Restoran Mewah, Lantai 23, Pukul 19.12
Cahaya lampu gantung kristal jatuh lembut di atas meja makan bundar tempat mereka duduk. Hanya ada mereka berdua. Jendela kaca besar di belakang Gibran memperlihatkan kelap-kelip kota malam yang tampak seperti taburan bintang.
Rania duduk dengan tubuh tegak. Gaun hitam yang pas badan, make up yang lebih berani dari biasanya, dan bibir merahnya membuat siapa pun menoleh. Tapi hanya satu pria di ruangan itu yang tak pernah mengalihkan pandangannya darinya. Gibran.
“Kalau kamu sengaja berdandan seperti ini untuk membuatku tak bisa makan dengan tenang, kamu berhasil,” ucap Gibran sambil tersenyum kecil.
Rania mengangkat bahu. “Aku pikir kamu suka perempuan yang tampil total.”
Gibran mencondongkan tubuh. “Aku suka kamu, apa pun tampilanmu.”
Rania mengerjap. Jantungnya berdetak tidak karuan. Akan tetapi dia memilih meneguk air putih sebelum memberikan reaksi.
“Jadi… kenapa ngajak makan malam?” tanyanya.
“Karena aku ingin mengenal kamu lebih dari sekadar… adik ipar,” jawab Gibran dengan nada yang dalam.
Rania tertawa pelan, tapi matanya tetap mengawasi ekspresi pria itu. “Kamu tahu kita bisa dibilang berdosa, ‘kan?”
Gibran tidak membantah. Namun sorot matanya tidak berubah.
“Kamu tahu aku nggak akan biarkan kamu sendirian menghadapi ini semua,” ucapnya. “Termasuk… masa lalu kamu.”
"Masa lalu? Kamu bersikap seolah kamu tahu tentangku, masa lalu atau apapun tentangku." Rania mendengus, "Kita hanya terlibat satu malam yang kacau, Gibran. Kamu tidak tahu apapun tentangku."
"Karena itulah aku ingin mengenalmu..." Gibran menatap Rania lekat dan gadis itu tidak gentar. Mereka berperang dengan tatapan dan tidak ada yang ingin mengalah.
Seolah dunia berkonspirasi, ponsel Rania bergetar di meja. Itu bukan sesuatu yang bisa dikatakan mundur, tapi Rania melepas pandangannya lebih dulu. Gibran tersenyum puas, merasa menang.
Rania menautkan aliasnya. Nayla. Kakak perempuannya menelponnya. Itu terbilang jarang, tapi di waktu yang cukup tepat.
Dengan gerakan tenang, Rania mengangkat ponselnya dan mengaktifkan loudspeaker. Gibran tetap tenang, tapi tatapannya mengeras sedikit. Senyuman jail Rania terbit melihat itu.
“Gib, kamu udah makan?” suara Nayla terdengar dari seberang.
Rania melirik Gibran. Pria itu menatapnya datar.
“Aku lagi makan,” jawab Gibran pelan.
“Sendiri?”
Rania tak menunggu. “Sama aku, Kak,” jawabnya ringan. “Kamu tahu kan, Gibran nggak suka makan sendirian.”
Ada keheningan di seberang.
"Kok, bisa...?" Nadanya menggantung.
"Kebetulan kami bertemu," sahut Gibran membuat Rania nyaris tertawa.
“Oh…” Nayla terdengar salah tingkah. “Jangan ganggu dia, ya, Ran. Dia gampang masuk angin.”
Rania nyengir. “Aku tahu kok, Kak. Dia hangat banget malam ini.”
Gibran menahan tawa. Namun, ia menjauhkan ponsel pelan dan mematikannya.
“Kamu sengaja?” tanyanya.
Rania mengangkat alis. “Aku hanya pengin tahu, siapa yang bikin kamu khawatir: aku atau Nayla?”
Gibran tidak menjawab. Ia hanya mengambil tangan Rania dan menggenggamnya erat di atas meja.
“Aku akan pastikan kamu nggak merasa kalah lagi dari siapa pun,” bisiknya.
Rania terdiam. Dulu, ia pernah jadi korban pengkhianatan. Sekarang, ia bingung apakah sedang memenangkan sesuatu… atau sedang jatuh ke perangkap yang sama. Sekilas, dua bayangan yang dulu sangat dekat dengannya melintas. Ada rasa marah, kecewa dan asing yang mengusiknya.
"Kamu baik-baik saja?" Gibran terlihat khawatir.
"Tidak apa, bukan masalah besar," sahut Rania.
Gibran terdiam. Dia terlihat ingin menanyakan sesuatu, tapi batal melakukannya. Dia menahan diri untuk tidak bertanya karena Rania terlihat seperti balok es yang belum siap untuk mencair. Dia mungkin akan retak atau menjauh bila dipaksa.
Makan malam berlanjut dalam diam. Mereka baru saja menyelesaikan makanan utama saat pelayan membawakan dessert. Rania tersenyum kecil, menikmati sensasi manis dan tenangnya malam itu. Untuk sesaat, dia merasa dihargai. Dimanja.
Sampai suara yang sangat familiar menyentak telinganya.
“Rania?”
Ia menoleh.
Bagas berdiri di sana. Di sampingnya, ada Sofi.
Wajah Rania mengeras. Tangannya otomatis mengepal di pangkuannya, tapi senyum tipis tetap tersungging di bibirnya. Senyum dingin.
“Oh, halo,” jawabnya datar.
Sofi ragu, tapi tetap melangkah maju. “Lama banget nggak bertemu, Ran. Nggak nyangka kita bakal ketemu di sini.” Suaranya terdengar seperti dibuat-buat. Dia mungkin khawatir Rania akan mengamuk atau melakukan sesuatu, tetapi Rania tidak melakukannya.
Gibran ikut berdiri, mengulurkan tangan dengan sopan. “Saya Gibran,” katanya, menatap Bagas dan Sofi satu per satu.
“Pacarmu sekarang?” tanya Bagas cepat, nadanya nyaris sinis.
“Bukan,” sahut Rania manis. “Tapi dia laki-laki yang menjemputku setelah aku dibuang oleh orang yang mengira emas imitasi sebagai berlian.”
Sofi tersedak napasnya sendiri. Bagas tampak ingin bicara, tapi Gibran memotongnya dengan tenang, “Rania nggak sendiri sekarang. Jadi kalau hanya ingin bernostalgia sambil pura-pura bersalah… mungkin sebaiknya cari tempat lain.”
Sofi menggigit bibir. “Kami cuma... ingin menyapa.”
Rania menatap mereka dalam. “Kalian sudah menyapa. Sekarang silakan lanjutkan malam kalian. Aku masih ingin menikmati pencuci mulutku… dan ketenanganku.”
Bagas dan Sofi akhirnya berlalu, membawa canggung dan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Gibran duduk kembali. Ia menatap Rania yang mengambil sendok dengan tangan sedikit gemetar.
“Kamu oke?” tanyanya pelan.
Rania menatapnya, tatapannya tajam tapi basah. “Nggak, tapi… kamu bikin aku kelihatan seperti pemenang. Terima kasih.”
Gibran tersenyum kecil. “Kamu memang pemenang, Rania. Mereka hanya lupa.”
Rania mendengus pelan, "Aku ingin menangis."
"Untuk lelaki yang tidak bisa membedakan mana berlian dan mana yang imitasi?" sindir Gibran.
Rania tersenyum getir, "Bukan soal itu saja, melainkan tentang banyaknya waktu dan tenaga yang terbuang. Juga, kenyataan kalau aku sudah ditipu." Suaranya tersedat seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
Gibran mengulurkan tangan, menggenggam erat tangan Rania. Ada kehangatan yang mengalir sampai ke hati gadis itu.
"Mau ke tempatku setelah ini?" tawarnya.
"Jadi, kamu tidak ingin aku pulang malam ini?" sindir Rania setengah menggoda.
"Bagaimana menurutmu?" Gibran balik menggoda dengan senyuman dan ekspresi yang memohon dan memerintah sekaligus.
"Aku merasa, kita akan kehilangan batas bila itu terjadi."
"Kamu sudah melanggarnya saat kamu mengiyakan ajakan makan malamku dengan gaun seperti itu." Gibran menatapnya lekat.
"Ini cocok untukku, kan?"
"Benar, sangat cocok, sampai aku ingin melihatmu tanpanya," jawabnya lugas membuat pipi Rania memerah.
"Ini akan berbahaya. Kamu mungkin akan terbakar."
"Aku siap bila itu untukmu."
Mereka saling menatap.
"Maka, mari kita terbakar bersama."
Malam itu, permaianan itu dimulai dengan api yang sengaja disulut oleh kedua pihak yang saling merasa membutuhkan. Tidak ada keraguan atau rasa bersalah karena mereka menganggap ketertarikan itu adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban untuk diselesaikan.