingin kau terluka, melihatmu tidak mengingatku saja sudah membuatku sakit. Jangan kau tambah rasa sakit ini dengan melihatmu melukai dirimu sendiri," ujar Yuan Xi yang masih terus menatap Xiao Rou tajam, Xiao Rou kembali menatap Yuan Xi. "A-aku hanya–" Ucapan Xiao Rou terpotong kala Yuan Xi kini mengecap bibir manis milik Xiao Rou. Xiao Rou membulatkan matanya saat kedua tangan Yuan Xi merengkuh tubuh Xiao Rou dan memperdalam ciuman panasnya meski gadis itu sudah mencoba memberontak. Kedua kaki Xiao Rou begitu lemas dan jantungnya mulai kembali berdegup kencang, di saat seperti ini traumanya kembali muncul dan membuatnya tidak berdaya. Yuan Xi melepaskan ciuman panasnya kala tubuh Xiao Rou terasa lemas di dekapannya. "Maaf, aku tidak dapat menahannya," bisik Yuan Xi. Sang Pangeran langsung saja menggendong tubuh Xiao Rou, gadis itu hanya bisa terdiam kejadian yang baru saja terjadi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Rasanya ia ingin bangun dari kenyataan yang seperti mimpi. "Aku membencimu," gumam Xiao Rou yang langsung saja tidak sadarkan diri. "Aku juga mencintaimu," jawab Yuan Xi menyeringai sambil menutup tubuh atas Xiao Rou dengan selimut. "Panggilkan tabib dan pelayan!" titah Yuan Xi pada penjaga di luar kediaman sang Putri. Tidak menunggu lama seorang tabib dan beberapa pelayan wanita datang terburu-buru. Mereka semua memberi hormat pada sang Pangeran. "Ambilkan pakaian baru untuk Putri dan obat untuk menghentikan pendarahan kecil di tangannya," titah sang Pangeran. "Baik, Yang Mulia Pangeran," jawab mereka sambil dengan cepat mengambil pakaian dan tabib mengambil obat racikan untuk menghentikan pendarahan di lengan kiri Xiao Rou. "Pergilah, biar aku yang mengurusnya," ujar Yuan Xi membuat para pelayan menatap bingung. "Tetapi, Pangeran–" "Kalian ingin keluar sendiri atau hanya kepala kalian yang keluar dari ruangan ini?!" potong Yuan Xi membuat mereka semua bergidik ngeri. "Ba-baik, Pangeran," jawab mereka sambil undur diri dari kamar Xiao Rou. Yuan Xi langsung saja membuka lilitan di tangan Xiao Rou dan mengobatinya, setelah selesai Yuan Xi menggantikan pakaian Xiao Rou dengan telaten. Meski ia harus kembali menahan hasratnya untuk mencumbui adiknya sendiri. Setelah selesai Yuan Xi kembali menggendong tubuh rapuh Xiao Rou dalam pelukannya. Ia berjalan keluar hingga melihat para pelayan, tabib dan penjaga kediaman Xiao Rou masih berdiri dengan wajah yang tertunduk. "Bereskan kamar Putri, aku ingin esok hari sudah seperti sedia kala," titah Yuan Xi sambil berlalu membawa tubuh sang Putri. *** ***Kerajaan Xia Pi*** Feng Yan terlihat muram dengan penampilannya saat ini, ia sangat membenci di mana bunga indahnya menghilang dari taman yang ia sediakan. Zhuang Lie yang kini tengah sibuk mengurus pekerjaan yang Kaisar tinggalkan hanya bisa menggeleng pelan. Rasanya sang Kaisar benar-benar seperti kehilangan mainannya. "Cepat atau lambat Dewi akan kembali dan membuat tamanmu kembali menjadi indah." Zhuang Lie kembali mencoba menghibur sang Kaisar yang kini terlihat ingin memakan orang. "Aku benci bunga indahku menghilang begitu saja!" desis Feng Yan membuat Zhuang Lie mendesah kasar. "Kau tidak bisa menyamakan Dewi dengan bunga. Dia adalah Dewi penyelamat kita, ingat itu, Feng Yan." "Berhenti menceramahiku, Zhuang Lie. Kau tahu, aku sudah hampir bisa membunuh Xiang Qing jika saja aku tidak memikirkan perasaan Ren Xi," jawab sang Kaisar yang sepertinya tidak ingin dibantah. "Aku rasa Xiang Qing tengah cemburu, karena itu ia meninggalkan Xiao Rou," jawab Zhuang Lie tenang membuat Feng Yan menoleh. "Pada akhirnya kita akan tertolong, Zhuang Lie," jawab Feng Yan lemah. Zhuang Lie hanya menatap datar sang Kaisar, memilih untuk tidak menyulut api akhirnya ia memilih kembali mengerjakan pekerjaan sang Kaisar. "Yang Mulia Pangeran Ren Xi telah tiba," ucap seorang penjaga di luar ruangan. Feng Yan mengubah posisi duduknya saat sang Pangeran Albino itu muncul dengan wajah dinginnya. Tidak biasanya sang Pangeran ingin bertemu dengan sang Kaisar. Jika sang Pangeran Albino itu datang, biasanya karena ia mendapatkan ramalan penting tentang peperangan yang akan terjadi. "Ada apa kau datang, Ren Xi? Apakah ada perang yang akan terjadi?" tanya Zhuang Lie menatap serius sang Pangeran. "Merah dan hitam menjadi satu, ketika matahari terbit menyinari setangkai bunga, keajaiban itu terjadi," jawab sang Pangeran membuat Zhuang Lie mengerutkan dahinya. "Apa maksud dari ramalan itu?" gumam Feng Yan tidak mengerti. "Bunga yang sudah mekar dengan indahnya mulai bermandikan darah, kegelapan terlihat dengan akhir cahaya terang menyinari dan menerbangkan beberapa kelopak bunga. Tinggi dan tidak akan kembali," lanjut Ren Xi, sang Pangeran langsung saja membalikan tubuhnya dan meninggalkan ruang kerja sang Kaisar. "Aku tidak tahu ini pertanda baik atau buruk, Ren Xi tidak pernah sekalipun memberikan hasil ramalan dengan teka-teki seperti itu," ujar Zhuang Lie membuat Feng Yan bangkit. "Persiapkan ratusan ribu prajurit, latih mereka dengan keras. Kita memiliki lawan yang cukup mengerikan," titah sang Kaisar membuat Zhuang Lie membulatkan kedua matanya. "Kau mengerti arti ramalan itu?" tanya Zhuang Lie menatap tidak percaya. "Aku benci saat mengetahui arti dari teka-teki ramalan itu!" jawab Feng Yan yang kini terlihat semakin kesal. "Baiklah, aku akan memberitahu para Panglima dan Jendral," jawab Zhuang Lie yang langsung saja keluar dari ruang kerja Kaisar. Raut wajah Feng Yan berubah menjadi gelisah. "Siapa ... siapa yang akan gugur dalam perang besar nanti?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD