Bab 3 Antara dosa dan dilema

1085 Words
Malam semakin larut, tapi Rania belum bisa tidur. Langit di luar jendela kamarnya pekat, sama seperti isi kepalanya. Gibran. Tatapan itu. Ucapannya. Keberadaannya yang terlalu dekat, terlalu membekas. Ia mendengar tawa tipis Nayla dari ruang makan, suara Mama yang sibuk menyiapkan cemilan, dan... Gibran yang entah masih duduk di sofa, atau mungkin diam-diam memperhatikannya lagi. Rania ingin kabur. Sekarang. Pikirannya berputar, tubuhnya panas dingin. Ia meraih koper kecilnya yang belum dibuka, lalu menarik ritsleting dengan perlahan. Jantungnya berdetak lebih keras dari suara roda koper yang meluncur pelan di lantai marmer. Rania berjalan menunduk, menyusuri lorong, menghindari suara. Lalu— "Cukup," gumam Rania, pelan. Tangannya mengepal kuat pada gagang koper yang ia tarik keluar kamar. Di luar, angin dingin menyambutnya. Aroma malam dan embun bercampur tanah basah memenuhi hidungnya. Dia melangkah cepat menuju pagar rumah. Tapi langkahnya terhenti. Gibran. Pria itu bersandar pada tiang teras. Lengannya terlipat, mata tajamnya mengawasi tanpa ekspresi. "Mau ke mana?" suaranya pelan, tapi menggema. Rania menunduk, berusaha menghindari tatapan itu. "Pergi sebentar. Butuh udara segar," jawabnya singkat. "Jam segini? Dengan koper?" Rania menggigit bibirnya. "Itu bukan urusanmu." Gibran mendekat, satu langkah, dua langkah, sampai tubuh mereka hanya berjarak sejengkal. "Kenapa selalu lari?" "Karena aku tidak nyaman di sini!" Rania hampir berteriak, suaranya pecah oleh emosi yang tertahan. "Kau pikir aku bisa tidur nyenyak dengan tatapanmu yang... yang seperti itu?" "Seperti apa?" "Seolah-olah aku milikmu." Keheningan menggantung. Jantung Rania berdebar kencang. Gibran menatapnya, kali ini tanpa senyum, tanpa sarkasme. "Kalau aku memang mau menjadikanmu milikku, Rania," katanya pelan, "aku tidak akan menatapmu seperti itu. Aku akan menarikmu... seperti ini." Tangan Gibran meraih pergelangan tangan Rania dan menariknya pelan, membuat koper jatuh dengan dentingan halus. "Lepaskan..." "Kalau aku benar-benar ingin memilikimu... aku akan begini." Dengan satu gerakan tenang, Gibran menarik pinggang Rania. Tubuh gadis itu menegang, matanya membulat. "Gibran—" "Dan aku akan melakukan ini." Bibir Gibran mendarat di kening Rania, singkat tapi dalam. Rania membeku. Ciuman Gibran terlalu lembut untuk disebut permainan. Tapi terlalu salah untuk diterima. Nafasnya tercekat. Lututnya lemas. "Kamu tahu," bisik Gibran, masih dekat, "aku bukan pria yang mudah jatuh cinta. Tapi kalau aku jatuh, aku tidak akan pergi." Gibran melepaskan pelukannya, lalu mengambil koper yang jatuh. "Masuklah. Besok pagi, kita bicara." Ia menatap gadis itu sebentar, lalu berbalik masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Rania yang masih berdiri kaku, dengan wajah memerah dan tubuh gemetar. Ia benci pria itu. Namun malam ini, untuk pertama kalinya, ia takut membencinya terlalu keras. Karena mungkin... ia bisa mulai jatuh cinta. --- Aroma roti panggang dan telur dadar memenuhi udara. Di ruang makan yang luas dan mewah itu, semua tampak biasa saja—kecuali Rania. Dia duduk di ujung meja, memotong rotinya pelan tanpa suara, sesekali menyeruput s**u kedelai. Kepalanya tertunduk, tak banyak bicara, seperti biasa saat berada di rumah ini. “Rania, kamu kenapa diem aja, sayang?” tanya Mama sambil menyodorkan selai stroberi. “Sejak kemarin, kamu nggak banyak bicara.” Gibran yang duduk tak jauh dari Rania langsung terkekeh. “Mungkin karena saya di sini ya, Tante? Rania suka malu-malu kalo ada saya.” Ucapan itu bikin Rania hampir tersedak. Ia menoleh sekilas, menatap Gibran datar. “Saya nggak malu-malu. Saya cuma nggak biasa sarapan dengan orang asing.” "Dia bukan orang asing. Dia calon kakak iparnya, Sayang," bantah mama. Rania belum menjawab apapun ketika mendengar suara high heels. Nayla turun dari tangga dengan gaun putih santai tapi mahal, rambutnya di-blow sempurna. "Good morning, semuanya," sapa Nayla dengan senyum. Mama langsung berseru, “Cantiknya anak Mama satu ini!” Papa ikut terkekeh. “Ada proyek pagi ini, Nay?” “Enggak, Papa. Gibran yang anter aku brunch sama tante Lisa.” “Oh, jadi kalian jalan lagi hari ini?” suara Mama penuh antusias. Rania menunduk, menusuk potongan roti panggang. Suaranya hampir tak terdengar. “Gak ngantor, Mas Gibran?” Gibran melirik Rania sekilas. Matanya memerhatikan ekspresi gadis itu yang datar. Tapi ada senyum tipis di ujung bibirnya. “Libur dulu. Kebetulan temenin calon.” Rania tersenyum kaku. Calon. Kata itu terasa lebih pahit dari kopi hitam yang dia minum. Nayla menarik kursi lalu duduk di dekat Gibran. "Ngobrol apa barusan? Seru banget kayaknya." "Soal Rania," jawab mama membuat alis Nayla terangkat. "Tumben, kenapa Rania?" tanyanya sambil menatap Rania dengan tatapan menusuk. Ada nada sinis, tapi terbungkus senyuman manis. “Rania memang agak susah didekati, ya?” tanya Gibran sambil menatap Rania dengan santai, seolah pertanyaannya bukan sesuatu yang pribadi. “Gibran,” Papa menimpali, “Rania itu memang anak rumahan. Tapi jangan salah, dia mandiri. Tinggal sendiri di apartemen, ngurus semuanya sendiri. Kita justru sering kangen karena dia jarang pulang.” “Adikku memang suka sendirian. Ya, kan, Ran?" Nayla tersenyum penuh arti. Rania mengangguk. “Aku lebih nyaman sendiri.” “Biar nggak terus dibandingin sama kakaknya, mungkin?” gumam Nayla sambil tersenyum kecil, pura-pura tidak menyindir. Rania menegakkan punggungnya. Ia tidak membalas. Dalam dirinya, luka lama itu kembali berdetak. Sementara itu, Gibran memperhatikan dua bersaudara itu. Dinamika yang menarik. Rumah ini kelihatan rapi, tapi ternyata penuh retakan kecil. Ia mengalihkan pandangan ke Rania, dan berkata ringan, “Kalau gitu, kapan-kapan saya main ke apartemen kamu aja, ya?” Suasana mendadak hening. Rania menoleh cepat. Nayla berhenti mengunyah. “Apartemen Rania bukan tempat sembarangan, Gibran,” kata Nayla dingin, meletakkan garpunya pelan. “Dia tipe yang nggak suka tamu, apalagi yang baru kenal.” "Aku hanya bercanda." Gibran tersenyum sopan. Tapi matanya tak berkedip menatap Rania, seperti mengatakan: tunggu saja nanti malam. Dari caranya tersenyum pada Rania, dari sorot matanya yang santai tapi seolah tahu lebih, kalau ada sesuatu yang berbahaya. Setelah beberapa obrolan ringan soal pekerjaan dan rencana pertunangan, Nayla pamit keluar sebentar untuk menelepon masalah pekerjaan. Mama dan papa juga berangkat bekerja. Sekarang tinggallah mereka berdua. Gibran meraih cangkir kopinya, menyeruput dengan tenang, lalu berkata lirih tanpa menoleh, “Jangan lupa malam ini. Aku tunggu di tempat biasa.” Rania menelan ludah. “Aku… aku ada janji nanti malam dengan temanku.” "Akan aku antar." "Tidak, aku..." “Aku bisa datang ke apartemen kalau kamu ngotot menghindar.” Suaranya masih halus, tapi penuh ancaman terselubung. Langkah kaki Nayla terdengar dari arah pintu. Sekejap, Gibran mengubah ekspresinya menjadi santai dan hangat kembali. “Gimana jadi pergi, Sayang? Kita sudah ditunggu.” tanya Nayla. Gibran mengangguk. "Ayo, aku juga sudah selesai." "Ran, kami pergi dulu ya." Nayla mengambil tas mahalnya lalu mengandeng lengan Gibran. Mereka berdua pergi. Sementara itu, Rania hanya bisa memutar otak bagaimana caranya keluar dari perasaan antara merasa ini sebuah dosa atau dilema.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD