Pagi menyelinap pelan di balik tirai apartemen, sinarnya lembut tapi nyata, menyentuh wajah Gibran yang masih setengah terjaga. Tubuhnya terasa hangat, namun hatinya… kacau. Rasa bersalah menggigit seperti duri yang tak terlihat, sementara aroma Nayla masih menempel di bajunya, mengingatkannya pada kejadian tadi malam. Ia menatap langit-langit, matanya kosong, tapi pikirannya liar. Setiap kali menutup mata, wajah Rania muncul. Senyumnya, tawa yang ringan, tatapan yang selalu bisa menenangkan—semua terasa begitu dekat, tapi begitu jauh. Sementara di sisi lain, tubuhnya masih merasakan sisa sentuhan Nayla, hangat dan menuntut, meninggalkan bekas yang membakar setiap denyut nadinya. Nayla bergerak di kamar, suara langkahnya pelan tapi pasti. Ia menatap Gibran, senyum tipis di bibirnya, mata

