"Kak Gibran cepetan dong, nanti mobil eskrimnya keburu pergi …" kesal Selma karena melihat Gibran yang berjalan sangat lamban.
Saat ini mereka sedang berjalan-jalan sore di pinggir taman kota. Sepulangnya Gibran bekerja, ia langsung menuju kediaman Selma untuk mengajak gadis itu berjalan-jalan.
“Kak Gibran …” rengek Selma lagi. Nada suaranya yang cukup besar mengundang perhatian orang-orang sekitar.
Beberapa meter jauh di sana, Gibran yang berpura-pura tidak mendengar, malah asik dengan ponselnya, dan berjalan sangat santai. Sebenarnya ia hanya ingin mengerjai Selma, hal yang sangat menggemaskan menurutnya jika Selma bertingkah seperti anak kecil.
“Kak Gibran, aku marah loh kalau kamu enggak lari ke sini,” kata Selma yang sekarang sudah melipat tangannya di d**a.
Selma kembali memperhatikan sebuah mobil yang sedang berjualan es krim itu, mereka sepertinya akan segera menutupnya. Sedangkan Gibran masih jauh di sana, dan dengan santainya ia hanya berjalan pelan. jika saat ini Selma memegang uang, ia akan segera membelinya, namun sayangnya saat ini ia tidak membawa dompet atau ponsel, karena Gibran yang menculiknya tiba-tiba.
Selma membelalakan matanya saat Gibran dengan santainya duduk di kursi taman sambil melipat kakinya. Selma benar-benar Kesal, ia berlari kearah Gibran yang jauh di sana, ketika sampai dihadapan Gibran, Selma langsung mencubit lengan Gibran dengan ganas.
“Kak Gibran!!! Nyebelin banget sih! Aku bilang ayo kita beli es krim. Aku enggak bawa uang, makanya aku nunggu Kakak. Kak Gibran dengar aku gak?” kata Selma dengan nada bicara yang tak santai, karena pikirannya saat ini memikirkan apakah mobil es krim itu masih ada atau tidak.
“Hmm … tinggal beli, saya tunggu disini,” katanya santai.
Selma pun memajukan telapak tangannya didepan Gibran. “Uangnya?”
Gibran pun mengeluarkan uang sebesar lima puluh ribu, dan memberikannya kepada Selma. Dengan perasaan yang sangat kesal, Selma berjalan kearah mobil eskrim tadi.
Setelah ia lelah berjalan menuju tempat es krim yang menggoda itu, ternyata mobil itu sudah tidak ada, ia pun memperhatikan sekitar taman dan tetap saja, mobil itu sudah tidak ada.
Kini hatinya lebih-lebih kesal, ia pun berjalan kembali dimana tempat Gibran duduk, di sana Gibran masalah bermain ponsel. Selma pun duduk di sisi Gibran sambil memberikan uang itu di depan wajah Gibran.
“Loh, gak jadi?” tanya Gibran dengan nada yang dibuat-buat. Padahal ia tahu Selma kesal karena mobil es krim itu sudah pergi.
“Gak jadi,” jawabnya sambil menjauhkan jarak duduknya dari Gibran.
Dengan tingkah jahil Gibran, ia mendekatkan posisi duduknya kearah Selma, dan Selma kembali menjauh, mereka berdua terus seperti itu, sampai tempat yang Selma duduki sudah di ujung kursi itu.
“Kak Gibran! Kalau aku jatuh gimana?” kesal Selma.
“Saya tolongin.”
“Kalau kaki aku patah gimana?”
“Saya obtain.”
“kalau aku mati gimana?”
“Saya kuburin.”
“Kak Gibran!!! Aku kesel. Mau pulang aja,” katanya yang beranjak dari kursi itu.
Gibran mengikuti kemana Selma pergi, tak mungkin Selma pulang sendirian karena jarak dari taman kerumahnya sangatlah jauh, ditambah ia tidak membawa dompet dan ponselnya.
Selma berjalan sampai di depan mobil Gibran, ternyata Gibran sudah membuka kunci mobilnya, Selma pun masuk ke dalam mobil, tak lama Gibran pun menyusul dirinya.
“Udah sayang … kamu enggak usah marah, kita ke toko es krim aja ya?”
“Enggak usah panggil sayang-sayang, aku gak suka!”
“Kamukan kesayangan.”
“Bodo, aku gak denger,” kata Selma sambil menutup telinganya dengan kedua tangan.
Mobil pun sudah jalan, diam-diam Gibran mengintip wajah Selma. “Muka kamu kok merah?”
“Emm … h—hah siapa yang merah sih?”
“Muka kamu, bukan siapa,” kata Gibran santai.
Selma langsung menutupi wajah dengan jilbabnya, ia sangat malu. Mukanya memerah sebab perkataan Gibran yang mengandung sedikit racun kehatinya.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di kedai eskrim yang cukup besar. dengan perasaan yang sudah kembali terkendali, Selma turun dari mobil tanpa menunggu Gibran. Ia langsung masuk kedalam toko tersebut dan memesan es krim kesukaannya di sana.
Gibran menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah menggemaskan Selma.
Selma sudah duduk di ujung kedai ini. Mood Selma sudah kembali, ia sangat senang melihat kedai yang sangat lucu ini. Andai saja ia membawa ponselnya pasti ia sudah berfoto ria. Gibran datang duduk dihadapnnya, dan tak lama es krim pesanan Selma datang.
Es krim dengan wadah yang besar serta toping-toping yang sangat banyak tersaji di sana.
“Wah … terimakasih, Mbak,” kata Selma yang mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang membawakannya eskrim.
“Kak Gibran silahkan bayar di sebelah sana,” kata Selma sambil menunjuk kasir tanpa mengalihkan pengelihatannya dari es krim tersebut.
“Kenapa kamu gemes banget sih?” kata Gibran tiba-tiba, yang membuat sendok yang Selma genggam terlepas begitu saja.
“Jadi pengen cepet-cepet ngehalalin kamu.”
…
Napas Selma memburu ia terdiam di atas kasurnya, mimpi yang sungguh aneh. Ia melihat jam menunjukan pukul 3 pagi, ia bangun sepagi ini karena datangnya mimpi itu, entah apa maksud dari mimpi tersebut.
Selma terus diam, pikirannya masih terbayang dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Selma menggelengkan kepalanya, ia membereskan rambutnya yang tak tersusun rapi, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu melaksanakan Shalat tahajud.
Setelah selesai shalat Selma berzikir dan membaca Alquran. Butuh waktu 1 jam untuk melaksanakan itu semua. Jam sudah menunjukan pukul 4 pagi. Tak mungkin ia melanjukan tidurnya.
Selma kembali membuka laptop dan menghapal bahasa Arab, namun pikirannya kembali pada mimpi yang sangat jelas seperti kenyataan.
Untuk apa dia hadir dimimpinya, jika tak berani kembali kehidupnya lagi.
Sama saja itu mempersulit untuk Selma melupakan kenangannya dengan Gibran. Sudah terlalu banyak kenangan manis yang Gibran beri kepada Selma, dan kenapa akhirnya harus seperti ini.
Sungguh sakit jika nama dan semua kenangan itu samua masih hadir dalam pikiran dan hatinya. Selma menggelengkan kepalanya, bagaimana lagi jika sudah begini. Ia harus jalani semuanya. Untuk saat ini ia mencoba untuk tidak terlalu terlarut dalam kesedihannya, karena hari ini ia akan menjalani tes.
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya suara Adzan pun mengintruksi Selma. Tanpa ingin membuang waktu, Selma bangun dan mengusap air matanya yang sempat terjatuh. Lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Jam sudah menunjukan pukul 06.30 waktunya ia sarapan. Selma yang mengenakan rok hitam dan kameja putih plus jilbab putih itu turun ke lantai bawah, dan segera pergi menuju ruang makan, tak lupa dengan menggendong tasnya dan membawa bubu-buku. Ia menaruh semua barangnya di sebuah meja, lalu langsung menuju meja makan.
Sudah ada Robby, Rinta dan Adam yang menunggu.
"Assalamualaikum, selamat pagi," sapa Selma dengan tersenyum, lalu duduk disebelah Robby.
"Waalaikumsalam," jawab mereka.
"Sekarang kamu tes kan, sayang?" tanya Adam.
"Iya, Ayah … doakan aku semoga lancar," ucap Selma dengan mantap.
"Itu pasti, Nak. Semoga diberi kelancaran untuk semuanya."
"Amin … lebih baik kamu sarapan dulu, biar tidak telat," ucap Rinta.
Mereka pun makan dengan tenang, sesekali mereka saling menanyakan sesuatu.
"Dek, kamu ada masalah dengan Gibran?" tanya Adam tanpa ada instruksi apapun.
Setelah mendengar itu Selma langsung mengalihkan pandangannya kepada Robby. Robby yang merasa diperhatikan Selma, mengangkat bahunya.
"Dek?" tanya Adam.
"Emm … aku e—enggak punya masalah apapun kok, Ayah."
"Tapi setelah Bunda perhatikan, kamu jadi pendiem kalau ada Gibran, dan sekarang kamu jarang pergi ke pesantren?" Kini Rinta ikut menimbrung.
Selma menatap Robby berharap Robby menolongnya. "Mungkin Selma mau fokus dengan tesnya, Bun. Kasian juga diakan?” ucap Robby.
Selma menghela napasnya. “Iya, Bun. Bunda tahu sendiri Selma sibuk banget kemarin-kemarin dan, minggu depan pun Selma sudah tidak ada di sini.”
"Bener kamu ga ada masalah sama Gibran?" tanya Rinta lagi.
Selma menggeleng, “enggak ada, Bunda,” ucapnya sambil tersenyum.
"Kemarin Ayah lihat, Gibran sedang berjalan berdua dengan seorang perempuan," kata Adam.
Jantung Selma berdetak tak karuan, kenapa Ia harus diingatkan lagi oleh mereka
"Udah Bun, Yah. jangan nambah pikiran Selma, dia mau tes, takut gak konsentrasi," lerai Robby, yang khawatir melihat wajah pucat Selma.
"Bang kita berangkat yuk, takut telat," ajak Selma lalu berdiri dari tempat duduknya.
"Ayah, Bunda. Selma berangkat dulu ya. Doakan Selma semoga lancar,” kata Selma, lalu mencium tangan kedua orang tuanya.
"Iya sayang, semoga lancar.”
Selma mengangguk. "Assalamualaikum."
Selma sudah berada di dalam mobil Robby. Ia menunggu Robby yang tengah berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Perkataan Adam terngiang jelas dikepalanya. Secepat itukah Gibran melupakan semuanya. Apa dia tidak tahu, bahwa dirinya di sini, merasakan sakit itu?
Air matanya kembali jatuh, Ia melihat Robby yang berjalan menuju mobilnya, cepat-cepat Selma menghapus air matanya. Ia tak ingin terlihat rapuh di depan orang yang Ia sayangi.
Robby masuk kedalam mobilnya memakai sabuk pengaman, dan tak sengaja melihat wajah adiknya yang memerah.
"Dek, lo kenapa?" tanya Robby.
Selma menggeleng dan tersenyum, “enggak apa-apa, Bang."
Robby bisa memahami isi hati Selma, pasti Selma butuh waktu untuk sendiri.
Robby melajukan mobil keluar pekarangan rumah nya dan menuju tempat Selma untuk tes hari ini.
…
Jam makan siang Robby di kantor kini tiba. Sekarang ia telah bekerja diperusahaan Adam, ayahnya sendiri. Ia telah berjanji akan menjemput Selma di tempat tes tersebut.
Jarak antara kantor dan tempat Selma hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai. Robby menjalankan mobilnya dengan santai.
Ia tipikal cowok yang adem ayem dengan sekitar baik sahabat, pacar maupun keluarganya. Tetapi pada saat ia marah, tak ada yang berani untuk melawan.
Lampu merah menyala. Robby meghentikan mobilnya, dan mengcek ponselnya. Sambil menunggu balasan dari kekasihnya itu, Robby melihat kearah kanan kiri yang terdapat pengguna jalan yang menunggu lampu merah.
Mata Robby jatuh pada satu titik dimana mobil yang berada disebelahnya menampilkan sosok Lisa dengan seorang pria tua yang sedang tertawa bersama.
Robby menjelikan lagi matanya. Apakah ia salah melihat? Atau ada yang tidak beres dengan matanya? Tetapi itu memang benar Lisa, mantan pacar sahabatnya siapa lagi kalau bukan Gibran yang telah menghancurkan hati adiknya.
Robby terus memperhatikan Lisa, Robby kenal betul sosok Lisa karena mereka dulu bersahabat sejak SMA.
"Lah? Lisa kok sama om-om tua? " gumam Robby yang terus memperhatikan gerak-gerik Audria yang tengah memeluk dan mencium pipi pria tua itu.
Robby bergidik ngeri, “Gak ada kapoknya tu bocah."
"Gue harus kasih tau Gibran," gumam Robby dan pada saat bersamaan lampu merah pun kini berganti dengan lampu hijau.
Mobil Robby melesat pergi dan tak lama sampailah ia di gerbang tempat tes Selma. Ternyata Selma tengah menunggu kedatangan Robby.
"Assalamualaikum, Bang," sapa Selma dengan tersenyum dan duduk di samping Robby.
"Waalaikumsalam, gimana tesnya? Lancar?" tanya Robby.
"Alhamdulilah Selma lulus, Bang!!" katanya dengan suara yang menggelegar.
Robby mengerutkan dahinya, "biasa aja, Dek. Telinga gue dengung nih," ucap Robby sambil mengusap-usap telinganya.
Selma tertawa. "Hehehehe … sorry, Bang."
Robby menjalankan mobilnya. "Bang ke kafe dulu, Dong."
"Lama, Dek. Gue banyak kerjaan."
"Ish … ayo, Bang …."
"Hemm …."
Selma bersorak ria pada saat Robby mengiyakan keinginannya. Setelah 10 menit kemudian mereka sampai di kafe tempat langganan mereka. Seperti biasa hari-hari seperti ini banyak razia di sekitaran jalan kafe. Robby melajukan mobilnya pelan kearah parkiran kafe.
Mereka turun dari mobil dan masuk kafe secara bersamaan, kafe sedikit lenggang hanya ada beberapa polisi yang sedang menikmati makanannya mungkin sedang beristirahat.
Selma berjalan di belakang Robby.
"Robby?" suara itu, Selma terdiam. Ia menggelengkan kepalanya.
"Eh, woy lagi apaan lo?" ternyata benar itu memang Gibran, terbukti sekarang Robby menghampiri meja Gibran yang bersama kedua temannya.
"Lagi makan," jawabnya. Robby terkekeh karena tangannya wajah Gibran jadi berbekas berwarna biru pudar dibagian rahangnya.
Robby menyalami Gibran dan teman Gibran satu persatu. "Udah sembuh lo?" tanya Robby dengan kekehannya.
"Udah," jawab Gibran dengan dingin.
"Gue gak paham kenapa si Gibran bisa babak belur kaya gitu. Padahal keseharian dia kerja di kantor doang," kata Putra.
"Nabrak pohon mangga, mungkin," kata Ibdan.
"Hahahaha …" Tawa Putra, Ibdan dan Robby.
"Ehem," Selma mengeluarkan bunyi batuknya.
"Eh maaf, Dek. Gue lupa." Robby memelas melihat muka Selma yang telah merah.
"Ini Selma ya?" tanya Putra.
Selma tersenyum dan diperhatikan oleh Gibran. "Iya, Pak," kata Selma seramah mungkin.
"Oh, makan juga?" tanya Putra.
"Iya," kata Selma yang sekarang matanya melirik-lirik kearah Gibran yang memperhatikannya juga dengan tampang dingin andalannya.
"Sekarang kuliah dimana?" tanya Ibdan.
"Lanjut ke Mes--"
"Emm gue ke toilet," kata Gibran dan berjalan terburu-buru.
"Yasaudah, Pak. Selma mau makan dulu ya." Selma berbalik dan memberi kode ke Robby untuk mengikutinya.
Setelah mendapatkan tempat duduk yang jauh dengan posisi Gibran berada. Robby mulai memesan pesanannya.
"Bang! Kamu ngapain harus samperin dia sih?" kata Selma yang sudah kesal.
Robby menggaruk kepalanya. "Ya gimana lagi? Dia yang nyapa duluan."
Badan Selma luruh di kursi, “ya kamu enggak harus gitu juga, Bang.”
Pelayan pun datang dan meletakan pesanan Robby dan Selma. "Udah jangan dipikirin, makan dulu aja," kata Robby santai.
Selma menggerutu tak jelas dan langsung memakan makanannya.
…
"Gue mau kasih tau lo sesuatu, sebelum lo menyesal diakhir pilihan lo."
Lelaki itu menyerit mendengar perkataan sahabatnya yang mendadak ingin bertemu.
"Apa lagi?" Katanya dengan ekspresi dingin andalannya.
"Gue di sini bukan jadi propokator hubungan lo. Tapi gue mau meluruskan semuanya. Gue enggak mau lo salah langkah lagi."
Lelaki dingin itu hanya mengangguk, dan sahabatnya memberikan ponselnya yang berisi foto.
Lelaki itu menggeleng. “Enggak, ini enggak mungkin.”