Setelah tangisnya sedikit reda, Rania menyeka pipinya dengan punggung tangan. Malu rasanya karena ia begitu rapuh di depan Tirto. Namun, saat menoleh, pria itu tidak menatapnya dengan iba atau remeh, melainkan dengan ketenangan yang anehnya membuat hati Rania justru semakin berat. “Kita cari tempat menginap dulu, ya,” ucap Tirto lembut sambil menyalakan mesin mobil lagi. “Kamu butuh istirahat. Nggak baik kalau terus-terusan begini.” Rania hanya mengangguk. Jalanan malam terasa lengang, lampu kota kecil berkelip redup di kejauhan. Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah penginapan sederhana, jauh dari keramaian. Tirto turun lebih dulu, membayar kamar tanpa banyak bicara. Saat ia kembali, ia membuka pintu untuk Rania, lalu membantu membawakan koper. Kamar itu sederhana—hanya ada ranjang,

