Rania menyesap kopi di ruang tamu rumah besar itu dengan tangan sedikit gemetar. Suara detik jam di dinding terdengar lebih keras dari biasanya.
Ia hanya tidur dua jam tadi malam. Selebihnya… ia menghabiskan waktu mencoba menghapus bayangan yang terlalu melekat. Tatapan itu. Sentuhan itu. Napas itu. Meski sudah dua hari berlalu, Rania tidak bisa melupakan pria malam itu.
Sekarang dia duduk di ruang tamu rumah keluarganya dengan kabar yang mengejutkan dan—sejujurnya—tak masuk akal.
Rania tahu, orang tuanya tidak akan memaksanya pulang jika bukan karena berita penting. Jadi, harusnya ia sudah menduga. Tapi ini tetap di luar perkiraannya.
"Apa? Kak Nayla tunangan?"
Rania berusaha tersenyum meski tenggorokannya terasa kering. Ia menatap kedua orang tuanya yang tengah sibuk mengatur bunga.
"Iya, Sayang. Ayah sudah atur semuanya," ujar Papanya sambil tertawa puas. "Calon suaminya anak dari partner bisnis Ayah waktu di London. Ganteng, mapan, dan... kamu pasti kagum begitu lihat dia."
Kamu pasti kagum...
Rania tertawa dalam hati. Miris.
Andai mereka tahu Rania sudah “kagum” duluan. Tanpa nama. Tanpa status. Dan tanpa pakaian.
"Dia akan datang siang ini," sambung sang Mama, menyemprotkan parfum ke sofa, seolah pria itu akan mencium seluruh furnitur. "Jadi, kamu tolong jangan pakai baju aneh-aneh, ya."
Rania bergumam, “Terlambat untuk itu.”
Belum sempat ia ke kamar, suara mobil terdengar dari luar. Pintu pagar dibuka. Langkah kaki berat—pasti dari sepatu kulit mahal.
Detak jantung Rania ikut berat.
"Mau ikut ketemu dan kenalan sama dia, kan?" tanya Mamanya.
Rania tak menjawab. Ia berdiri, kaku, nyaris tak bernapas.
Saat pria itu masuk, tubuh Rania membeku.
Itu dia.
Dengan setelan jas navy yang rapi, rambut disisir ke belakang, dan wajah yang... ya Tuhan. Masih sama. Memesona. Membahayakan.
Hanya kali ini, tidak ada ranjang atau ciuman. Hanya tatapan asing—yang terlalu akrab.
Dia juga melihatnya. Tapi tak ada kejutan di wajah pria itu. Hanya kedalaman diam yang menusuk.
"Ini adikku, Rania," kata Nayla, muncul dari balik punggung pria itu dengan senyum cerah.
"Rania," ulang Nayla sambil tertawa kecil. "Kenalan dong, ini calon kakak iparmu."
Calon kakak ipar.
Kepala Rania berdengung.
Dengan senyum setebal fondasi makeup, ia menjabat tangan pria itu.
“Senang bertemu kamu. Saya Gibran.”
Tatapan Gibran menusuk. Tak ada senyum, hanya rahang yang mengeras.
Dan bisikan rendah, penuh ironi.
“Aku sudah bilang, kamu akan menyesal.”
Rania menelan ludah.
"Tentu, aku Rania," katanya pelan.
Tangan mereka bersentuhan. Dingin. Lalu panas. Lalu gemetar. Tapi hanya mereka berdua yang tahu alasannya.
“Iya,” jawab Gibran pendek.
"Karena sudah kenal, kalian harus akur ya?" seru Nayla penuh semangat.
"Kita sudah pernah bertemu, kok."
Rania tercekat. "PERNAH?"
Dia ingin lempar vas bunga ke wajah Gibran.
"Mungkin di kampus?" tanya Nayla polos. "Dia suka ikut lomba debat dulu, kan?"
Gibran hanya tersenyum. “Mungkin.”
Tatapannya menusuk Rania. Seolah sedang menghukum.
Papa mereka muncul sambil menepuk bahu Gibran. “Ganteng banget kamu, Gibran. Wah, Nayla beruntung. Ayo-ayo duduk! Rania, tolong ambil kue, Nak.”
Rania ingin bilang, “Boleh aku kabur aja, Pa?”
Tapi tentu tidak. Ia hanya tersenyum sopan dan segera melipir.
“Kak, aku ke dapur ya.”
Langkahnya cepat. Tapi tubuhnya bisa merasa Gibran menatap punggungnya.
Begitu sampai dapur, Rania bersandar di kulkas. Tangannya menekan wajah sendiri.
“Astaga… apa-apaan ini…”
Ia menutup mata, mencoba menghapus kilasan memalukan itu. Kulit Gibran. Napas Gibran. Bisikannya malam itu.
Tubuhnya memanas. Tangan gemetar.
Gila. Gila. Gila.
Bagaimana mungkin? Kenapa dia? Kenapa tidak bilang?
Rania nyaris melempar loyang kue saat suara itu terdengar.
“Masih gemetar?”
Gibran.
Rania memutar tubuh pelan. Ia menatap pria itu dengan mata menyipit.
“Kamu—”
“Calon kakak iparmu,” potong Gibran datar, sinis.
“Kalau kamu mau pura-pura nggak kenal, aku bisa bantu.”
Rania mencibir. “Kenapa nggak bilang sebelum kita... melakukan itu?”
Gibran mendekat satu langkah. Nafasnya terasa di wajah Rania.
“Nggak sempat. Kamu terlalu sibuk berbisik, ‘lebih dalam, pelan, jangan berhenti.’”
Pipi Rania terbakar. “Sialan.”
“Sayang,” bisik Gibran, “kita melakukannya karena sama-sama bersedia.”
Sebelum Rania membalas, Gibran pergi.
Lagi-lagi, ia meninggalkannya dengan detak jantung yang tak karuan dan tubuh yang mengingat semua yang ingin ia lupakan.
Rania kembali ke ruang tamu dengan wajah datar.
Gibran duduk di samping Nayla, bersikap sopan dan tenang.
Calon menantu idaman.
Padahal hanya mereka berdua yang tahu, pria itu pernah memanggil namanya dengan suara serak penuh hasrat.
Rania menatap koper kecil di sudut kamarnya malam itu.
Ia baru saja sampai tadi pagi. Dan sekarang... sudah ingin pergi.
Dia memang tidak pernah suka rumah besar itu. Terlalu sepi meski ramai. Terlalu penuh tapi hampa.
Tapi karena pria itu, ia semakin membencinya.
Tinggal lebih lama di sini membuatnya takut...
Takut jatuh cinta pada pria yang seharusnya jadi kakak iparnya.
“Udah ambil kuenya, Sayang?” tanya Mama sambil menengok sebentar, tak sadar napas Rania masih belum teratur.
Rania mengangguk dan menyerahkan piring ke Nayla. Kakaknya itu sedang tertawa kecil, memandangi Gibran yang duduk tenang di sebelahnya seolah dunia baik-baik saja.
“Enak ya, Gibran?” Nayla menyodorkan sepotong lagi ke pria itu, manja.
Gibran hanya mengangguk kecil dan tersenyum. “Iya. Manis.”
Rania merasa ingin melempar garpu. Tapi ia hanya duduk di ujung sofa, meneguk kopinya lagi—yang kini terasa hambar.
“Papa senang banget kamu bisa pulang, Ran,” kata Papa, memecah hening yang tegang di kepala Rania. “Pas banget kamu bisa bantu-bantu persiapan lamaran Nayla minggu depan.”
Hampir saja Rania tersedak.
“Minggu depan?” tanyanya, sedikit tinggi nada suaranya.
“Iya dong.” Mama tampak sangat antusias. “Kita nggak mau nunda-nunda. Lagian, kalian berdua udah cocok banget.”
Ia melirik Nayla dan Gibran dengan mata berbinar.
Cocok banget.
Rania tertawa dalam hati.
Kalau definisi ‘cocok’ adalah: dia pernah tidur dengan adik tunangannya secara tidak sengaja... ya, itu memang cocok.
Nayla menepuk paha Gibran. “Kamu udah kasih tahu keluarga kamu soal ini, kan?”
Gibran mengangguk. “Sudah. Mama senang sekali. Apalagi setelah dengar Nayla lulusan London School dan aktif di yayasan sosial. Katanya, kombinasi langka.”
Rania menggertakkan gigi.
Kombinasi langka.
Malam itu juga langka, Gibran. Sialan.
“Ran,” kata Mama tiba-tiba, menoleh padanya. “Kamu belum cerita, sekarang lagi deket sama siapa?”
Pertanyaan itu seperti cambuk.
Rania tersenyum tipis. “Nggak ada.”
“Nggak mungkin,” sahut Nayla. “Adikku secantik ini, mana mungkin jomblo terus?”
Rania mengangkat bahu. “Mungkin karena... aku nggak suka cowok yang suka pura-pura sopan.”
Kalimat itu menggantung di udara.
Sebentar.
Dingin.
Gibran melirik ke arahnya, singkat, tajam. Namun Nayla hanya tertawa.
“Hahaha, kamu ngomong apa sih.”
“Rania itu suka bercanda sarkas gitu, Gibran. Dari kecil,” sambung Papa.
“Lucu, ya,” ujar Gibran datar.
Lucu?
Rania bisa lihat kilat di matanya. Marah? Tersinggung? Atau... terpicu?
“Ayah sama Mama mau panggil WO besok, biar semua cepat beres,” kata Mama lagi. “Nayla juga mau fitting baju tunangan minggu ini. Rania, temenin ya?”
Rania hanya mengangguk. Tubuhnya lelah. Tapi pikirannya lebih parah.
Di dalam ruangan itu, semua orang tertawa, bicara soal masa depan yang sempurna.
Padahal satu kesalahan sudah terjadi. Dan duduk di antara mereka adalah bom waktu bernama Gibran.
“Gibran, kamu nginep sini malam ini, kan?” tanya Papa.
“Kalau nggak merepotkan.”
“Justru Papa senang. Biar makin akrab sama keluarga.”
Papa menepuk bahunya lagi dengan hangat.
Akrab?
Rania ingin muntah.
“Kamu tidur di kamar tamu atas, ya,” sambung Mama. “Sebelah kamarnya Rania.”
Oh, bagus. Sangat bagus.
Tuhan benar-benar ingin bermain hari ini.