Di dalam gedung pencakar langit kota ini, Selma tengah duduk di salah satu ruangan yang menjadi tempat ayahnya bekerja. Selma tengah menyiapkan berkas-berkas yang harus menjadi persyaratan untuk studinya ke Mesir nanti.
Ada banyak sekali kertas-kertas dihadapannya, sebenarnya Selma sudah malas melihat tumpukan-tumpukan kertas yang ada di sana. Namun untuk saat ini kata malas tak pantas digunakan.
“Sudah di susun semua persyaratan yang Ayah bilang?” tanya Adam dibalik laptopnya.
“Sebentar, Yah,” kata Selma yang kembali mencocokan berkas-berkas yang ada dengan list ditangannya. Merasa ada yang tidak sesuai, Selma bergerak melangkah menuju Adam. “Ini, Yah, yang belum ada,” kata Selma sambil menunjukan listnya.
“Surat ini, surat pernyataan dari SMA kamu. Tapi Ayah sudah bilang ke Haidar kemarin, dan akan di kirim hari ini katanya. Mungkin sebentar lagi, Ayah telpon lagi ya,” ucap Adam yang diangguki oleh Selma.
Tak mudah dirinya untuk bisa belajar di Mesir, butuh perjuangan dan keberanian yang ekstra. Sebenarnya Selma sudah melakukan beberapa test, dan untuk saat ini hanya ada dua test yang harus ia lalui, yaitu test berbicara bahasa Arab, dan test kesehatan.
Untuk jurusan yang ia pilih, Selma memilih jurusan Dirasat Islamiyah, keinginannya untuk mendalami ilmu agama islam, dan menjadi seorang guru semoga terlaksana dengan jalan ini. Selma berharap kedua test yang akan ia hadapi terlaksana dengan baik, agar ia bisa lulus dan berangkat menuju Mesir.
“Nak, Ayah sudah siapkan apartemen untuk kamu di sana,” ucap Adam kepada Selma yang sepertinya tengah membaca kamus Arab.
“Enggak mewah-mewahkan, Yah? Bukan maksud apa-apa … tapi tidak perlu berlebihan,” ucap Selma dengan senyumnya.
Adam mengangguk. “Tidak begitu mewah. Ayah yakin kamu suka tempat ini.”
“Loh, Ayah belum apa-apa udah sewa apartemen aja, dan bukannya ada wisma ya di sana?” tanya Selma yang kebingungan mengapa Ayahnya menyewakan apartemen itu.
“Ayah bukan sewa, tapi Ayah beli,” kata Adam santai.
“Ayah … kenapa harus beli aku juga bisa bayar sendiri,” kata Selma yang merasa tidak enak.
“Kamu masih tanggung jawab Ayah. Ayah mau kamu nyaman di sana, sudah terima saja, kamu pasti lulus kok.”
Selma melirik malas kearah Adam. Pasti ayahnya itu akan melakukan segala cara agar membuat dirinya senang. Tidak salah memang, tapi Selma sudah tau cara ayahnya seperti apa, pasti uang dan kekuasaan.
…..
Gibran berjalan kearah ruang tamu untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Ternyata ia melihat ada Haidar yang tengah duduk di sofa dengan laptop yang ada dihadapannya. “Kamu mau kemana?” tanya Haidar.
Merasa pertanyaan itu tertuju padanya, Gibran menolehkan kepalanya. “Kamu hari ini kerjakan? Kenapa belum berangkat?” lanjut Haidar. “Ini mau ganti baju, Abi,” kata Gibran yang kembali melanjutkan jalanya menuju kamar.
Beberapa menit kemudian, Gibran pun keluar kamar dan sudah rapi menggunakan seragam dinasnya, tak lupa tas yang berisi keperluannya, ia sampirkan dibahunya.
“Bran,” panggil Haidar.
“Iya, Abi,” jawab Gibran sambil menghampiri Haidar. Ia sudah melihat ada map berwarna hijau yang dipegang oleh Abinya.
“Tolong antarkan ke perusahaan Adam. Jangan dititipkan ke satpam, harus kamu yang mengantarknanya langsung, karena itu penting,” kata Haidar.
Belum sempat Gibran membalas perkataan Haidar, abinya itu kembali berbicara, “kantormu melewati perusahaan Adam, Abi titip sama kamu.”
Akhirnya Gibran mengangguk, lalu berpamitan dengan Haidar dan melenggang pergi.
Gibran mulai melajukan mobilnya untuk pergi ke kantor hari ini. Pikirannya berkecamuk ketika melihat map berwarna hijau disampingnya. Apakah ia yang harus mengantarkan ini langsung kepada Adam, atau pun ia bisa menyuruh seseorang untuk mengantarkannya.
Tapi di balik itu semua, map ini amanah dari sang ayah kepadanya, dan mau tidak mau, ia sendiri yang harus mengantarkannya kesana.
Ponsel yang berada di dash board mobil nya berbunyi tanda ada telpon masuk.
Ia mengambil ponsel tersebut dengan satu tangan dan tangan satu tangannya lagi mengendarai stir.
"Assalamualaikum … " sapa Gibran.
"Waalaikumsalam … “ jawab seseorang di sana dengan girang. Gibran sudah tau siapa yang menelponnya, siapa lagi kalau bukan Lisa.
"Ada apa, Li?" tanya gibran.
"Aku bosen dikostan, kamu jemput dong, kalau gak main sini …."
"Aku lagi dijalan mau ke kantor Om Adam."
"Om Adam? Siapa?"
"Ayah Selma."
"Oh, Selma yang waktu itu sama adik kamu?" tanya Audria dengan nada jutek.
"Kamu marah?”
"Enggak!"
"Aku hanya memberikan amanah abi."
"Hemm …” jawab Lisa di ujung telpon.
"Jangan marah, aku jemput sekarang."
"Emm … enggak perlu deh. Kamu mau dinaskan? Ini udah jam 2 satu jam lagi kamu masuk kantor …."
Gibran tersenyum "Iya, aku masuk kantor. Jangan marah ya."
"Iya, semoga lancar ya kerjanya … I Love You … Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Orang lain pasti terkejut ketika melihat sifat lain dari Gibran Abraham kali ini. Bagaimana ia bisa bersifat seperti itu kepada Lisa, sedangkan dengan Selma perlakuannya sangat dingin dan jutek. Apakah ini yang dinamakan cinta itu buta? Dan sebenarnya apa yang ada di dalam hati Gibran, Selma atau Lisa.
Perjalanan menuju perusahaan Adam, hanya membutuhkan waktu 25 menit dari rumahnya. Sesudah memarkirkan mobil di Basement, ia membawa map hijau itu dan berjalan menuju ruangan Adam berada.
Di ruangan Adam sendiri, Selma tengah mengisi kertas latihan-latihan untuk membantu menambah nilainya nanti, pada saat tes berbahasa Arab dan Inggris pastinya.
Ketukan di pintu mengalihkan pengelihatan Selma. Ayahnya baru saja keluar untuk meeting di lantai atas. Jadi hanya ada dirinya diruangan Adam.
Ia menaruh pulpen yang sedang ia pakai, dan membenarkan letak hijabnya lalu ia pun berjalan kearah pintu dan membukanya.
Selma terkejut dengan seseorang yang ada dihadapannya. Seseorang yang berusaha Selma hindari, kini hadir tepat didepannya. Dengan wajah datar tanpa ekspresi seperti biasa.
Selma gugup entah apa yang harus ia katakana, "Em … ma-maaf, A-ayahnya la-gi meeting barusan." Selma sengaja menundukan wajahnya agar tak berpapasan dengan mata gibran.
"Sejak kapan kamu berbicara sambil menundukan kepala?" tanya Gibran dingin.
Badan Selma bergetar, mengapa respon tubuhnya seperti ini jika bertemu dengan Gibran. Ia ingin menghindar dari Gibran, tetapi bagaimana lagi ia sudah terlanjur berhadapan langsung dengan orangnya.
"Saya ingin bertemu dengan Om Adam,” kata Gibran.
"Ayah lagi meeting," ucap Selma yang memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Dengan kesempatan itu, Ia melihat sekeliling luar ruangan ayahnya ternyata di sini sangat sepi.
"Maaf kalau mau ketemu lain kali aja,” ucap Selma yang langsung berbalik badan.
"Ini perlakuan kamu sekarang?" tanya Gibran dingin.
Selma diam dan belum membalikan badannya. "Ini yang kamu hindari? Bertemu saya? Kenapa kamu harus menghindar?"
'Kak Gibran tidak pernah merasakan jadi aku.’ Kata hatinya.
"Aku gak ngehindar …” namun ini yang keluar dari mulutnya.
"Lalu kenapa?" tanya Gibran yang masih berada di pintu.
Selma menggepalkan tangannya yang berada di sisi tubuhnya. Ada rasa kesal dalam dirinya ketika melihat Gibran. "Aku tidak berhak menceritakannya kepada kakak."
"Kenapa?"
Selma menggeleng, ia merasa tak sopan jika harus membiarkan tamu di depan pintu ruangan kerja ayahnya, walaupun itu Gibran.
"Maaf, lebih baik kamu duduk dulu, jika ingin menunggu Ayah, dan kalau kamu ingin pergi silahkan." Selma pun berjalan dan kembali duduk ditempatnya.
Gibran mengangguk dan masuk kedalam ruangan Adam. Ia duduk di sebrang Selma yang tengah memangku laptopnya.
Selma hanya sibuk dengan kertas, pulpen dan kamus-kamus serta laptopnya. Ia akan melaksanakan tes bahasa esok pagi. Bersama mahasiswa yang akan melanjutkan studi di sana.
Gibran memperhatikan Selma yang begitu serius."Berapa lama lagi?” tanya Gibran.
Selma mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan pertanyaan Gibran. Ia pun kembali tanya kepada Gibran "Maksud Kakak?”
"Ayahmu."
Selma mengangguk, "paling beberapa menit lagi."
"Kamu kok ada di sini?" tanya Gibran kembali.
'Sejak kapan kak Gibran bawel? Perasaan dia kalau enggak diajak ngomong ya diem.' Pikir Selma.
"Lagi ngurusin berkas,” jawab Selma seadanya.
"Kamu mau kuliah?"
Selma mengangguk.
"Ouh."
'Hanya itu respon dia?' tanya Selma dalam hatinya, karena tidak puas dengan respon Gibran yang seperti itu.
"Gimana, Kak, sama Lisa?" tanya Selma yang ingin berbasa-basi mengobrol dengan Gibran. Padahal hatinya sangat sakit menanyakan hal seperti ini kepada orang yang ia kagumi.
Gibran mengangkat alisnya. "Baik-baik saja."
Deg, debaran di hati Selma menjadi-jadi. Ia harus bisa mengendalikan dirinya agar tidak terlihat lemah di mata Gibran.
Selma memaksakan senyumnya. "Oh, syukur deh. Semoga Kak Gibran cepet mengerti ya."
Kerutan di dahi Gibran menjadi setelah mendengar kata 'semoga kakak cepat mengerti ya.' apa maksud dari kata itu. "Maksud kamu?" tanya Gibran.
"Emm, enggak apa-apa lupakan."
"Ben--"
"Ada Gibran? Lama menunggu, Nak?" Adam datang bersama sekertaris laki-lakinya.
Adam memperhatikan reaksi Selma di saat bertemu dengan Gibran. Awalnya Adam pun terheran dengan anaknya yang sudah tidak akrab lagi dengan Gibran. Namun Adam berpikir mungkin itu hanya asumsinya saja.
Setelah sekertaris lelaki itu keluar. Adam membuka pembicaraannya. “Ada apa, Nak?" tanya Adam kepada Gibran.
Gibran bangkit dari duduknya dan berjalan kearah Adam yang duduk ditempatnya. "Ini dari Abi." Ia menyerahkan map hijau itu kepada Adam.
Adam membuka lembaran-lembaran kertas yang ada di dalam map itu dan mengangguk "Baik, terima kasih ya, sudah menantarkan."
Gibran mengangguk. “sama-sama, Om."
"Ayah, Selma mau pulang" Adam mengalihkan mata nya kearah Selma yang tengah membereskan barang-barang nya.
"Kenapa pulang, Sel?" tanya Adam.
"Ini kertas jawaban Selma ketinggalan di kamar harus di susun."
"Yasudah kamu pulang dengan Gibran saja."
'Bruk' kertas-kertas yang di bawa Selma terjatuh karena mendengar apa yang diucapkan Adam.
"Emm … Selma pulang sendiri aja, Ayah. Naik taksi," tolak Selma secara halus.
"Jangan, Nak. Berbahaya … lebih baik kamu pulang berbarengan dengan Gibran. Kamu tidak keberatankan, Bran?” tanya Adam.
"Enggak, Om."
" Yasudah pulang diantarkan Gibran."
Selma tidak bisa mengelak. Ia hanya bisa mengangguk dan mencium tangan Adam, dan berjalan terlebih dahulu lalu di susul dengan Gibran.
Tidak ada percakapan diantara mereka ketika berjalan menuju basement. Sesampainya mereka di depan mobil Gibran, Selma melihat ada seorang perempuan yang sepertinya sedang menunggu kedatangan Gibran. Siapa lagi jika bukan Lisa.
Selma bisa melihat jika Gibran tersenyum kearah Lisa dan di balas senyuman ceria oleh wanita itu.
“Hai! Assalamualaikum …” sapa Lisa.
“Waalaikumsalam, kamu ada di sini?” tanya Gibran yang terheran.
“Aku tadi di kafe sebrang sana. Terus ngeliat mobil kamu masuk ke sini, yasudah aku tunggu di sini.”
“Bukannya kamu lagi tiduran di kamar?” tanya Gibran kembali, yang merasa kurang puas dengan jawaban Lisa.
“Emm … se--sebenernya aku tadi lagi keluar dengan bibi,” katanya sedikit gugup.
Gibran yang mendengar jawaban Lisa hanya mengangguk. Lalu ia berjalan dan membukakan pintu mobil bagian depan untuk Lisa.
Lisa pun berjalan berlenggak-lenggok dihadapan Selma yang tengah memperhatikan mereka, tak lupa senyum sinis Lisa berikan kepada Selma yang kebetulan sedang melihat wajahnya.
Pintu mobil pun tertutup, dengan Lisa yang sudah duduk manis disana. Gibran yang melihat Selma terdiam, berbicara, “ ayo,…” ajaknya.
“Aku naik taksi saja,” kata Selma sambil menunduk.
“Ayahmu sudah menitipkan kepada saya, masuk.” Gibran berjalan terlebih dahulu menuju kursi kemudi, dengan berat hati Selma membuka pintu mobil Gibran dan duduk di sana.
Kebimbangan hati Selma terjadi. Saat dalam perjalanan menuju rumahnya, Selma melihat adegan-adegan yang sungguh ingin Ia hindari. Hatinya sudah tidak karuan melihat mereka tertawa bersama tanpa memperdulikan sekitarnya.
Lafal Istighfar terus Selma ucapkan dihatinya. Ia sendiri mencoba menghindari wajahnya untuk tidak melihat kearah Gibran maupun Lisa. Hanya jalanan padat merayap yang bisa ia lihat. Sungguh ingin rasanya Selma pergi dari sana sekarang juga.
Selma menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang siap turun kapan saja. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dipikirannya tentang Gibran untuk saat ini. Mengapa Gibran tidak menghargai jika ada dirinya di sana? Kenapa Gibran tidak peduli dengan kebersamaan mereka selama ini? Jika akhirnya seperti ini, mengapa harus Selma yang merasakan sakitnya sendiri? Hati Selma sungguh di buat kacau oleh mereka.
"Oh iya? Waktu dulu itu, iya aku ingat. Kamu kangen ga sih? Kalau aku kangen banget,” kata Lisa dengan heboh, Selma tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
"Mungkin nanti jika ada waktu," jawab laki-laki dingin itu.
"Yah … kamu gak asik. Ayo dong nanti hari sabtu ya?" ajak perempuan tersebut.
"Sabtu, sepertinya aku dinas.”
"Sabtu weekend loh, masa kamu mentingin dinas terus. Harusnya kamu izin kerja aja," kata Lisa yang kini bergelayut manja di lengan kiri Gibran.
"Aku usahakan," kata Gibran sambil tersenyum.
"Nah, baru itu kesayangan."
Cukup, cukup sudah. Selma tidak bisa berada di dekat mereka terlalu lama, kini hatinya semakin dalam terluka. Mata Selma semakin panas, sedangkan jalan menuju rumah masih sangat jauh, ditambah jalanan yang padat.
"Ekhem!" Selma berpura-pura batuk, disaat air matanya menetes. Buru-buru ia menghapus air matanya itu disaat Lisa menengok kearahnya.
"Aduh aku lupa, ternyata di sini ada orang juga ya," katanya dengan nada jutek dan melepaskan tangannya yang sedang memeluk lengan Gibran. Lalu Ia duduk kembali ketempatnya.
"Maaf, Kak. Kalian belum muhrim," kata Selma yang sudah tak tahan ingin berbicara.
"Terus?"
"Kak Gibran lebih tau dari pada saya, tapi kenapa kamu diam saja?" kata Selma yang sudah geram melihat tingkah Gibran. Biarlah kesopanan Ia pinggirkan dulu. Yang terpenting Ia bisa meluruskan semua ini.
“Lu gak usah so suci jadi orang!" kata Audria dengan nada yang tinggi.
"Bukan seprti itu, Kak …"
"Terus apa maksud lu ngomong kaya gitu?"
Selma menarik napasnya. Ia mencoba tersenyum, tidak ada respon apapun dari Gibran. Yang ia lakukan hanya menenangkan perempuan itu.
"Tolong turunkan saya di depan," ucap Selma dengan nada yang sedikit bergetar.
"Udahlah turunin aja, muak gua sama orang so suci kaya dia," kini Lisa lebih memanas-manasi Gibran.
"Tolong jaga bicara kamu, Lisa. Selma, saya antar kamu ke rumah," ucap Gibran dingin.
Mata Lisa membesar setelah mendengar kata yang keluar dari mulut Gibran.
"Sebenarnya dia tuh siapa sih? Perasaan kamu bela terus."
Selma berharap ucapan Gibran dapat sedikit menenangkan hatinya.
"Dia hanya anaknya teman abi," kata Gibran santai.
Selma menggigit bibirnya, dan jantungnya berdetak kecang. Sudah jelas jika kehadirannya sudah tak diinginkan Gibran kembali.
Ingin sekali sebelum waktu terakhirnya di Indonesia Ia bisa membuat kenangan manis bersama Gibran. Namun semuanya hanya angan semata.
Ia pun belum pernah menyinggung tentang keberangkatannya ke mesir nanti. Selma jadi ragu untuk memberitahu kepada Gibran, dan mungkin Gibran sudah tidak memikirkannya lagi.
"Maaf, saya ingin turun di depan." ulang Selma sekali lagi. Sudah cukup hatinya terluka sampai di sini.
"Bran, kamu dengerkan? Dia pengen turun."
"Bener, Sel?" tanya Gibran santai.
Hanya itu? Pertanyaan yang keluar dari mulut Gibran.
"Iya, Pak."
Panggilan yang kembali Selma katakan kepada Gibran. Awal ia memanggil Gibran dengan sebutan bapak disaat dirinya dulu, terkena tilang dan itulah awal mula kisah mereka. Lalu mungkin, ini adalah akhir kisah Selma dan Gibran.
Gibran mengangguk dan menepikan mobilnya.
"Terimakasih, Pak. Semoga kamu cepat sadar."
Setelah mengucapkan itu Selma turun dari mobil Gibran, dan meminggir ke arah trotoar jalan.
Jalanan yang padat merayap kini lebih lancar. Mobil yang dikendarai Gibran sudah melesat pergi. Saat Selma turun tadi, tidak ada kata-kata apapun yang keluar dari mulut Gibran.
Selma melihat ada halte dengan berjarak kurang lebih sepuluh meter darinya. Ia berjalan menuju halte tersebut.
Cuaca yang tadi cerah, kini berganti dengan awan hitam yang bergulung.
Selma mencari ponselnya. Namun keberuntungan tidak ada padanya, ponsel yang ia genggam mati.
"Ya Allah … gimana ini?" gumam Selma pada hatinya. Ia semakin kalang kabut di saat langit menjatuhkan airnya.
"Mana hujan lagi." Selma mendekap map-map yang dipegangnya.
Kilatan cahaya petir bersahutan tanpa suara. Di sekitar halte sudah tak ada orang. Jalanan pun sepi dari kendaraan umum. Selma memejamkan matanya. Walupun kilatan itu tidak dengan suara, tetapi ketakutannya kian membuncah.
"Ya Allah … Bunda, tolongin Selma …" lirih Selma.
Ia terus menunduk. Tak sadar jika ada orang dihadapannya. "Selma?”
"Abang?" Selma langsung memeluk Robby yang ada dihadapannya. Entah dari mana kedatangan Robby, yang penting Ia sudah ada bersama orang terdekat.
Suara tangis Selma terdengar lirih. Hujan deras menjadikan latar suasana keadaan hati Selma saat ini.
"Syutt … udah, Dek. Ayo lari ke mobil," Selma melepaskan pelukannya.
"Hitungan ketiga lari ya," kata Robby, dan Selma mengangguk.
"1 2 3!" mereka berlari kearah mobil Robby yang terparkir di pinggir jalan.
Selma menaruh map-mapnya ke jok belakang. Untung saja, kertas-kertas didalamnya tidak basah. Hujan di luar sangat-sangat deras, baju kameja yang dikenakan Robby pun sudah basah kuyup.
Tanpa ragu, Robby membuka bajunya "Ish! Bang Robby kok buka baju sembarangan," kesal Selma yang langsung mengalihkan pengelihatannya.
"Gak apa-apa, Sel." Robby membuka kamejanya dan mengganti dengan kaos yang Ia bawa dalam tasnya.
"Udah belum, Bang?" tanya Selma.
"Udah, santai aja kali."
"Abang …" panggil Selma dengan nada manja andalannya.
"Kenapa Selma?"
Selma menekuk wajahnya, ia tak sanggup menceritakan tentang hatinya saat ini. Tetapi, jika di biarkan saja, rasa sakitnya makin menggrogoti.
Tidak ada balasan dari Selma, Robby mulai menyalakan mobilnya.
"Bang," panggil Selma lagi.
"Kenapa sih? Gue tau, pasti ada yang lo umpetinkan? Siapa lagi, yang nyakitin lo, Dek? Gue laporin ke polisi," kata Robby dengan nada bercandanya.
'Orang yang nyakitinnya juga kerjaannya polisi.'
"Bang … aku serius,” rengek Selma.
"Nah, kurang diseriusin, jadi begini," tawa Robby pun keluar.
"Terus aja. Ledek terus, Bang,” kesal Selma.
"Iya-iya maaf … ada apa Selma?” kata Robby dengan nada lembut yang ia buat-buat.
"Dia, Bang."
Robby mengerutkan dahinya. Tidak paham dengan apa yang dibicarkan oleh Selma. Dia? Dia siapa?
"Dia, siapa?"
"Kak Gibran," suara Selma melemah.
"Wah. Kalau ini gabole dilaporin polisi dong. Abang gajadi laporin polisi deh." Selma geram dengan candaan Abangnya, Selma pun memukul pelan lengan Robby.
"Aduh! Galak bener."
“Hmm … udahlah Selma gajadi cerita.”
“Jangan gitu dong. Ayo cerita.”
Selma menceritakan semuanya dari awal hingga akhir tadi, disaat dirinya bertemu dengan mereka, Gibran dan Lisa. Dengan menceritakan tentang mereka, kini hati Selma sedikit lega. Walaupun air matanya sudah berpindah pada tisu-tisu yang berserakan di mobil Robby.
Mendengar semua yang diceritakan oleh adiknya, tangan Robby mencengkram stir kuat-kuat. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Selma.
Kini Selma sudah luruh tak bersemangat, semakin banyak beban dipundaknya dan dipikirannya juga.
"Tenang, Dek … bakal gue urusin semuanya," kata Robby dengan mantap.
Selma sudah tak tau harus berbicara apalagi. Sudah sangat sakit hatinya menerima semua ini. Untuk saat ini, dirinya hanya ingin fokus dengan studinnya, karena esok hari ia akan menjalani tes. Jika tes tersebut bisa berhasil dengan 100% Selma bisa pergi jauh meninggalkan kenangan buruk yang ada di tempat ini.
"Bang?"
Robby menengok ke arah adiknya.
"Apa aku pantas untuk menerima semua perlakuan dia?" tanya Selma dengan wajah serius dan tatapan yang kosong.
"Dek …"
"Sakit, Bang. Aku tidak kuat jika harus bertahan sendiri seperti ini. Kalau memang dengan ikhlas aku bisa melupakan semuanya tentang dia. Akan aku ikhlaskan.”
Robby tak tega melihat kisah percintaan Selma dan Gibran. Adiknya itu mengharapkan Gibran yang juga teman Robby waktu jaman SMA. Ia tidak bisa berbuat apa-apa di sini, karena mereka yang menjalani, dan mereka sudah sama-sama dewasa.
"Dek, keikhlasan bukan hanya tentang melepaskan, tetapi tentang keridhoan untuk mendoakan. Jadi, sesakit apapun hati lo, Dek. Lo harus tetep bersyukur, karena mungkin Allah memang mau melindungi lo dari laki-laki yang seperti itu. Memang lo gak pantes buat nerima perlakuan dia, tapi Allah baik, tandanya Allah udah ngasih peringatan ke lo, bahwa dia gak baik buat lo,” jelas Robby sambil menyetir.
Selma terdiam mendengar penjelasan Robby dengan kata-kata bijaknya.
"Gitu ya, Bang? Tapi kenapa rasanya harus sesakit ini?"
"Cara Allah untuk mendewasakan orang-orang berbeda, Selma. Lebih baik do'akan dia dengan kebaikan, karena hakekat do'a akan kembali pada yang mendoakan."
'Dan liat aja, Dek. Gue punya rencana lain buat ngasih pelajaran si pengecut itu.' hati Robby bersuara.
"Terimakasih, Bang. Sudah jadi sandaran untuk Selma."
"ini sudah jadi kewajiban gue, Dek. Buat ngejaga lo jadi jangan sungkan lagi. Kalau ada hal apapun itu, kasih tau gue." Selma mengangguk dan tersenyum kearah Robby.
Mereka telah sampai dirumah, namun hujan masih saja mengguyur daerah tersebut.
Robby memarkirkan mobilnya langsung kedalam garasi. Selma turun dan berjalan beriringan dengan Robby yang kini membawa map-map Selma.
"Bang, jangan kasih tau bunda tentang ini ya?" bisik Selma pada Robby.
"Memangnya kenapa?"
"Please, Bang," ucap Selma.
Robby mengangguk. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi menyangkut ketenangan adiknya.
"Assalamualaikum," salam Robby dan Selma yang masuk kedalam rumah.
Hanya ada pembantu dirumahnya yang menjawab salam.
"Bi, Bunda di mana?" tanya Selma kepada salah satu bibi disana.
"Ibu lagi dikamarnya, Non," katanya.
"Ouh iya makasih ya, Bi." pelayan tersebut mengangguk dan mengudurkan diri.
"Bang, Selma langsung keatas ya." Selma mengambil map-map yang ada di tangan Robby, dan berjalan menuju kamar.
Setelah sampai di kamar, Ia menaruh map-map di meja belajarnya. Deretan koper berjajar di kamar Selma untuk persiapan keberangkatan nanti.
Selma melihat jam yang menempel di dinding kamar jarum menunjukan pukul 4 sore. Buru-buru Ia membersihkan diri dan beribadah kepada Allah.