Angin malam mengusap kulit Rania lembut saat mereka keluar dari restoran rooftop itu. Lampu-lampu kota berkelip di bawah sana, indah tapi terasa jauh. Tirto berjalan setengah langkah di belakangnya, diam, membiarkan Rania menikmati kesunyian. Begitu sampai di depan mobil, Tirto membuka pintu penumpang dan menunduk sedikit. “Kita pulang?” tanyanya pelan, suaranya serak, berbeda dari biasanya. Rania sempat ragu sejenak. Ada bagian dari dirinya yang ingin berkata “ya” dan menyudahi malam ini, tetapi ada juga bagian lain yang belum siap kembali ke sepi. Namun akhirnya, ia mengangguk pelan. “Iya, ayo pulang.” Mobil melaju menembus jalanan Bandung yang dipenuhi cahaya lampu. Musik lembut mengalun pelan, hanya menjadi latar dari keheningan yang menggantung di antara mereka. Tirto sesekali meli

