Malam hari, Robby sedang berada di taman belakang bersama adiknya, Selma meminta Robby untuk menemani dirinya belajar berbahasa Arab.
"Ini, Bang? Katanya disatuin?" tanya Selma yang menunjuk arah laptop.
Robby yang tengah bermain ponsel, menengok kearah Selma. "Iya, disatuin." Walaupun tak mempunyai ilmu banyak berbahasa Arab, tetapi Robby sedikit mengerti berbagai bahasa internasional.
Selma mengangguk. Robby kembali lagi pada ponselnya. Ia sedang membuka grup chat dengan sahabat SMAnya.
Zakiii: Mau gak? Kita kumpul nih.
RobbySalman: Ayolah.
Zakiii: Bapak polisi kemana nih?
RobbySalman: Kerja kali.
Zakiii: Masa Cuma kita berdua, Rob. Kaga serulah.
Gibraan: Ayo
Zakiii: orang cuek beda ya.
RobbySalman: Cepet keburu tidur gue.
Zakiii: Sip. Bran ke kafe biasa.
Gibraan: Otw
"Bang Robby, besok bisa anter aku ke tempat teskan?" tanya Selma.
"Oke bisa. Sekarang mending lo belajar di kamar. Gue mau pergi dulu."
"Mentang-mentang punya doi, jalan-jalan aja terus, adiknya dicuekin," kata Selma dengan nada sewot.
"Hehehe … yang jomblo diem aje.”
“Yaudah sana deh, pergi hus-hus,” usir Selma sambil mengibas-ngibaskan bukunya.
"Cuma mau ketemu temen SMA kok."
Selma terdiam sebentar mendengar ucapan Robby, 'Temen SMA?' Pikir Selma. Hati dan pikirannya langsung menuju sosok Gibran, ternyata sesulit ini menghapus nama seseorang dari pikiran.
"Emm … Abang m—mau kumpul juga sama k—kak Gib—gibran?" tanya Selma dengan nada gugup.
Robby menatap adiknya,” tenang Dek, gue Cuma mau main aja."
'Main sebentar dengan Gibran mugkin tidak masalah,’ lanjutnya dalam hati.
"Iya, Bang."
"Yaudah, gue anterin lo ke kamar. Sini bukunya biar Abang yang bawa," ucap Robby.
"Oke, Bang."
Robby membereskan buku-buku yang di pakai Selma tadi. Ia membawa buku-buku yang sangat tebal tersebut ke kamar adiknya, dan Selma berjalan dibelakang Robby sambil membawa laptop.
"Udah rapi. Abang pergi ya." Robby menaruh buku-buku Selma ditempatnya dan berpamitan kepada Selma.
Setelah sampai di balik pintu, Robby membuka pintu kamar Selma lagi. Selma menaikkan alisnya. “Mau nitip makanan gak?" tanya Robby.
"Mau bubur ayam," kata Selma dengan nada yang tak niat berbicara
"Oke." Mata Selma melotot. Padahal itu hanyalah guyonan, tapi Robby malah mengiyakan perkataannya.
…
Setelah sampai di kafe yang telah dijanjikan oleh Zaki, Robby melihat ada dua orang yang sedang bercengkrama siapa lagi jika bukan Zaki dan Gibran.
Robby berdecih pelan saat melihat sosok Gibran. Ia berjalan menghampiri sahabatnya.
"Robby apa kabar," sapa Zaki dan bersalaman.
Gibran pun melakukan hal yang sama. Setelah bersalaman mereka duduk kembali ketempatnya.
"Wah … gimana nih sama Syabilla?" Tanya Zaki setelah menyeruput kopinya.
Robby memperhatikan Gibran yang anteng dengan ponselnya. "Lancar terus, laki-laki harus setia, jangan cepet ke goda iyakan?" ucap Robby dengan nada sedikit keras.
"Widih gaya lo, kalau ketemu mantan terindah balikan lagi gak?" Zaki menaikkan alisnya.
"Sorry-sorry, Bro … mantan itu masalalu yang gak usah di kenang, dan gak boleh di kenang, masih banyak kok ikan di lautan. Apalagi mantannya punya sikap yang ga bener, kenapa harus balikan?”
Itu semua bukan tentang kenyataan yang sedang Robby jalani, hanya saja tiba-tiba bibirnya berbicara seperti itu ketika dirinya melihat wajah Gibran yang tanpa ada dosa sedikitpun dihadapannya.
“Wish, lo kalau ngomong suka bener, hahaha …” kata Zaki yang disambut tawa oleh Robby.
Semakin lama, yang mendominasi obrolan adalah Robby dan Zaki, Gibran seperti biasa dengan sikap dinginnya, sekali-sekali Ia ikut mengobrol.
Tak terasa, mereka sudah mengobrol 2 jam lamanya. Jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Diam-diam Robby mengirim SMS pada Gibran yang ada dihadapannya.
"Gue balik duluan ya," kata Zaki yang memakai jaketnya.
"Oke hati-hati, ya," kata Robby.
Zaki menepuk bahu kedua sahabatnya dan berjalan menuju pintu keluar kafe.
"Ada apa, Rob?" tanya Gibran yang telah memakai jaketnya juga.
"Gue mau selesain masalah sama lo. Kalau udah selesai baru lo boleh ngelakuin hal sesuka hati lo."
Gibran menyeritkan alisnya, tak tau maksud ucapan Robby kepadanya. “Ada apa? Gue gak ngerti," tanya Gibran sekali lagi.
Robby melihat sekitarnya, pengunjung di kafe ini ramai. Jadi, tak mungkin Ia menyelesaikan masalahnya di sini.
"Kita ke taman pinggir kota yang biasa, gue tunggu 15 menit, kalau lo gak datang lo pengecut!!" Robby mengambil kunci motornya yang ada di atas meja, lalu menaruh uang dua ratus ribu, ia pun melenggang pergi.
Gibran melihat punggung Robby yang menjauh. Ia mengangkat bahunya, dan berjalan santai keluar kafe.
Robby telah menunggu Gibran diatas motornya, tak lama mobil Gibran datang dan berhenti tepat 5 meter darinya.
Tanpa basa-basi, Robby turun dari motor dan berjalan kearah Gibran yang telah keluar dari mobil. Robby melayangkan satu bogeman kepada Gibran. Gibran yang belum siap melawan pun terjatuh dan memegang rahangnya.
Dengan napas memburu Robby berbicara. “Berdiri lo kalau punya nyali!" tantang Robby.
Gibran berdiri. “Ada masalah?" tanya Gibran, yang sangat terkejut dengan perlakuan Robby.
“Lo masih nanya ada masalah? Jelas, lo punya masalah sama gue. Kenapa lo gampang banget sakitin hati perempuan yang udah tulus sayang sama lo!”
Wajah Gibran masih terlihat bingung dengan arah pembicaraan Robby.
'Bugh!’
"Buat lo yang udah nyakitin hati adek gue!"
'Bugh!’
"Buat lo yang udah jadi laki-laki pengecut!”"
'Bugh!'
"Buat lo yang enggak pernah menghargai perasaan perempuan!"
'Bugh!’
"Buat lo, yang udah jadiin gue abang yang enggak berguna buat adek gue sendiri!"
Kini wajah Gibran sudah babak belur oleh Robby. Gibran tak melakukan perlawanan apapun. Setelah mendengar kata-kata Robby. Ia baru tersadar, bahwa Ia telah menyakiti hati perempuan, lebih tepatnya, Selma.
Robby mengulurkan tangannya untuk membantu Gibran berdiri. Ia pun mengalungkan sapu tangan kearah wajah Gibran yang hidung dan bibirnya sudah mengeluarkan darah. Dengan sigap Gibran menangkap sapu tangan itu. Lalu Ia menyusut cairan yang keluar dari hidungnya.
Napas Robby masih memburu. Ia sangat kesal, tak ada perubahan ekpresi pada wajah Gibran yang menurutnya datar-datar saja.
"Cepet ngomong! Apa aja yang udah lo lakuin ke adek gue!"
"Gue gak pernah ngasih har--"
"Omongan lo basi, udah jelas lo ngasih harapan-harapan palsu buat adik gue, dan lo masih bisa ngomong kaya gitu?” cecar Robby.
"Gue nganggep Selma cuma sebagai adik gue sendiri. Sama halnya dengan Nafasya," kata Robby dengan nada datar.
"Adik? Apa lo gak tau, kalau Selma berharap lebih sama lo!"
Gibran diam dan masih mengusap hidungnya yang mengeluarkan cairan merah itu.
"Maaf gue udah punya pilihan."
"Cih … pilihan mana? Hubungan yang enggak direstui itu?"
"Jangan asal ngomong lo!" kini giliran Gibran yang menyolot kepada Robby.
"Apa? Memang benarkan? Hubungan lo enggak direstui?" ucap Robby dengan santainya.
"Itu urusan gue!"
Robby tersemyum jahat, "Ini yang namanya orang buta karena cinta?Kalau lo bukan pengecut, kenapa lo ngasih harapan ke adek gue?"
"Dari dulu gue enggak ngasih harapan sama dia! Adik lo aja yang punya harapan lebih!"
'Bugh!’
"Berani lo rendahin adik gue!"
Gibran bangkit dengan sendirinya. “Adik lo ngadu sama kakaknya?" kata Gibran dengan nada menyindir.
"Adik gue perempuan, walaupun dia kuat hati perempuan mana, yang mau disakitin sama laki-laki pengecut macam lo!" Robby sudah tersulut emsoi
"Inget, Bran. Lo yang udah mulai semuanya, dan lo juga yang harus akhiri semuanya. Karma tuhan berjalan selama lo masih hidup!”
Robby berjalan cepat menuju motornya dan meninggalkan Gibran yang terdiam.
…
Robby pulang dengan keadaan emosi yang tinggi. Bagaimana bisa sahabat yang ia percaya bisa membahagiakan adiknya, kini malah berkhianat. Saat ini hatinya merasa kesal dan sedih melihat Selma yang sangat terpuruk.
Robby tak lupa untuk membelikan bubur ayam pesanan Selma di jalan menuju pulang. Ia pun berjalan lemas kearah kamar Selma. Robby mengetuk pintu kamar Selma, setelah mendengar jawaban dari sang pemilik kamar, Robby pun masuk ke dalam sana.
"Dek, belum tidur?" tanya Robby yang menyembulkan wajah di balik pintu, ia melihat Selma sedang memainkan laptopnya.
"Bang? Ngapain di situ, sini masuk. Selma belum ngantuk.”
Robby mengangguk dan berjalan ke arah Selma. "Nih pesenannya." Robby memberikan kantong putih kepada Selma.
"Lah ini bubur?" tanya Selma.
"Lo tadi bilang pengen beli buburkan?"
"Hehehe … sebenernya aku cuma bercanda sih."
"Makan, gue udah beli. Mubazir kalau enggak di makan," ingat Robby.
Robby membuka tempat untuk membukus bubur tersebut, tak lupa mengambil sendok yang ada dekat lemari es, di ujung kamar Selma. Lalu memberikannya kepada Selma. "Nih, makan dulu. Pasti lo juga belum makankan?"
"Sama Abang makan aja deh."
"Bener-bener ya lo. Tadi yang mau ini siapa? Yang makan siapa …."
"Iya, deh … aku coba ya," kata Selma yang mulai menyendokan bubur itu. Robby mengangguk dan memperhatikan Selma yang sedang makan.
Robby terheran, wajah polos adiknya itu menjadi sasaran pengecut laki-laki yang tak bertanggung jawab. Bersyukur Ia mempunyai adik seperti Selma yang tak pernah terpuruk dalam kesedihan. Itu tadi dari pandangan Robby sebagai kakak Selma yang melihat itu semua, tapi ia pun tak tau apa yang Selma rasakan kini dihatinya.
Selma mengalihkan pengelihatannya ke wajah Robby yang sedari tadi memperhatikannya. "Liatin mulu, Bang. Mau?" tanya Selma.
Robby menggeleng sambil tersenyum.
Selma mengerutkan dahinya, tidak biasanya Robby memperhatikan dirinya sampai seperti itu. Bukannya apa-apa, Selma merasa geli melihat Robby yang tersenyum didepannya.
"Bang? Masih sadarkan? " tanya Selma.
“Iyalah gue masih sadar. Lo kira emang gue kenapa?"
"Hehehe … abisnya ngapain ngeliatinnya sampe gitu banget."
Selma kembali menyuapkan bubur itu kedalam mulutnya sambil sesekali mengetik sesuatu dilaptopnya.
"Dek, Abang ke kamar dulu ya. Lo abisin buburnya, oke? Jangan tidur terlalu malam, besok lo mau pergi tes.”
"Siap, Bang. Laksanakan!" ucap Selma dengan bersemangat.
Robby pun meninggalkan kamar Selma, dan Selma melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi, sambil menghabiskan bubur yang masih tersisa banyak.
Tak lama ponsel Selma bordering, nama Nafasya yang muncul disana. Tanpa menunggu lama Selma mengangkat telepon itu.
"Assalamualaikum, Na?"
"Waalaikumsalam, Sel …."
"Ada apa, telpon malam-malam begini?"
"Ini Kak Gibran babak belur," kata Nafasya di ujung telepon dengan nada yang khawatir.
Selma terdiam sebentar. Kenapa nama itu harus ia dengar kembali, padahal tadi ia sudah tak memikirkan tentang nama itu.
"Emm … Ke—kenapa, Na?"
"Kak Gibran babak belur, aku gak tau penyebab pasti dia seperti itu." Suara Nafasya diam di ujung sana. "Seharusnya aku gak perlu ngasih tau kamu ya, Sel?" lanjutnya dengan nada melemah.
Selma menarik napasnya. "Tidak apa-apa, Na. kamu obati kakak kamu ya. Aku masih ada kerjaan. Aku tutup telponnya, semoga cepat sembuh ya. Assalamualaikum."
Setelah mendapat jawaban salam dari sana, Selma mematikan pun mematikan ponselnya.
Sekarang Selma sudah tak ingin mengerjakan apapun, pikirannya sudah tak bisa fokus dengan materi-materi yang sedang ia pelajari. Lebih baik Selma menutup laptopnya, membereskan semua yang berceceran di atas tempat tidurnya, dan segera ia mematikan lampu kamar. Tidur adalah jalan yang terbaik untuk saat ini.
Setelah berbaring diatas kasurnya, pikirannya kembali dipenuhi oleh nama Gibran. Bisa dibilang saat ini dirinya khawatir dengan keadaan Gibran, bagaimana bisa ia babak belur seperti itu, dan siapa pelakunya? Lalu apakah Gibran baik-baik saja? Ingin sekali rasanya Selma berada disamping Gibran sambil mengobati luka itu.