Bab 8. Merasa Curiga

1272 Words
Bella menangkap raut kebingungan di wajah Leon karena ia yang biasanya cuek tentang urusan pekerjaan suaminya itu, kini seperti ingin tahu. Sebelum pria tersebut merasa curiga atau berpikir lebih jauh lagi, Bella pun tersenyum simpul, menampilkan deretan gigi putihnya. "Hehe, maaf, Mas. Aku cuma bercanda. Kalau kamu mau menjauh dari aku untuk menjawab telepon seperti biasa, nggak masalah kok. Aku tahu itu urusan pekerjaan dan aku juga nggak terlalu mengerti. Aku magang di perusahaan kamu juga nggak mengurusi pekerjaan kamu, 'kan?" ujar Bella, berusaha melucu. Mendengar itu, Leon merasa lega sekaligus berani memutuskan. "Aku akan jawab teleponnya di sini. Aku nggak mau kalau kamu salah paham nantinya," tegasnya. Bella mengangguk penuh pengertian. "Ya sudah, jawab saja, Mas. Aku juga nggak akan ganggu kok," sahutnya. Leon pun segera menjawab telepon tersebut, "Iya, halo Jolina. Ada apa?" Wajah Leon tampak fokus berusaha menjaga ketenangannya, sementara Bella mencoba menghormati privasi suaminya, walau rasa penasaran kian mengusik pikirannya. "Oke, baiklah. Kalau begitu, kirimkan saja alamatnya. Sampai bertemu," ucap Leon, sebelum menutup panggilan telepon itu. Leon merasa yakin bahwa Bella takkan bisa mendengar suara Jolina dari seberang telepon, mengingat volumenya yang begitu kecil, hingga nyaris tak terdengar di telinganya sendiri. "Kenapa, Mas? Klien kamu mau ketemuan?" tanya Bella, penasaran dengan percakapan yang baru saja berlangsung. "Bukan, dia hanya mengabarkan untuk meeting besok di luar. Jadi, aku minta untuk dikirim alamatnya saja," kata Leon, berusaha menjelaskan situasinya dengan tenang. "Oh, begitu. Hanya meeting berdua?" Bella menanyakan lebih jauh, mencoba menggali informasi yang mungkin luput dari perhatiannya. Leon buru-buru menjawab, "Tentu saja, tidak. Aku akan membawa asistenku dan Jolina juga pasti akan bersama asistennya." "Syukurlah, aku pikir kamu cuma berdua sama dia. Aku 'kan cemburu," ungkap Bella seraya mengerucutkan bibirnya. Leon tersenyum kecil dan mengelus lembut rambut istrinya. "Sayang, kamu nggak perlu cemburu. Dia itu hanya klien aku. Sudah aku katakan, kalau aku hanya mencintai kamu. Hanya kamu satu-satunya wanita yang ada di hatiku," ucapnya dengan tatapan mendalam, berusaha meyakinkan Bella bahwa cintanya takkan tergoyahkan oleh siapapun. "Aku tahu, Mas, kamu mencintai aku. Tapi, aku bukan satu-satunya. Kamu punya istri lain selain aku. Kenapa sampai sekarang kamu belum jujur? Sebenarnya ada apa ini, Mas? batin Bella, merasa sangat penasaran. "Mas, tapi bukannya besok kita mau jalan-jalan? Kamu juga sudah ambil cuti 'kan? Tapi kalau memang besok kamu ada pekerjaan penting, nggak masalah kok, aku mengerti," ucapnya yang mengingat akan hal itu. "Aku hanya perlu meeting pagi sebentar saja di luar, karena memang aku tidak ke kantor. Dan setelah itu kita akan pergi. Yang penting, kamu siap-siap saja dulu di rumah," kata Leon. "Oh, ternyata sudah cuti dan mau jalan-jalan juga masih memikirkan pekerjaan," ucap Bella dengan raut wajah kesal. "Sayang, please, aku mohon jangan seperti ini, ya? Aku akan mengusahakan waktuku untuk kamu. Aku hanya minta izin sebentar saja. Aku janji nggak akan lama, paling lama hanya satu jam." Leon tampak memohon. Bella menganggukkan kepalanya. "Iya. Sudah resiko punya suami bos, mau gimana lagi," ucapnya sambil berusaha untuk tetap mengerti perasaan suaminya, meski di dalam hati tetap ada rasa penasaran yang mengganjal. Leon tersenyum lembut, mengecup kening Bella dengan penuh kasih. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang istriku yang paling pengertian," ucapnya seraya memeluk Bella erat. Tak bisa dipungkiri, Bella selalu merasa hangat dan nyaman dalam pelukan suaminya. Rasa aman ini membuatnya semakin yakin bahwa ia membuat pilihan yang tepat. *** Sementara itu, di tempat lain, Jolina menunggu dengan kesal. Pasalnya, ia telah meminta Leon untuk menjemputnya dan mengirimkan alamat tempat di mana ia berada, namun tak ada kabar dari suaminya itu. Ia mencoba menghubunginya beberapa kali, tetapi ponsel Leon kini tak aktif. "Apa yang sedang Leon lakukan? Di mana dia?" gumam Jolina dalam hati. "Sesibuk apapun dia, tapi kalau aku minta jemput, dia pasti akan usahakan. Bukannya dia seharusnya senang karena aku ada waktu, aku tidak pulang malam atau bahkan pulang pagi?" Jolina mulai merasa emosional, tak tahan menahan rasa penasaran dan kesal yang kian memuncak. Tak sengaja, seseorang menyadari perubahan emosi Jolina. "Beb, ada apa? Sepertinya kamu lagi kesal?" tanya sahabat baik Jolina yang juga merupakan teman se-profesinya sebagai model. Jolina mendengus kesal. "Seharusnya, Leon jemput aku di sini. Aku juga sudah kirim alamatnya, tapi hampir satu jam dia belum nongol juga. Gimana aku nggak kesal, coba?" keluhnya. Lalu sahabatnya yang bernama Celine, berbicara dengan nada mencemooh, "Oh ya? Leon nggak biasanya seperti ini, 'kan? Apa mungkin dia sibuk dengan wanita lain?" Jolina merasa terpancing dengan ucapan Celine, ia membela suaminya, "Nggak mungkin, Cel. Aku tahu gimana Leon, dia itu hanya sibuk dengan pekerjaan. Mana mungkin, dia ada waktu untuk bermain-main dengan w************n di luar sana." "Why not, baby? Mau percaya atau nggak, itu terserah kamu." Celine kembali melontarkan pandangan meragukannya, "Tapi, namanya juga laki-laki jarang dikasih jatah sama istrinya, apalagi kamu nggak pernah ada waktu buat dia, bisa saja Leon mencari kenyamanan di luar sana. Kamu sendiri nggak betah 'kan kalau selalu LDR dengan Leon, sampai kamu menjalin hubungan dengan Dimas." Mendengar nama Dimas, Jolina langsung meradang dan berusaha menutup mulut Celine. "Hust …. Kamu bisa diam nggak, sih? Nggak usah sebut-sebut nama Dimas di sini, kalau sampai ada yang dengar gimana?" Rasa kesal dan merasa dipojokkan oleh Celine membuat Jolina mulai merasa was-was, bagaimana seandainya hal-hal yang dikatakan Celine benar? Apakah dia yang salah? Namun Jolina tak ingin mencampakkan kepercayaannya pada Leon. Dia mencoba mengendalikan perasaannya dan memikirkan jalan terbaik untuk menyikapi situasi ini. "Iya, maaf. Tapi, Jo, apa yang aku katakan itu juga masuk akal. Kamu saja bisa selingkuh, jadi kenapa Leon nggak? Dia itu kaya, tampan, pastilah banyak wanita di luar sana yang ngejar-ngejar dia," bisik Celine, mengatakan kemungkinan buruk yang terjadi. Mendengar hal itu, Jolina tampak terdiam sejenak dan berfikir bahwa apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu memang benar. Leon memiliki fisik sempurna dan kekayaan yang berlimpah, pasti banyak wanita yang mendambakan pria seperti itu, membuatnya pun merasa curiga. "Nggak, Leon nggak boleh selingkuh, apalagi berpaling dari aku. Aku nggak akan biarkan ini terjadi!" ucap Jolina, merasa frustasi. Celine menatap bingung. "Kenapa? Kamu juga nggak terlalu cinta 'kan sama Leon?" ujarnya. "Ya, pasti karena hartanya lah. Kamu tahu sendiri 'kan, kekayaan Leon yang nggak akan pernah habis sampai tujuh turunan. Orang tuaku juga menjodohkan kami karena bisnis dan keluarga Leon itu kaya raya," ungkap Jolina dan hanya ditanggapi anggukan kepala oleh Celine. *** Perasaan Jolina semakin kalut, kecurigaan terhadap Leon memuncak karena semalaman suaminya itu tidak bisa dihubungi dan tidak pulang ke rumah. Dalam hatinya, ia merasa ada yang tidak beres dengan kondisi ini. Ia mencoba menepis rasa curiga, namun tekanan yang begitu kuat membuatnya terjaga sepanjang malam. Pagi harinya, Jolina memutuskan untuk pergi ke perusahaan suaminya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, yang ia temukan adalah kekosongan. Leon tidak ada di sana dan bahkan, asistennya mengatakan bahwa pria itu telah mengambil cuti. "Apa? Cuti? Kamu tidak salah, Leon mengambil cuti hari ini?" tanya Jolina pada Alvino, asisten Leon. Alvino hanya mengangguk dan menjawab, "Iya, Bu. Pak Leon memang mengambil cuti 2 hari untuk pergi ke luar kota. Saya tidak tahu alasan pastinya, tetapi Pak Leon meminta saya mengurus pekerjaan di sini selama dua hari ini." Kata-kata Alvino membuat kecurigaan Jolina semakin menjadi. "Ke luar kota? Apa dia ada urusan pekerjaan di sana? Lalu kenapa dia sama sekali tidak mengabari aku? Ada apa sebenarnya?" Jolina merasa terhimpit oleh kecurigaan yang kian menggelayut dalam pikirannya. Kini, hati Jolina semakin diliputi rasa cemas dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya. Sejuta pertanyaan menghantuinya dan ia merasa tidak bisa menahan rasa curiga yang terus menyiksanya. Namun, satu yang pasti, Jolina harus segera menemukan jawaban yang ia cari untuk menghilangkan segala keraguan dan kekhawatiran yang ia rasakan. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD