(6) Way Of Love

1856 Words
Akhirnya dengan waktu 5 menit perjalanan, Gibran bisa membawa Selma menuju rumah sakit terdekat. Selma langsung ditangani oleh dokter dan sekarang ia sudah dipindahkan kedalam ruang rawat inap.   Gibran hanya bisa terdiam sambil melihat wajah pucat Selma yang terbaring lemah. Rinta dan Adam, kedua orang tua Selma baru saja Gibran kabari, dan sekarang masih dalam perjalanan.   Kejadian yang sungguh singkat, mengakibatkan Selma terbaring lemah di rumah sakit. Ketukan di pintu membuat Gibran tersadar dari lamunannya. Ada Adam dan Rinta yang datang dengan wajah khawatir.   “Assalamualaikum, Nak,” sapa Rinta dengan mengecilkan suaranya.   Gibran pun berdiri, dan mencium tangan Rinta dan Adam bergantian. “Waalaikumsalam.”   “Ya Allah, Selma …” Rinta mengusap kepala Selma yang di balut jilbab putih.   “Om, Tante, Saya minta maaf atas kejadian ini,” kata Gibran dengan wajah tegas menghadap kedua orang tua Selma.   Adam menepuk bahu Gibran. “Saya tidak tahu menahu tentang urusan anak muda, Gibran … mohon maklumi, sikap Selma memang seperti anak-anak,” kata Adam.   “Dari kemarin sebelum ke pesantren, memang Selma sudah merasa tidak enak badan,” ucap Rinta yang menatap iba anaknya.   “Saya salah Om, Tante, saya penyebab Selma seperti ini. Saya menemukan Selma di atas rooftop dengan keadaan yang tidak layak.”   “Tidak usah saling menyalahkan. Selma salah karena sikapnya seperti kanak-kanak. Dan kamu pun mungkin penyebab permasalahan ini. Sudah terjadi, tidak perlu menyesali,” kini Rinta yang berbicara.   Gibran mengangguk. “Sepertinya kamu kelihatan lelah, rambut kamu masih sedikit basah. Lebih baik kamu pulang, biar Selma yang kita jaga di sini.”   ….   Jam menunjukan pukul 11 siang, ada Robby yang menemani Selma di rumah sakit. Selma hanya bisa melamun, pikirannya kosong dan moodnya pun sangat turun.   “Ngapa lo diem terus?” tanya Robby yang terheran karena sedari tadi Selma terus terdiam.   “Aku mau pulang …” kata Selma dengan tatapan kosong.   “Lah belum juga sembuh udah mau pulang aja,” ucap Robby santai dan kembali melanjutkan memainkan ponselnya.   “Siapa yang bawa aku ke sini? Padahal aku baik-baik aja, gak perlu di bawa ke rumah sakit.”   “Gibran yang bawa lo kesini. Ngapain harus drama hujan-hujanan malem hari pula, mau nyari penyakit lo?”   “Ish, adiknya lagi sakit bukannya di manja, malah dimarah-marahin,” kesal Selma yang lebih memilih kembali membaringkan badannya.   “Iya-iya maaf,” kata Robby yang kasihan melihat Selma yang kesal.   Robby menghampiri Selma, dan duduk dihadapan Selma. “Lo baik-baik aja?” tanya Robby yang kini mulai serius.   Walaupun dengan keadaan yang kesal, Selma tetap mengangguk. “Tapi gue rasa … lo lagi enggak baik-baik aja,” ucap Robby.   Selma membenarkan posisi tidurnya menjadi terlentang. “Aku baik-baik aja, Bang,” katanya.   “Sayangnya, gue enggak percaya.”   “Yauda enggak usah percaya.”   “Selma … lo kenapa?” tanya Robby yang kini mulai melembut.   “A-aku emm … ce—“   “Assalamualaikum …” Nafasya datang seorang diri dengan membawa beberapa paperbag ditangannya.   “Waalaikumsalam,” jawab Selma dan Robby.   Nafasya tersenyum kearah Selma dan Robby, Robby pun membalas senyuman Nafasya tak kalah manis.   “Liat cewek bening dikit, senyumnya …” ejek Selma yang membuat Robby menggaruk belakang kepalanya, ia lebih baik meninggalkan Selma dan Nafasya untuk lebih leluasa mengobrol.   “Kamu kenapa bisa kaya gini?” tanya Nafasya yang duduk dikursi.   “Aku baik-baik aja, cuma demam kemarin.”   “Beneran Cuma demam?” tanya Nafasya yang tak yakin.   Selma mengangguk dan tersenyum untuk bisa menyakinkan Nafasya bawah dirinya baik-baik saja. “Iya, Na … aku baik-baik saja.”   “Itu barangnya ternyata udah di kirim langsung kemarin, jadi aku bawa sekarang,” kata Nafasya yang menunjuk kearah paperbag.   Paperbag yang berisi belanjaan online Selma ternyata banyak juga. Selma pun membuka satu-persatu belanjaan yang ia beli kemarin, ternyata kualitas barangnya baik, dan sesuai harga. Moodnya sedikit membaik ketika melihat belanjaan-belanjaan didepannya.   “Umi sudah memarahi Kak Gibran kemarin,” kata Nafasya yang memulai percakapannya.   Selma merapihkan barang-barang yang ia periksa tadi dan menyimpannya kembali ditempatnya dengan hati-hati, karena selang infus masih menempel ditangannya.   “Loh, kenapa bisa kena marah? Dia enggak apa-apakan? Semalem dia cari-cari aku, dan kayaknya dia juga yang nganterin aku ke sini,” kata Selma yang berusaha ingin terlihat baik-baik saja. Padahal ketika mendengar nama Gibran suasana hatinya kembali berubah, ada perasaan sedih, kesal, marah yang sulit di ekspresikan.   “Umi marah karena sikap dia yang seperti anak kecil. Kak Gibran baik-baik aja kok, kamu enggak perlu khawatir. Malah dia kena omel umi lagi malam-malam,” kata Nafasya yang mengakhiri perkataannya dengan tertawa geli.   Selma ikut tertawa pelan, tidak bisa ia bayangkan bagaimana Gibran dimarahi oleh Fatma. Sikapnya yang kelihatan sangat dewasa dan bertanggung jawab ternyata bisa membuat kesalahan juga. ….   Sore tadi, Selma sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena keadaannya cukup baik. Saat ini ia sedang duduk bersandar dikasurnya sambil menonton kartun di televisi.   Robby mengetuk pintu kamar Selma, dan tiba-tiba kepalanya sudah menongol di pintu. “Bang? Ada apa?” tanya Selma sambil mempersilahkan Robby masuk.   “Gue mau ngobrol,” kata Robby sambil berjalan kearah Selma dan duduk dihadapan Selma.   “Ish, Bang … kalau mau ngobrol, ya ngobrol aja. Enggak perlu duduk di depan aku juga, aku kan lagi nonton, Bang ….”   “Gue mau ngobrol serius,” kata Robby dengan wajah yang benar-benar serius.   Selma yang sedikit takut dengan wajah Robby langsung mengangguk. “Iya Bang.”   “Gue enggak perlu basa-basi. Lo cukup ceritain kejadian kenapa lo tiba-tiba pulang kemarin dan berujung di rumah sakit,” kata Robby to the point.   “Selma memang sengaja ingin pulang, Bang.”   Robby menggeleng tidak percaya. “Kalau memang begitu, Gibran kemana?”   “Kemarin Kak Gib—“   “Ceritain semuanya, gue enggak suka omong kosong,” ucap Robby yang memotong ucapan Selma.   Selma yang ditatap tajam oleh Robby, merasa takut dan tak berani untuk menceritakan semuanya. Dibalik rasa takut akan tatapan sang kakak, sekelebat kejadian kemarin melintas dibenaknya yang membuat hatinya kembali merasakan sakit.   Satu tetes air mata mengalir di pipi Selma. “Kemarin aku pulang karena enggak sanggup harus ngeliat kak Gibran dengan perempuan lain, Bang …” setelah menyelesaikan ucapannya tangis Selma pecah, ia langsung memeluk Robby dengan erat.   Selma pun menceritakan semua kejadian kemarin, tanpa terlewatkan. Bagaimana ia melihat perempuan masalalu Gibran, tatapan Gibran kepada perempuan itu, sampai-sampai momen dimana Gibran mengantarkan Lisa pulang dan menghiraukannya, semua masih terlihat jelas diotaknya.   Dengan sisa-sisa air mata diwajahnya, Selma menghembuskan napas beratnya. “Sebenernya aku enggak apa-apa, Bang … Cuma aku juga enggak bisa ngebohongin hati aku. Aku tau seharusnya aku enggak usah berharap lebih, tapi ternyata aku terjebak.”   “Biar gue yang urusin semuanya, Dek,” tengas Robby. Sepanjang waktu tadi, ketika Selma menceritakan kejadiannya, kepalan tangan sebelah kiri Robby tidak penah terlepas.   “Bang … enggak perlu membesarkan masalah, aku enggak apa-apa, kok …” kata Selma yang tidak ingin mengganggu hubungan persahabatan mereka.   “Gue tau perasaan lo, dan enggak seharusnya gue diem di saat lo lagi terpuruk kaya gini,” ucap Robby, hendak berdiri dari duduknya, Selma memegang lengan kanan Robby.   “Aku mau mempercepat kepergianku ke Mesir,” kata Selma.   Robby yang terkejut ucapan Selma, kembali duduk menghadap sang adik. “Lo serius mau mempercepat semuanya?” tanya Robby yang sangat terkejut, pikirnya Selma hanya main-main tentang studinya ke Mesir.   Selma mengangguk mantap sambil tersenyum. “Besok aku akan mulai mengurus semuanya, dan sebagian sudah di urus oleh ayah. Malam ini aku mengundang teman-temanku ke sini untuk makan malam.”   “Lo serius mau kesana karena niat lo belajarkan? Bukan untuk melampiaskan sesuatu?”   Selma memukul pundak Robby gemas. “Iyalah belajar, Selma enggak selemah itu ya, Bang.”   “Gue sayang lo, Dek. Gue beruntung punya adik sesabar lo,” ucap Robby sambil mengusap kepala Selma.   Selma berdiri dari duduknya dan memukul Robby kembali. “Lebay, lo!” kata Selma dengan nada guraunya dan tertawa.   Asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar Selma yang terbuka. “Non, dibawah sudah ada teman-teman yang mengunguu,” ucap Bibi yang diangguki Selma.   “Ayo turun, ada Syabilla tuh, hahaha …”   ….   Syabilla dan Dewi sudah duduk manis di ruang tamu sambil menonton TV dan menikmati kudapan yang sudah disediakan. Dari belakang Selma bisa melihat Syabilla dan Dewi tengah mengobrol ringan, sekelebat pikirannya tentang Diva terlintas dibenaknya, bagaimana kabarnya sahabat yang dulu telah melukainya, saat ini?   Kejadian yang ada dalam hidup tidak perlu disesali, semua sudah kehendak tuhan, kita sebagai manusia hanya harus menjalani dan mensyukuri apa yang ada. Selma menetapkan kalimat itu di hatinya. Ia pun menepuk pundak kedua sahabatnya,“Assalamualaikum …” sapanya dan duduk di dekat Dewi.   “Waalaikumsalam,” jawab mereka.   “Coklatnya enak, gue bawa pulang ya, Sel,” kata Dewi yang memasukkan beberapa cokelat kedalam tasnya.   Selma dan Syabilla tertawa karena tingkah Dewi. Mereka pun mengobrol ringan sambil memekan semua camilan yang ada, dan tak lupa mereka pun berfoto-foto ria. Sampai tiba dimana Dewi menanyakan kenapa mereka diundang Selma untuk kemari.   “Tumben banget nyuruh kesini, Sel?” kata Syabilla.   “Emm ada yang ingin aku obrolin.”   “Ada apa nih? Serius banget kayanya,” kata Dewi yang menyimpan ponselnya dan siap mendengarkan ucapan Selma.   “Aku mau pamit. Dua minggu langi insyaallah aku bakal berangkat ke Mesir seperti yang sudah aku bicarakan waktu itu.”   Dewi dan Syabilla terkejut dengan perkataan Selma. “Secepat ini, Sel?”   Selma mengangguk dan tersenyum. “Selagi semua prosesya bisa aku tempuh.”   “Jadi ini pertemuan terakhir kita, dan lo bakal pergi ke Mesir?” tanya Syabilla.   “Aaaa Selma,” rengek Dewi yang langsung memeluk sahabatnya itu.   “Lo harus baik-baik di sana. Belajar yang bener, makan jangan lupa, dan harus jaga diri,” kata Dewi yang diangguki Syabilla.   “Pasti aku inget semuanya.”   “Lo pasti lama ya di sana?” tanya Syabilla dengan nada lesu, karena dalam hati Syabilla, ia belum siap untuk jauh dari sahabatnya, Selma.   Selma terdiam, memikirkan berapa lama dirinya untuk tinggal di Mesir. “Aku ngambil studi 3 sampai 4 tahun, Sya. Emm … kira-kira gitu sih. Tapi kalian gak perlu khawatir, kita masih bisa video call, dan telponan,” kata Selma dengan nada riang agar Syabilla dan Dewi tidak murung-murung seperti ini.   Pasalnya mereka berdua, sedari tadi bersandar di sofa tanpa ada gairah untuk mengobrol bersama Selma. Mungkin karena berita mendadak seperti ini. “Please ya, Sel … gue enggak bisa dikasih kabar kaya gini,” rengek Dewi dengan lebay.   Selma menyandarkan kepalanya di bahu Dewi. “Enggak usah lebay gitu, aku mau belajar di sana, Dew … kan masih bisa Video call kalau kangen. Nanti aku kirimin barang-barang cucok deh dari Mesir,” kata Selma sambil menaik turunkan alisnya.   “Alah, sogokan lo bisa aja,” kata Dewi sambil sedikit tertaw. “Tapi lama banget loh, Sel, empat tahun … gue enggak bisa bayangin seberapa lama waktu nanti,” lanjut Dewi dengan nada lebay.   Syabilla yang sudah tidak mood untuk berbicara lebih baik bersandar dan mendengarkan Selma berbicara. “Kenapa kamu diem, hei,” tanya Selma sambil mencolek lengan Syabilla.   “Udahlah, gue enggak mood denger yang kaya ginian,” ucap Syabilla sambal menutup wajahnya dengan bantal.   “Hei, kok jadi pada ga mood gini sih? Dengerin aku ya, Sya, Dew. Jalan kita masih panjang, sekarang kita harus jalani dunia kita masing-masing. Kamu nanti bakal ke luar kotakan? Buat ikut PTN?” tanya Selma kepada Syabilla dan dianngguki. “Dan kamu juga, kamu mau ke Jogja jugakan?” tanya Sela kepada Dewi dan diberi anggukan lemas.   “Nah, kita impas. Jadi enggak ada yang harus kita galauin di sini. Aku pergi, kalian juga bakal pergi dari kota ini. Walaupun kita udah enggak kaya dulu lagi, yang setiap hari ketemu, tapi persahabatan kita ini masih ada kok. Tetep harus ngasih kabar satu sama lain, ngasih semangat, dukungan. Kalian ingetkan semua cita-cita b****k kita dulu? Nah ini saatnya kita jalani.”   Syabilla dan Dewi sudah memeluk Selma dengan erat. Selma pun mengusap bahu kedua sahabatnya ini. “Insyaallah semuanya bakal indah,” bisik Selma yang membuat air matanya ikut turun, buru-buru ia mengusap air matanya agar tidak dilihat oleh Dewi dan Syabilla.   “Udah jangan nangis-nangis lagi, ayo kita makan. Bunda udah bikini seafood kesukaan kita.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD