(10) Way Of Love

1568 Words
Pertemuannya dengan Robby, membuat pikiran Gibran penuh dengan pertanyaan. Ia ragu harus mempercayai siapa di sini, sahabatnya? Atau mungkin wanita yang orang lain bilang ‘telah mengubahnya’ itu. Setelah shalat isa tadi ia mendapatkan pesan, bahwa sahabatnya ingin bertemu dengannya, dan Gibran setujui karena ia tidak sibuk. Ternyata hasil dari pertemuan Robby dan Gibran tadi, membuat pikirannya sangat kacau. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Gibran masih setia ditempatnya. Balkon yang menjadi tempatnya saat ini. Terpaan air hujan yang terbawa angin malam mengenai wajah Gibran. Dinginnya angin malam tak menjadikan masalah bagi Gibran. Ia butuh ketenangan, butuh pemikiran yang jernih walaupun ia yakin bahwa yang ditunjukan Robby tadi, mungkin orang lain atau itu hanya editan belaka, karena Gibran tidak jelas meilhat wajah wanita itu namun ia mengenal punggung wanita itu. Nafasya keluar dari kamarnya, ia terheran mengapa pintu balkon terbuka, padahal saat ini sedang hujan, lagi pula sudah malam dan angin berhembus kencang. Tak mungkin itu Umi atau Abinya. Nafasya membenarkan letak jilbab yang ia pakai, dan berjalan pelan kearah pintu yang terbuka tersebut. "Astagfirullah!" Pekik Nafasya kaget. Melihat laki-laki dengan pakaian serba hitam sedang memunggunginya. Lelaki itu berbalik dan mengerutkan dahinya. “Kenapa keluar malam-malam?" tanya Gibran dengan suara dingin. "Ya Allah … Kak Gibran, aku kira siapa. Mana kamu pake baju hitam gitu, kaya maling tau gak?” Gibran mengedikan bahunya, acuh dengan perkataan Nafasya. Kembali ia menatap hamparan lampu-lampu cantik yang bertebaran dikompleknya. "Kak, masuk sudah malam. Dingin banget di sini gak baik buat kesehatan," ingat Nafasya. Gibran melihat kearah Nafasya yang juga memperhatikannya. Ia sangat ingat bagaimana Robby mengatakan, bahwa ada yang harus Gibran jaga. "Pasti lo ngerasain Bran, bagaimana rasanya seorang kakak yang melihat adiknya terpuruk karena laki-laki b******k!" Gibran terkejut dengan perkataan Robby, ia merasa tersinggung dengan itu. "Gak perlu lo ungkit lagi," kata Gibran. Kesabarannya sudah habis karena Robby terus mengolok-oloknya. "Foto tadi peringatan buat lo." Robby memasukkan ponsel kedalam kantung jaketnya. "Lo sebagai laki-laki yang masih punyai ibu dan adik perempuan. Sama halnya dengan gue, Bran. Tapi kenapa lo ga pernah berpikir kalau lo udah nyakitin hati perempuan. Itu sama saja lo udah sakitin hati ibu dan adik lo!" "Pikir baik-baik, jaga perempuan. Kalau lo ingin ibu dan adik lo selamat!" "Kamu udah punya pacar, Na?" tanya Gibran dengan nada dingin andalannya. Nafasya terkejut dengan pertanyaan Gibran yang sangat tiba-tiba. Padahal Nafasya tau, Gibran tipikal orang yang tidak peduli dengan urusan orang lain, dingin dan cuek, itulah sifatnya. tetapi, mengapa Gibran tiba-tiba menayakan hal seperti ini kepadanya. "Jawab," kata Gibran. "Kak, kenapa kamu tiba-tiba nanya hal seperti itu? Dan aku yakin, Kak Gibran pasti tau jawabannya, tanpa perlu aku kasih tau.”   "Bener? Kamu sudah punya pacar?" "Astagfirullah, kamu kesambet apaan sih, Kak? Sejak kapan Abi ngajarin aku buat pacaran? Dan memangnya Kak Gibran pernah liat aku dengan laki-laki lain?” kata Nafasya yang sedikit tersulut emosi. Gibran mengangguk. “Berarti kamu belum punya pacar?" Perlahan Nafasya mengangguk pelan. “Kok Kak Gibran nanya kaya gitu sih?” "Na, kalau ada laki-laki yang nyakitin kamu, jangan sungkan untuk bilang," ucap Gibran dengan tatapan yang serius dan nada bicara serius Membuat Nafasya geli mendengarnya. Kenapa Gibran jadi seperti ini. "Kak Gibran sekarang jadi lebay ya? Gak perlu tanya-tanya aku yang disakitin laki-laki atau enggak. Yang jelas Kak Gibran sendiri yang harus memperbaiki sifat karena secara tidak langsung kamu sudah menyakiti hati perempuan.” Lagi, lagi dan lagi. Orang-orang menganggap Gibran telah menyakiti perempuan. Ia tak tau apa maksud dari kata itu, karena ia tak merasa telah melakukannya. "Nyakitin peremuan?” tanya Gibran. "Hmm udahlah, males aku bahas,” kata Nafasya dengan nada tinggi. "Udah mending Kak Gibran masuk, tidur. Bukannya kata Abi besok kak Gibran mau ada pelatihan?" Gibran mengangguk. “Yasudah masuk, ngapain di sini?" Kata Nafasya yang kesal dengan kakaknya mengapa tidak pernah mau menuruti perkataannya. "Cari suasana baru,” ucap Gibran santai sambil kembali memperhatikan lampu-lampu cantik yang menghiasi suasana malam. Dahi Nafasya berkerut, “suasana baru? Kak, ini sudah malam." "Kamu kenapa keluar?" tanya balik Gibran. "Tadi mau ngambil minum, aku lupa. Terus aku ngeliat pintu balkon terbuka, yasudah jadi ada di sini deh.” "Kak, aku mau bilang," ucap Nafasya. Gibran mengangguk. "Tapi jangan di sini, dingin." Nafasya berjalan ke arah ruang tamu dan menyalakan lampu. Lalu ia duduk di sofa dan melipat kakinya. Gibran mengikuti kemana arah Nafasya, ia duduk dihadapan adiknya. "Tapi jangan marah ya." "Tapi-tapi terus," kata Gibran dengan nada tak santai. Aku serius, kak … Kak Gibran mau tau enggak?” "Cepetan ….” Nafasya mengangguk, tapi ia ragu untuk memberi tahu Gibran tentang hal ini. “Emm … tadi Nafasya ketemu Kak li—lisa,” ucap Nafasya dengan suara kecil.   Gibran mengangkat alisnya. “Kamu ketemu dimana?” tanya Gibran. "Ketemu di mall, tapi dia gak sendiri terus dia …" Nafasya menggigit bibirnya. Ia sangat ragu untuk mengatakan ini. "Dia kenapa?" "Dia sama laki-laki, terus pakaian dia enggak sewajarnya di pakai di khalayak umum, Kak. Aku bicara sesuai dengan apa yang aku lihat." Gibran terkejut dengan ucapan Nafasya. Untuk saat ini, sudah dua orang yang berbicara tentang Lisa. Tak mungkin jika Robby dan Nafasya berbohong secara bersamaan. Gibran berusaha untuk menetralkan ekspresinya, padahal hatinya sudah berpikiran kemana-mana.   Pikiran Gibran sudah tak karuan. Untuk saat ini, ia harus menanya langsung kepada Lisa, apa benar Lisa berperilaku sesuai dengan cerita dari Robby ataupun Nafasya. Nafasya tadinya enggan memberitahu tentang semua ini. Namun bagaimana lagi, ia tidak mau kakaknya kembali tersakiti untuk kedua kalinya pada orang yang sama. Awalnya saat bertemu Lisa di mall tadi, ia cukup terkejut dengan penampilan Lisa yang tidak seperti biasanya. Di tambah Lisa menggandeng laki-laki yang menurutnya sudah tua. Bagikan sepasang kekasih yang tak ingin kehilangan salah satunya. "Kak?" Gibran menengok kearah Nafasya. Hendak ingin membuka mulutnya. “Kamu mungkin salah liat.” Namun Gibran langsung memotong pembicaraannya. "Mana mungkin aku salah liat. Orang dia makan di depan meja aku kok," kata Nafasya. Gibran menggeretak giginya. "Sudah cukup! Kamu boleh benci Lisa, tapi tidak usah menjelek-jelekannya dibelakang!” Nafasya bungkam atas bentakan Gibran. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya itu. "Aku hanya kasihan sama kamu, Kak. Entahlah, sekarang aku bingung dengan jalan pikiran kamu. Yang terpenting untuk saat ini, aku sudah membeberkan kebenaran tentang wanita yang kamu pilih, tanpa aku lebih-lebihkan, tanpa aku kurang-kurangi. Aku hanya tidak mau, Kak Gibran jatuh di tempat yang sama untuk kedua kalinya.”   "Bukannya aku tak ingin melihat dia bersama kak Gibran, dan bukan juga untuk mengatur kehidupan Kak Gibran. Tapi aku tau sikap dia di belakang kakak bagaimana,” ucap Nafasya penuh dengan penekanan. Niat awalnya mencari minum, kini sudah tak ada lagi dipikirannya. Gibran tersenyum jahat. “Apa kamu bersekongkol?” Nafasya mengerutkan dahinya. Tak paham maksud dari pertanyaan Gibran yang dilontarkan kepadanya. “Maksudnya?" "Kamu memilih Selma? Dan kamu menjatuhkan Lisa?" Nafasya membesarkan matanya, ia tak terima jika Gibran berbicara seperti ini. "Atas nama Allah, Kak. Selma nggak tau semua permasalahan ini. Kenapa Kakak selalu menjatuhkan dia? Yang ada Selma, Kak. Selma yang jadi korban sakit hati, oleh drama yang sedang kalian lakukan. Harus berapa kali aku bilang, harus sekuat bukti apa lagi agar aku bisa menyadarkan Kak Gibran?" lirih Nafasya. "Selma gak salah apa-apa, Kak. Lalu untuk apa juga aku harus menjatuhkan seseorang? Dan Kakak bilang aku sudah menjatuhkan Lisa?" Nafasya tertawa jahat. "Dia, Kak. Dia yang menjatuhkan dirinya sendiri dihadapan tuhannya!” "Aku tidak membela siapa pun di sini, Kak. Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan sakiti hati perempua, Kak. Karena Kami punya Umi dan punya aku. Aku tidak mau menjadi karma yang udah kakak lakuin. Kembali lagi pada Allah, Kak. Ialah yang menentukan semuanya." Nafasya berlalu menuju lantai bawah. Gibran mengacak rambutnya. Hal yang ia khawatirkan kini sudah ada pada ucapan adiknya. Robby dan Nafasya selalu ada pada jalan pikiran yang sama. Namun Gibran masih meyakini bahwa yang dibicarakan mereka mungkin hanya tipuan belaka. Ia tak percaya sebelum ia melihat kenyataannya. Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Ia kembali masuk ke kamar dan beristirahat karena esok ia akan menjalankan pelatihan dikantornya. … Menjadi rutinitas Gibran saat ini, ia sedang berada direstoran bersama kedua sahabatnya. Selesai pelatihan tadi, kini mereka sedang beristirahat siang dan pelatihan kedua akan di laksanakan pukul 2 nanti. Gibran, Ibdan dan putra duduk melingkar. Dengan pakaian kebanggaan mereka. Kini mereka menjadi pusat perhatian pengunjung restoran. Sedari tadi Ibdan dan Putra cekikikan melihat ponsel Putra yang menyala. Entah apa yang di lihat mereka. Gibran hanya geleng-geleng melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. Sekarang ia tengah chatting-an bersama Lisa. Ia pun punya senyum tersendiri. Kepercayaan Gibran kepada Lisa semakin meninggi di saat Lisa bisa menjadi senyumnya hanya dalam sekedar chat seperti ini. Tak lama log panggilan bernama Lisa masuk kedalam ponselnya. Gibran izin kepada kedua sahabatnya untuk mengangkat telepon dan berjalan kearah toilet. Tidak sampai masuk toilet Gibran menerima panggilan tersebut. "Assalamualaikum ..." sapa seseorang di sana. "Waalaikumsalam." "Bran, kok aku kangen ya?" Suara manja khas Lisa terdengar di telinga Gibran. Gibran tersenyum. “Masa kangen sih?" "Iya, udah lama gak ketemu. Terakhir ketemu hari minggu yang lalukan? Kamu sibuk banget sih?" "Aku lagi sibuk, Lisa. Nanti kalau udah gak sibuk aku ajak jalan-jalan, kamu maukan?" "Pastilah!"  sahut seseorang di sebrang sana. "Selama seminggu ini kamu kemana?" "Emm … aku gak kemana-mana kok, aku cuma diem dikontrakan aja." "Bener? Katanya Nafasya ketemu kamu di mall?" tanya Gibran. Suara Lisa gelagapan. "I—iya? Ke--temu di mana? Kok dia gak nya--pa?" "Katanya kamu gak kemana-mana." "Ouh kemaren aku cuma nganterin paman aku buat nyamperin bibi ditokonya, masa kamu gak inget kalau bibi aku  punya toko di mall." Dan kini kepercayaan Gibran bertambah kepada wanita yang di sapa Lisa ini. "Oh--" "Lisa sini sayang." mata Gibran hampir keluar di saat mendengar suara lelaki yang memanggil Lisa "Lisa? Kamu sama siapa?" tanya Gibran. "Emm .. Bran nanti lagi ya, aku di panggil bibi … semangat kerjanya." Sambungan diputuskan oleh Lisa. Gibran menggenggam erat ponselnya. pikiran yang memenuhi otaknya ia coba keluarkan. Ia menggeleng. “Mungkin itu suara paman nya." Ia berjalan keluar toilet dan kembali menuju tempat yang ia duduki dengan sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD