Restoran hotel pagi itu dipenuhi suara sendok garpu dan aroma kopi yang pekat. Rania duduk dengan buku catatan di depannya, mencoba menyiapkan poin-poin rapat. Tapi pikirannya terus kembali pada malam sebelumnya—pada ciuman, pada sentuhan, pada suara Gibran yang berbisik seolah hanya ada mereka di dunia ini. Rania tahu, kalau seharusnya, dia menjauh dari Gibran. Dia sudah mencoba, tapi pria itu terus datang seolah menguji apakah dia akan menolak atau tetap menerima. Ironisnya, dia tetap tidak bisa berhenti sekalipun logikanya menyadari kalau semua adalah kekeliruan yang tak seharusnya terjadi. Gibran masuk beberapa menit kemudian, mengenakan setelan gelap yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Senyum tipisnya hanya sekejap, ditujukan langsung padanya, sebelum ia duduk di seberang. “

