Bab 4 Motif

1016 Words
Setelah semua orang pergi, Mama dan Papa ke kantor, Nayla dan Gibran juga pergi berdua. Sekarang, Rania berdiri sendiri di ruang makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Sunyi. Terlalu sunyi untuk rumah sebesar itu. Tidak ada kehangatan yang bisa dicari di dalamnya. Bahkan untuk seorang anak perempuan yang selalu jadi nomer dua dalam banyak hal. Rania tidak suka rumah ini. Auranya galau dan membuatnya merasa sepi. Itu sebabnya, dia lebih memilih tinggal di apartemen. Sebelumnya dia menjadikan alasan jauh dari kampus lalu memutuskan tetap di sana bahkan setelah lulus kuliah. Mama dan papa tidak pernah bertanya. Bahkan Nayla terdengar bahagia tanpa kehadiran dia di rumah ini. Ia menarik napas dalam-dalam. Ada jeda yang terlalu lama untuk sekadar membuatnya tetap kuat dan tidak menangis. Setelah lulus kuliah, Rania sempat bekerja kantoran, dua kali malah. Magang lalu lanjut kontrak. Akan tetapi semuanya berakhir karena satu hal yaitu pengkhianatan. “Dasar bodoh,” bisiknya pelan. "Kenapa diingat lagi, sih?" Kejadian itu baru Seminggu lalu. Namun, rasa sakit dan sedihnya masih sangat terasa. Walau air mata tak lagi turun, tetap saja, rasa sesak dan memilukan tidak bisa diabaikan. Apalagi di dalamnya juga terdapat amarah yang menyala sempurna. Sahabat dan pacar. Dua orang yang seharusnya bisa dipercaya. Mereka membuat ruang kerja jadi neraka sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak. Dia menatap ponselnya. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Hanya notifikasi lowongan kerja yang entah kenapa semua terasa hambar. Akhirnya, dengan helaan napas panjang, ia membereskan gelasnya, masuk ke kamar untuk mengemasi barang. “Aku pulang aja ke apartemen.” Satu kalimat pendek yang akhirnya terasa melegakan. Rania baru saja memasukkan koper kecilnya ke dalam mobil. Sopir apartemen sudah menjemput, dan dia sedang mengunci pintu depan rumah. Ponselnya berdering. Nama Nayla muncul di layar. Rania hampir tidak mengangkatnya, tapi rasa penasaran menang. Karena jarang sekali kakaknya menghubungi kecuali ada urusan penting. "Ada apa?" suaranya pelan, lelah. "Ran, kamu udah pulang ke apartemen?" tanya Nayla dari seberang sana. Terdengar suara ramai, sepertinya Nayla sedang di kafe atau restoran. "Iya. Rumah kosong. Mama Papa kerja. Kamu juga nggak ada." "Aku barusan nggak sengaja ketemu temen lama. Perusahaannya lagi cari sekretaris. Aku inget kamu lagi nyari kerja." Rania diam. "Kalau kamu mau, kirim CV malam ini juga, ya. Tapi ya... jangan baper, ya." "Baper?" "Iya. Maksudku, ya kamu tahu sendiri. Aku bantuin Kamu karena tulus. Bukan ada maksud apapun atau mau meremehkan kamu." "Kok gitu?" "Kamu kan dari dulu... ya, sering kalah dari aku dalam banyak hal. Meski nggak bilang, tapi ekspresi wajahmu terbaca dengan jelas." Napas Rania tercekat. Nada Nayla ringan, seolah-olah candaan, tapi Rania tahu: itu bukan candaan. "Kayak dulu waktu kita lomba pidato. Atau lomba essay. Kamu tuh—" "Aku inget," potong Rania cepat. Rania mengakui tapi kepalanya panas. Tangannya mengepal di balik ponsel. Kata-kata itu kecil, tapi tajam. Menusuk langsung ke d**a. Selalu kalah. Selalu di bawah bayang-bayang Nayla. "Aku pikir kamu bakal senang aku bantuin," tambah Nayla. "Tapi kalau kamu nggak siap bersaing, ya udah." Telpon ditutup sepihak. Rania berdiri lama di depan pagar. Sopir sudah membuka pintu belakang mobil. Tapi ia tak segera masuk. Malam ini... Dia tahu akan makan malam dengan Gibran. Pria yang Nayla tunjuk sebagai calon tunangan. Tawaran kerja dan sindiran itu... Seolah Nayla memancingnya masuk ke ring yang selama ini dia hindari. "Aku nggak mau mencuri, tapi aku juga nggak mau diinjak-injak." Malam ini, dia akan duduk tepat di depan Gibran. Apa salahnya... kalau dia buat Nayla tahu, bahwa dia juga bisa menang? --- Rania berdiri di depan cermin, mematut pantulan dirinya. Dress hitam tanpa lengan yang membentuk lekuk tubuh rampingnya, lipstick merah pekat yang jarang ia pakai, dan heels yang bahkan belum pernah ia kenakan sejak wisuda. Bulu matanya lentik, rambutnya digelung rapi, menyisakan poni tipis yang membingkai wajahnya. Ini bukan Rania yang biasa. Malam ini, dia tak ingin terlihat biasa. Terutama di depan Gibran. Denting bel pintu apartemen membuat jantungnya berdebar. Dia menarik napas panjang, meraih clutch kecil, lalu membuka pintu. Gibran berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan hitam kasual namun rapi. Jam tangannya berkilat di bawah cahaya lorong. Mata laki-laki itu naik turun menilai penampilan Rania, dan untuk sepersekian detik, sudut bibirnya terangkat. “Siap?” tanyanya ringan, tapi sorot matanya tajam, seperti sedang membaca motif di balik dandanannya. Rania tersenyum kecil. “Tentu. Kamu yang ajak makan malam, kan? Aku hanya menghargainya.” Gibran tak menjawab. Dia hanya menggeser tubuh, memberi ruang agar Rania lewat lebih dulu. Begitu mereka berjalan berdampingan menuju lift, Rania bisa merasakan tatapan Gibran yang tak henti mencuri-curi pandang dari samping. “Kamu tahu kamu nggak perlu segini…” Gibran berhenti, lalu menghela napas, “…provokatif.” “Aku nggak merasa provokatif,” sahut Rania ringan. “Kamu aja yang terlalu cepat menilai.” “Rania.” Nada suaranya berubah. Serius. Dalam. “Aku bukan cowok yang bisa kamu mainkan.” Rania menatap ke depan, menahan degup jantungnya. Akan tetapi senyumnya tetap tipis, seperti topeng. “Bagus. Aku juga bukan perempuan yang bisa kamu kendalikan.” Lift terbuka. Mereka melangkah masuk. Hening sejenak. Gibran bersandar pada dinding lift, menoleh padanya. “Kamu main api.” “Kamu yang nyalain apinya,” bisik Rania tanpa menoleh. “Aku cuma belajar bagaimana caranya terbakar dengan elegan.” Senyum Gibran mengembang. Bukan senyum ramah. Tapi senyum yang menyimpan banyak hal. Rahasia, niat, dan penguasaan. “Malam ini, kamu milikku, Rania,” katanya pelan. “Dan kamu tahu itu.” Rania menelan ludahnya. Tidak karena takut, tapi karena tubuh dan hatinya tak lagi sepaham. Dalam hati ia tahu kalau ia ingin melawan. Namun bagian lain darinya ingin tahu… sejauh apa Gibran akan menyeretnya ke dalam permainan ini. Sejauh apa ia sendiri mampu menolaknya. Dia tidak berniat terbakar. Sebaliknya dia sedang membakar orang lain. Walau nanti disebut egois, nyatanya setiap ego dan harga diri adalah dua hal yang harus dipertahankan saat diinjak oleh orang lain. Bahkan keluarga. Malam itu, Rania menyadari satu hal yaitu bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Namun tentang keberanian untuk berdiri dan menuntut tempatnya. Di antara api dan abu, dia memilih jadi nyala yang tak mudah padam. Dan pertempuran sejati baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD