Usman yang duduk di hadapannya langsung tahu diri. “Saya ke belakang dulu, Pak, mau pesan gorengan,” katanya cepat, memberi ruang agar Arman bisa bicara dengan bebas.
Arman menarik napas dalam, lalu menekan tombol hijau.
“Halo, Pa.”
“Arman,” suara berat sang ayah terdengar jelas dari seberang. “Sudah seminggu Papa dengar kamu belum juga balik ke kota. Apa kamu lupa perusahaan masih punya agenda penting?”
“Tidak lupa, Pa,” jawab Arman tenang, walau nada suaranya terdengar berhati-hati. “Aku masih pantau proyek di sini. Ada beberapa bagian yang perlu pengawasan langsung.”
“Kalau cuma pengawasan, bisa suruh orang lain. Kamu punya banyak kepala proyek. Lagi pula, posisi kamu bukan lagi pengawas lapangan, tapi direktur operasional. Masa kamu turun langsung ke proyek begini?”
Arman terdiam sesaat. Ia menatap kosong ke arah meja, memperhatikan bayangan lampu yang menari di permukaan gelas kopinya.
“Pa, proyek ini penting,” ujarnya akhirnya. “Kalau sampai molor, image perusahaan bisa kena. Aku cuma mau pastikan semua sesuai standar.”
“Tapi Papa tahu kamu bukan cuma karena proyek,” suara sang ayah meninggi sedikit. “Papa dengar dari Pak Hakim, kamu nyuruh sopir bawa mobil pulang, kamu malah naik motor dan tinggal di kontrakan. Apa maksudnya?”
Arman tersenyum kecut. Rupanya pengawasannya tak sebebas yang ia kira.
“Biar lebih hemat, Pa. Lagi pula di sini kalau pakai mobil malah ribet. Jalanan sempit.”
“Jangan beralasan,” potong ayahnya lagi. “Papa khawatir kamu kehilangan fokus. Kamu itu calon penerus utama, bukan pekerja lapangan. Tanggung jawabmu lebih besar dari itu.”
Arman diam cukup lama. Di luar warung, suara jangkrik dan desiran angin terdengar samar. Ia memejamkan mata sejenak, menenangkan hatinya yang mulai bergejolak. Ia tahu benar maksud ayahnya — pria tua itu tak ingin anaknya jatuh pada kebiasaan ‘membumi’ yang bisa dianggap menurunkan wibawa keluarga.
“Tapi Pa,” suaranya kini lebih lembut, “kadang aku perlu lihat dunia dari bawah juga. Biar tahu rasanya kerja keras orang-orang yang bangun proyek ini. Nggak selamanya aku bisa duduk di ruang ber-AC dan ngasih perintah. Aku perlu tahu, biar nanti bisa pimpin dengan hati.”
Di seberang sana, sang ayah terdiam. Baru beberapa detik kemudian ia bicara lagi, kali ini dengan nada lebih dingin.
“Papa tidak larang kamu turun ke lapangan. Tapi jangan terlalu lama. Ingat, minggu depan ada rapat direksi. Kamu wajib hadir. Dan Papa tidak mau dengar alasan macam-macam.”
“Baik, Pa. Aku mengerti.”
“Bagus. Dan satu hal lagi,” suara sang ayah terdengar lebih menekan. “Hati-hati dengan urusan pribadi. Papa tahu kamu suka cepat terlibat perasaan kalau lihat sesuatu yang kamu anggap ‘menarik’. Jangan ulang kesalahan yang dulu.”
Ucapan itu menancap seperti pisau di d**a Arman. Ia menunduk, menatap meja yang kini terasa dingin.
“Baik, Pa. Aku janji.”
“Papa harap begitu. Jaga nama keluarga, Arman.”
Sambungan terputus.
Arman mendesah panjang, meletakkan ponselnya di atas meja. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak di dadanya. Seolah setiap kata sang ayah tadi bukan sekadar peringatan, tapi juga pengingat akan luka lama — tentang kegagalan hubungan masa lalu yang membuat namanya sempat jadi bahan gosip di kalangan internal perusahaan.
“Wah, serius banget, Pak?” suara Usman memecah lamunan. Ia datang membawa dua piring pisang goreng dan segelas teh hangat. “Bapak kayaknya baru aja disemprot atasan.”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Arman lesu. “Papa saya nyuruh balik ke kota. Katanya banyak kerjaan.”
“Terus bapak mau balik?”
Arman menggeleng pelan. “Belum. Masih ada yang harus aku urus di sini.”
Usman tersenyum penuh arti. “Yang bapak urus itu proyek, atau... yang masak katering?”
Arman mendengus pelan. “Mulut kamu itu, Man. Kalau terus goda soal itu, tak potong gajimu bulan depan.”
Usman tertawa keras. “Waduh, maaf Pak, bercanda doang. Tapi serius, kayaknya bapak emang beda sejak kenal Mbak Indira. Biasanya bapak cuma sibuk ngitung progress kerja, sekarang malah ngitung waktu makan.”
Arman tak membalas. Ia hanya menatap jauh ke depan, ke arah jalan yang mulai lengang. Hanya beberapa kendaraan yang melintas. Dalam diam, pikirannya melayang pada sosok perempuan sederhana dengan mata teduh dan senyum lembut yang tanpa sadar menghantui benaknya.
“Kadang,” katanya lirih, “ada hal-hal kecil yang bikin orang pengen tinggal lebih lama di satu tempat.”
“Termasuk cinta?” tanya Usman setengah berbisik.
Arman menatapnya tajam, tapi kemudian tersenyum. “Kamu ini tukang bangunan atau tukang ramal, sih?”
“Dua-duanya bisa, Pak. Kalau urusan hati, saya peka,” jawab Usman sambil terkekeh. “Tapi serius, Pak, saya dukung bapak kalau emang suka sama Mbak Indira. Cuma ya, bapak harus hati-hati. Orang sini banyak yang naksir dia. Meski nggak ada yang berani mendekat.”
Arman mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Soalnya katanya Mbak Indira dulu orang kota. Nggak tau kenapa tiba-tiba tinggal di kampung sama Bik Ningsih.”
Arman mendengarkan dengan serius. Dalam hatinya, rasa penasaran makin menjadi. Jadi benar, dia bukan orang desa biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan perempuan itu, dan entah kenapa Arman ingin tahu lebih dalam.
Malam makin larut. Satu per satu pekerja pamit kembali ke bedeng. Hanya tinggal Arman dan Usman yang masih duduk, menatap langit penuh bintang.
“Usman,” ujar Arman tiba-tiba, “kalau nanti saya nggak bisa lama di sini, tolong kamu tetap bantu pantau proyek ini.”
“Siap, Pak. Tapi kayaknya bapak belum rela ninggalin desa ini.”
Arman menatap langit. “Mungkin benar. Tapi kadang hidup nggak semudah itu. Ada tanggung jawab yang nggak bisa kita abaikan.”
Ia meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Di dalam hatinya, pergulatan itu belum selesai — antara panggilan tugas di kota dan keinginan untuk tetap dekat dengan sesuatu yang membuatnya tenang di desa ini.