"Asyik, ya, karena baru pelukan sama Tirto?" Langkah Rania tercekat. Dadanya seperti dipukul keras. Perlahan, ia mengangkat wajah dan mendapati Gibran bersandar santai di kusen pintu apartemennya, kedua tangannya menyilang di d**a, tatapannya dingin—tapi ada bara api yang jelas membakar di balik mata itu. "Gib…" suara Rania nyaris tak terdengar, "kamu ngapain di sini?" Gibran tidak menjawab. Dia hanya menatapnya lama, seolah mencoba menembus setiap kebohongan yang mungkin Rania simpan. Hening yang menggantung membuat detak jantung Rania terdengar memekakkan telinga. "Aku ulangi pertanyaanku," Gibran melangkah mendekat, suaranya berat dan rendah. "Enak, ya, habis pelukan sama Tirto?" Rania mengepalkan jemari, mencoba menahan diri. “Jaga omonganmu, Gib.” "Kenapa?" Gibran menyeringai si

