Sudah satu tahun ini Akbar Group resmi diambil alih oleh Malinda, istri mendiang Yusuf Akbar, sekaligus ibu tiri dari Indira. Sejak kepergian Yusuf, perusahaan yang dulu menjadi kebanggaan nasional itu seolah kehilangan arah. Malinda, dengan gaya hidup glamornya, tak benar-benar mengerti dunia bisnis. Semua keputusan diambil berdasarkan perasaan dan gengsi, bukan perhitungan matang.
Bagi sebagian karyawan, Malinda hanyalah sosok wanita elegan yang pandai berpose di depan media. Di belakang layar, ia hanya tahu dua hal: uang dan kekuasaan. Dan keduanya kini ia genggam erat.
Namun sejak Indira menghilang karena pengusiran oleh Malinda setahun lalu, suasana kantor berubah. Tak ada lagi sosok perempuan cerdas dan tenang yang dulu menjadi tangan kanan ayahnya. Yang tersisa kini hanyalah perebutan posisi dan aroma kepentingan pribadi.
Pagi itu, ruang rapat di lantai 18 gedung Akbar Group dipenuhi wajah-wajah tegang. Raka, kepala bagian keuangan, baru saja menyelesaikan presentasi laporan bulanan. Suaranya terdengar kaku.
“Berdasarkan data tiga bulan terakhir, arus kas perusahaan terus menurun, Bu. Pengeluaran non-produktif meningkat tajam—terutama untuk biaya hiburan, perjalanan pribadi, dan—”
Malinda langsung memotong. “Cukup! Aku tidak butuh kau menguliahi aku tentang bagaimana cara mengatur perusahaan. Aku sudah pengalaman bertahun-tahun di sini!”
Raka menelan ludah. “Saya hanya menyampaikan data, Bu. Ini laporan resmi.”
Malinda berdiri dari kursinya, menatapnya tajam. “Data tidak selalu benar, Raka. Kalau kamu tidak puas dengan cara saya menjalankan perusahaan, silakan cari pekerjaan lain.”
Raka menunduk, lalu mengemasi berkasnya. “Baik, Bu.”
Begitu pria itu keluar, Malinda mengembuskan napas berat dan menjatuhkan diri di kursi. Ia menatap pantulan wajahnya di permukaan meja kaca—wanita paruh baya yang masih cantik tapi lelah oleh ambisi sendiri.
Tak lama kemudian, pintu diketuk. Ayusita, anak semata wayangnya, masuk dengan langkah malas. Di tangan kirinya tergenggam tas kecil dari brand ternama, sementara di tangan kanan menggenggam ponsel.
“Mah, Om Haris bilang mobilku belum dibayar pajaknya. Aku nggak bisa ke salon nanti,” katanya manja.
“Kenapa nggak kamu urus sendiri? Kamu ini sudah dewasa, Sita,” gerutu Malinda.
“Aku sibuk, Mah. Lagi banyak acara.”
“Acara apa?”
“Teman-teman arisan, trus ada undangan gala dinner juga. Aku harus tampil cantik, dong. Adrian juga ikut nanti.”
Mendengar nama itu, Malinda menghela napas. “Suamimu itu terlalu banyak ikut campur urusan perusahaan.”
Ayusita mengangkat alis. “Adrian cuma bantu, Mah. Lagian kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa dipercaya? Semua orang di kantor itu menjilat doang.”
“Justru itu masalahnya. Aku tahu Adrian ambisius. Dia ingin kursi direktur.”
Ayusita tersenyum kecil, setengah mengejek. “Lho, apa salahnya kalau dia yang jadi direktur? Dia kan keluarga sendiri. Daripada orang luar yang ambil alih.”
Malinda menatap tajam anaknya. “Jangan bodoh. Kalau Adrian yang pegang perusahaan ini, kamu pikir dia akan tetap mendengarkanmu?”
“Tentu saja, Mah. Aku kan istrinya.”
“Percaya sama omong kosong itu? Lihat saja nanti,” desis Malinda sambil meneguk air putih.
•••
Sementara itu Adrian duduk di ruang kerjanya yang kini bersebelahan dengan ruang Malinda. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu berpenampilan tenang dan berwibawa. Di balik senyum lembutnya, ada otak licik yang selalu memutar strategi.
Ia sedang menelpon seseorang.
“Ya, pastikan semua dokumen kepemilikan saham atas nama mendiang Yusuf Akbar sudah kita amankan. Sisanya biar saya urus di rapat pemegang saham minggu depan.”
Suara dari seberang menjawab pelan. “Tapi, Pak, nama Indira masih tercatat sebagai pewaris sah.”
Adrian tersenyum tipis. “Saya tahu. Tapi perempuan itu sudah hilang. Tak ada yang tahu dia di mana. Secara hukum, statusnya bisa dianggap pasif. Kalau kita bawa ke notaris yang tepat, kepemilikan bisa dialihkan sementara atas nama Malinda. Setelah itu… aku yang akan mengelola semuanya.”
“Baik, Pak.”
Adrian menutup teleponnya, lalu bersandar santai. “Lihat saja, Indira. Kau pikir bisa lari dari semua ini selamanya?”
Pintu diketuk pelan, dan Ayusita masuk sambil tersenyum. “Kamu sibuk banget, ya, Mas?”
“Biasa, Sayang. Urusan perusahaan nggak ada habisnya.”
“Aku baru dari Mama. Dia mulai curiga sama kamu, loh.”
Adrian tertawa kecil. “Biar saja. Semakin dia curiga, semakin mudah dia membuat kesalahan.”
“Kamu jahat, Mas,” ucap Ayusita menggoda sambil duduk di pangkuannya.
“Jahat? Aku cuma cerdas. Kalau aku tidak ambil alih sekarang, semua akan jatuh ke tangan orang lain.”
“Tapi ini kan warisan Papa Indira,” bisik Ayusita ragu.
Adrian memegang dagu istrinya, menatap dalam. “Warisan siapa pun tidak penting, Sita. Yang penting siapa yang bisa mempertahankan dan mengelola. Dan itu aku.”
•••
Malam itu udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin yang berhembus dari arah sawah membawa aroma tanah basah dan rerumputan. Lampu-lampu jalan yang redup memantulkan cahaya kekuningan di sepanjang jalan utama yang tak begitu ramai. Beberapa pekerja proyek sudah pulang ke bedeng untuk beristirahat, sementara sebagian kecil lainnya memilih duduk santai di warung kopi milik Pak Roji, warung yang terkenal dengan kopi hitam pekat dan pisang goreng panasnya.
Arman duduk di pojok warung, mengenakan kaus polos abu-abu dan celana panjang hitam, penampilannya tampak jauh lebih santai dibanding ketika di proyek. Di depannya, Usman duduk menyilangkan kaki, sementara dua pekerja lain, Toni dan Leman, asik bermain catur di meja sebelah. Warung itu ramai oleh obrolan ringan dan bunyi sendok yang beradu dengan gelas.
“Pak Arman, nggak nyangka juga ya betah nongkrong di warung begini,” kata Usman sambil menyesap kopi. “Biasanya kan bapak tipe orang yang langsung balik hotel, atau paling nggak makan di restoran kalau lagi di luar kota.”
Arman tersenyum kecil. “Justru di tempat begini saya bisa mikir tenang, Man. Nggak ada suara bising, nggak ada klakson mobil. Lagipula, kalau di hotel terus, bisa gila saya sendirian di kamar.”
“Kalau gitu sekalian aja, Pak, cari istri orang sini,” seloroh Toni sambil tertawa tanpa menoleh dari papan catur.
“Dasar mulut kamu itu, Ton,” sahut Usman menepuk kepala Toni pelan. “Nggak sopan ngomong begitu ke atasan.”
“Ah, saya kan cuma bercanda. Lagian siapa tau beneran, Pak Arman kan masih bujang, kan?”
Arman hanya mengangkat alisnya, lalu meneguk kopinya pelan. “Udah bujang, udah kerja, masih juga digoda kawin. Kalian ini sama aja kayak ibu-ibu kampung yang hobi nanya kapan nikah.”
Usman terkekeh. “Tapi kalau dipikir-pikir, Pak, kalau punya istri orang sini, hidup tenang. Udara sejuk, makan enak, nggak perlu mikirin macet. Lihat tuh, Indira aja. Pagi-pagi udah sibuk masak buat katering. Pantas aja bapak betah di sini.”
“Mulai lagi,” potong Arman datar. “Jangan bahas itu mulu, Man.”
Usman pura-pura tidak mendengar, hanya menyesap kopi lagi. Dalam hatinya, ia tahu persis mengapa Arman memilih berlama-lama di desa ini. Tidak lain dan tidak bukan karena seorang perempuan bernama Indira. Meski Arman tak pernah mengakuinya secara terbuka, sorot matanya yang berubah setiap kali nama itu disebut sudah cukup jadi bukti.
Malam semakin larut. Obrolan bergeser ke arah proyek — tentang target pembangunan mall yang harus rampung kurang dari satu tahun. Arman menunduk menatap arloji, jarumnya sudah melewati angka delapan. Saat ia hendak membuka mulut, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya mendadak tegang: Papa.