Pagi itu matahari sudah tinggi ketika Arman tiba di lokasi proyek. Wajahnya terlihat sedikit lebih segar dibanding malam sebelumnya—meski matanya masih menyisakan lelah dan pikirannya masih belum sepenuhnya tenang. Seolah seluruh kejadian semalam masih berputar di kepala: rumah Pak Lurah yang ramai, suara warga yang saling tuduh, lalu ucapan penghulu yang akhirnya membuat dirinya resmi menjadi suami seorang gadis desa bernama Indira.
Di ujung bedeng, Usman dan beberapa pekerja sedang memindahkan tumpukan pasir. Saat melihat Arman datang, Usman langsung melambaikan tangan sambil terkekeh.
“Pak gimana rasanya nikah sama cem-ceman?” godanya tanpa basa-basi.
Arman sontak melotot, menegakkan tubuhnya sambil memegang helm proyek.
“Ngomong apa kamu, Man! Jangan asal, nanti kudorong ke lubang pondasi sekalian!”
Usman malah tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa pekerja yang mendengar ikut nyengir.
“Ya ampun, Pak. Saya kan cuma bercanda. Tapi serius deh, kemarin malam saya aja sampai nggak bisa tidur mikirnya. Eh, tahu-tahu bapak udah jadi suami orang!”
Arman menghela napas panjang, kemudian duduk di atas tumpukan kayu. “Aku aja masih nggak nyangka, Man. Kalau diingat lagi, rasanya kayak mimpi. Tapi ya sudahlah, semua sudah terjadi.”
Usman ikut duduk di sebelahnya. “Tapi saya kasihan sama Mbak Indira, Pak. Gadis sebaik itu harus nikahnya terpaksa.”
“Justru itu yang aku pikirin sejak tadi,” ujar Arman pelan. Ia menatap tanah di depannya. “Aku nggak mau dia merasa terpaksa hidup dengan orang asing seperti aku. Semalam aku udah bilang, aku nggak akan menuntut dia apa-apa. Biar semuanya berjalan apa adanya dulu.”
Usman mengangguk, menatap bosnya dengan rasa hormat. “Ya, bapak memang orang baik. Tapi jangan salah, kadang dari yang nggak direncanain justru jadi awal yang baik.”
Arman tersenyum tipis. “Mungkin benar juga. Tapi untuk sekarang, aku cuma ingin semuanya tenang dulu. Aku nggak mau bikin masalah lagi di desa ini. Kamu tahu sendiri, Dimas itu anak Lurah. Kalau dia dendam, bisa repot.”
“Ya, itu sih saya juga mikir gitu. Tampangnya aja udah kayak bom waktu. Tapi tenang aja, saya dan anak-anak di proyek siap jaga kalau ada apa-apa,” kata Usman penuh semangat.
Arman menepuk bahu bawahannya itu. “Makasih, Man. Tapi jangan terlalu cari gara-gara. Aku nggak mau proyek ini kena imbas karena masalah pribadi.”
Usman mengangkat tangan, pura-pura hormat. “Siap, komandan! Tapi ngomong-ngomong, Indira gimana pagi ini?”
Arman menggeleng. “Aku belum sempat ke sana. Aku pikir dia juga butuh waktu menenangkan diri.”
Usman menatap Arman dengan ekspresi penasaran. “Tapi bapak kan suaminya sekarang. Masa nggak nengok?”
“Ya, suami siri. Bukan berarti aku bisa seenaknya masuk rumahnya.” Arman tersenyum getir. “Kita ini cuma korban keadaan, Man.”
Usman terdiam sesaat, lalu tersenyum lebar. “Tapi kadang keadaan itu bisa berubah jadi keberkahan. Siapa tahu Allah emang nyimpen rencana besar buat kalian berdua.”
Arman hanya menatap kosong ke arah lahan proyek yang luas. Angin siang menerpa wajahnya, membawa aroma semen dan kayu basah. Ia tidak tahu bagaimana masa depan mereka akan berjalan, tapi ada sesuatu di hatinya—entah rasa iba, tanggung jawab, atau mungkin benih kecil dari ketulusan—yang membuatnya ingin menjaga Indira.
•••
Setelah semua ibu pulang menjelang siang, hanya tinggal Indira dan Bik Ningsih di dapur. Suasana jadi lebih tenang, hanya terdengar bunyi sayup kipas angin yang berputar.
Indira duduk di bangku kayu, menatap ke luar jendela. “Bik…” katanya pelan. “Apa aku minta talak saja ke Pak Arman?”
Bik Ningsih yang sedang mencuci piring langsung berhenti. Ia menoleh, menatap wajah Indira dengan dahi berkerut.
“Jangan bicara begitu, Nduk. Baru nikah kok sudah cere.”
“Tapi Bik…” Indira menunduk. “Aku kasihan sama Pak Arman. Siapa tahu beliau sudah punya keluarga di kota. Kita juga nggak mengenalnya dengan banyak selama ini. Aku takut… jangan-jangan aku cuma bikin repot hidupnya. Atau malah jadi istri kedua. Ih, amit-amit."
Bik Ningsih meletakkan piring dan duduk di hadapan Indira. Tatapan matanya lembut tapi tegas. “Nduk, dengar ya. Allah nggak mungkin salah kasih jalan. Kalau pernikahan itu sampai terjadi, pasti ada maksud baiknya. Mungkin Pak Arman memang belum menikah, mungkin juga sudah punya keluarga, tapi yang jelas dia sudah berani tanggung jawab di depan orang banyak. Itu bukan hal kecil.”
Indira menggigit bibir. “Aku nggak mau jadi penyebab kesedihan orang lain. Kalau sampai ternyata Pak Arman punya istri di kota… aku nggak akan sanggup.”
Bik Ningsih menepuk tangan Indira perlahan. “Kalau seperti itu, nanti kita bicarakan baik-baik sama Pak Arman. Tadi malam bibik juga nggak kepikiran sampai ke sana. Semua kejadian berlangsung cepat sekali.”
“Iya, Bik… tapi aku takut. Aku nggak mau jadi istri kedua. Nggak mau menyakiti hati wanita lain.”
Bik Ningsih tersenyum lembut, lalu berkata, “Nduk, hidup itu memang penuh ketidakterdugaan. Tapi jangan semua dilihat dari sisi takutnya saja. Bibik ini sudah tua, sudah lihat banyak hal. Kadang sesuatu yang kita kira beban, ternyata justru jalan menuju kebahagiaan.”
Indira mengangkat wajahnya. “Maksud Bik?”
“Pak Arman itu bukan orang sembarangan, Nduk. Bibik lihat sendiri caranya ngomong, caranya ngelindungi kamu. Dia nggak marah waktu semua orang menuduh kamu. Malah berdiri di depan kamu, nyelamatin nama baik kamu. Coba pikir, berapa banyak laki-laki yang mau ngelakuin itu?”
Indira terdiam. Ia teringat tatapan Arman malam itu—tenang, tapi tegas. Waktu semua orang mencaci dan menuduh, hanya pria itu yang berdiri di sisinya.
“Tapi, Bik… aku tetap merasa nggak pantas,” katanya lirih.
“Kenapa nggak pantas? Karena kamu cuma gadis desa? Karena kamu cuma jualan katering?” Bik Ningsih menatapnya dengan mata berkaca. “Dengar ya, Nduk. Nilai orang itu bukan di mana dia lahir, tapi di bagaimana dia menjaga diri dan hatinya. Dan kamu sudah melakukan itu. Jadi berhenti merasa kecil. Apalagi jika semua orang tau siapa Non Indira sebenarnya. Keturunan Pak Yusuf Akbar. Beliau bukan orang biasa saja."
Indira menatap wanita tua itu dengan mata basah. “Bibik selalu bikin aku tenang. Tapi tolong jangan ingatkan aku tentang itu. Meski aku mencoba ikhlas melepas semua peninggalan papa, tapi jika ingat itu semua rasanya d**a ini makin sesak, Bik. Entah, apakah aku bisa merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku, Bik."
Bik Ningsih memeluk Indira dengan penuh sayang. Jujur, melihat nasib Indira yang diombang-ambingkan takdir kehidupan, beliau tidak tega sebab beliau lah yang merawat Indira sejak kecil. “Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu. Jangan mikir yang aneh-aneh. Kalau nanti Pak Arman datang, bicaralah pelan-pelan. Tanya baik-baik, jangan terburu-buru minta cerai.”
Indira mengangguk pelan. Tapi dalam hatinya masih bergolak. Ia tak tahu harus menatap wajah Arman seperti apa nanti—antara rasa malu, syukur, dan takut bercampur menjadi satu.
•••
Sementara itu, para pekerja mulai beristirahat. Suara sendok beradu dengan obrolan para pekerja yang sedang menikmati makan siang. Usman datang membawa dua gelas es teh manis dan menyerahkannya pada Arman.
“Ini Pak, biar tambah semangat. Soalnya dari tadi wajah bapak kayak mikirin dunia dan isinya.”
Arman menerima gelas itu sambil tersenyum lemah. “Aku cuma mikir… apa aku udah ambil keputusan yang benar.”
“Pak, kalau boleh saya bilang, keputusan yang diambil karena niat baik jarang salah. Bapak nggak nikah karena napsu, tapi karena mau nyelamatin nama orang. Itu mulia, Pak.”
“Masalahnya, aku nggak mau dia merasa aku ‘menyelamatkan’ karena kasihan. Aku nggak mau dia hidup dalam hutang budi,” gumam Arman.
Usman menatap bosnya lama-lama, lalu tertawa kecil. “Lha terus kalau nanti ternyata Indira malah beneran suka sama bapak, gimana?”
Arman menghela napas berat sambil menatap ke langit biru. “Ya… aku nggak tahu, Man. Mungkin waktu yang bakal jawab semuanya.”
•••
Di luar, matahari mulai terik ketika Dimas berjalan dengan langkah cepat menuju kebun kosong di belakang rumah, tempat ia biasa nongkrong bersama teman-temannya—Andik dan Rio. Kedua anak muda itu sudah duduk di sana, menunggu dengan wajah cemas.
“Bos, gimana?” tanya Andik hati-hati.
Dimas mengambil batang rokok, menyalakannya dengan tangan gemetar. “Gimana apanya? Aku diusir dari rumah!”
Rio melotot. “Serius, Bos?”
Dimas menghembuskan asap panjang. “Serius. Bapakku lebih percaya sama orang asing itu daripada anak sendiri.”
Rio menatap Andik, lalu kembali menatap Dimas. “Ya tapi, Bos… Arman kan nikahin Indira gara-gara keadaan. Kalau Indira juga mau, ya mau gimana lagi?”
“Aku nggak percaya dia mau,” potong Dimas cepat. “Pasti perempuan itu dipaksa keadaan, bukan karena cinta. Dan aku akan buktikan itu.”
Andik gelisah. “Terus, Bos mau ngapain?”
Dimas menatap langit sebentar, lalu matanya menyipit. “Aku nggak akan biarin mereka bahagia. Arman pikir dia bisa datang, jadi pahlawan, terus nikah dan hidup tenang di desa ini? Salah besar.”
Rio menelan ludah. “Tapi Bos, kalau sampai ketahuan Bapak—”
“Bapak udah nggak peduli lagi!” potong Dimas kasar. “Mulai sekarang aku nggak butuh dia. Aku cuma butuh satu hal—balas dendam.”
Kedua anak buahnya saling pandang. Mereka tahu Dimas bukan tipe orang yang bisa diam kalau sudah terluka harga dirinya.
Dimas menatap lurus ke depan, matanya penuh bara. “Kita akan bikin Arman menyesal pernah datang ke desa ini. Dan Indira… dia juga harus tahu, aku yang seharusnya jadi suaminya.”
•••
Sore harinya, proyek mulai sepi. Para pekerja beberapa sudah pulang ke rumah masing-masing. Arman memeriksa hasil kerja hari itu bersama Hakim, sang pengawas lapangan. Setelah memberi beberapa arahan, Arman berjalan menyusuri tepi proyek sambil berpikir panjang. Di kepalanya, wajah Indira terus terbayang—tatapan matanya yang takut tapi kuat, suaranya yang bergetar saat menolak Dimas, dan cara dia menunduk malu ketika mereka dinikahkan.
Langkahnya terhenti di depan warung kopi tempat ia biasa nongkrong malam-malam. Usman sudah duduk di sana lebih dulu.
“Pak, sini. Minum kopi dulu biar kepala adem.”
Arman duduk di hadapan Usman. “Aku kayak belum percaya aja, Man. Baru beberapa hari lalu aku cuma pengawas proyek, sekarang malah jadi suami orang.”
Usman tertawa kecil. “Ya begitulah hidup, Pak. Kadang Allah suka bercanda tapi di balik itu pasti ada maksud.”
“Kamu ini ada-ada aja,” sahut Arman sambil ikut tersenyum.
Usman mengangkat bahu. “Lha beneran, Pak. Siapa tahu Indira itu memang jodoh bapak yang datangnya lewat jalan nggak biasa. Kan banyak tuh cerita kayak gitu di sinetron.”
Arman menatap jauh ke arah matahari yang mulai turun. “Kalau memang jodoh, aku nggak akan lari. Tapi untuk sekarang, aku cuma mau pastikan dia baik-baik aja.”
Suasana sore itu terasa hening beberapa saat. Arman menyeruput kopi pelan-pelan, mencoba menenangkan hatinya yang masih gamang.
Setelah cukup lama terdiam, Usman kembali bersuara. “Jadi, rencana bapak ke depan gimana?”
Arman meletakkan cangkirnya. “Aku belum tahu, Man. Jalani aja yang ada dulu. Kalau memang jodoh, tak akan ke mana.”
Usman tersenyum lebar. “Nah, itu baru Pak Arman yang saya kenal. Yakin tapi nggak maksa. Santai tapi tanggung jawab.”
Arman menepuk bahu bawahannya itu. “Kamu memang banyak omong, tapi kadang omonganmu ada benarnya juga.”
Keduanya tertawa lepas, meski dalam hati Arman masih tersimpan gundah yang belum sepenuhnya luruh.
Di kejauhan, langit mulai memerah. Angin sore berhembus lembut membawa aroma tanah dan kopi. Arman menatap lurus ke depan, merasa bahwa hidupnya kini sudah benar-benar berubah. Ia tak tahu ke mana takdir akan menuntunnya setelah ini, tapi satu hal pasti—sejak malam itu, kehidupannya tak lagi sama.
Dan mungkin, di balik segala kebetulan yang tak diinginkan itu, Tuhan sedang menulis cerita cinta dengan cara yang tak pernah ia duga.