Bab 10 : Amatir

1460 Words
Anin berlari ke dalam kamar dan langsung mengunci pintunya. Ia membanting tubuhnya ke atas kasur, menelungkup, sambil memukul-mukul kasur dengan kedua tangan dan menendang-nendang kaki, kesal sekaligus takut. Tatapan Lukas tadi membuatnya merinding, seolah lelaki itu ingin melahapnya hidup-hidup. Pikirannya melayang kembali ke kejadian beberapa saat lalu. Wajah mereka begitu dekat hingga Anin bisa mencium aroma Lukas dengan jelas. Aroma? Seketika Anin teringat wangi yang sama pagi tadi. Anin tersentak. Ia langsung duduk tegak, menggeleng-gelengkan kepala untuk menepis pikirannya. “Tidak mungkin ... Nggak mungkin lelaki gila itu menyelinap masuk ke kamarku tadi malam, kan? Tapi, aroma itu ...” gumamnya pelan, kembali menggeleng. Sementara itu, di lapangan golf, Ze tertawa terbahak-bahak melihat Lukas kembali dengan wajah masam. Lukas hanya menatapnya jengah, tak menanggapi lebih jauh. “Kamu ketemu dia di mana?” tanya Ze sambil bersandar pada tongkat golfnya. “Dia datang sendiri padaku,” jawab Lukas dengan nada datar. “Lebih tepatnya, takdir yang menuntun dia padaku,” lanjutnya penuh percaya diri. “Setelah aku perhatikan, dia nggak begitu mirip dengan mendiang.” Lukas mengangguk kecil tanpa menoleh, tetap fokus memukul bolanya. “Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda,” lanjut Ze, “tatapan dan perlakuanmu padanya nggak sama seperti pada Lea dulu.” Lukas menghentikan gerakannya, lalu menatap Ze dengan alis sedikit terangkat. “Aku nggak memperlakukannya secara khusus. Semua yang aku lakukan untuknya sama persis seperti apa yang aku lakukan untuk Lea. Pakaian, fasilitas, bahkan sampai makanan—semua yang aku berikan seperti apa yang selalu aku berikan pada Lea.” Ze menghela napas. “Tapi aku nggak pernah lihat kamu menatap Lea seperti kamu menatap dia.” Lukas tertawa kecil, lebih seperti tawa sumbang, lalu menggerakkan sebelah tangannya seolah ingin menepis perkataan Ze. “Aku dan Lea delapan tahun, Ze. Tatapan seperti apa yang kamu maksud? Jangankan tatapan sayang, tatapan s*nge aja pernah.” Ze yang sedang bersiap memukul bola, langsung kehilangan fokus hingga pukulannya meleset. Kesal, ia menendang bok*ng Lukas, tapi Lukas sigap menghindar sambil tertawa puas. *** “Anin,” panggil Lukas sambil mengetuk pintu. Entah sudah berapa kali ia memanggil, tetapi Anin tetap enggan membuka pintu kamarnya. Kali ini, Lukas bahkan mengancam akan mendobraknya. Di dalam kamar, Anin mondar-mandir gelisah. Rasanya takut untuk bertemu Lukas. “Honey.” “Namaku Anin,” sahutnya akhirnya, membuka pintu. Lukas mengembuskan napas panjang, lega akhirnya pintu terbuka. “Kenapa kamu mengurung diri, hmm?” tanyanya lembut. “Si—siapa juga? Aku baru keluar dari kamar mandi,” bohong Anin, menghindari kontak mata dengan Lukas. Ketakutan masih membelenggunya, membuatnya canggung dan gugup. Anin mengendus pelan. Benar, wangi Lukas sama dengan yang sejak tadi sempat mengusik pikirannya. Dia? Apa dia benar-benar ada di kamarku? batinnya. “Bersiaplah. Temani aku malam ini,” ujar Lukas tiba-tiba. Anin langsung melangkah mundur, terkejut mendengar kata ‘temani’. “Malam ini, aku ada pertemuan tidak jauh dari sini.” “Pergi saja sendiri,” balas Anin cepat. “Harus ikut,” kata Lukas tegas, mendekat selangkah. “Kita tidak boleh berpisah. Aku tidak mau kamu merindukanku kalau aku jauh darimu—” Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Lukas, Anin pura-pura bersuara seperti ingin muntah, membuat Lukas tertawa kecil. “Kita makan malam di sana. Pelayan akan mengantarkan pakaian yang sudah aku siapkan untukmu.” Lukas menyiapkan gaun elegan, tidak terlalu terbuka, tetapi tetap memancarkan kesan anggun. Kali ini, Anin tidak berani berontak. Ia terlalu takut dengan Lukas. Anin memutuskan untuk mengikuti permainan Lukas, meyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan semudah itu jatuh cinta, seperti yang sudah-sudah. Meski tubuhnya kecil dan mungil, tak jarang teman seangkatan maupun kakak tingkat mendekatinya. Namun, sejak kepergian ayahnya, Anin merasa tidak punya waktu ataupun keinginan untuk menjalin hubungan. Standarnya pun cukup tinggi. Lelaki yang akan mendampinginya kelak haruslah seseorang yang menyerupai sosok ayahnya—pria yang mencintai ibunya dengan luar biasa. Cinta ayahnya pada ibu begitu besar, hingga sepeninggalnya pun sang ibu tetap setia, bertahun-tahun menjalani hidup dengan kenangan itu tanpa merasa kesepian. Anin mengenakan dress itu tanpa banyak protes. Ia memutuskan tampil sederhana, hanya merapikan rambutnya tanpa polesan makeup berlebihan. Saat keluar dari kamarnya, Lukas menyambutnya dengan senyum hangat. “Aku akan menghadiri pertemuan sebentar,” kata Lukas saat mereka tiba di tempat tujuan. “Kemal akan menemanimu. Setelah urusanku selesai, aku akan menyusulmu.” Anin tidak merespons. Sepanjang perjalanan tadi pun ia banyak diamnya. Ngapain ajak aku kalau ujung-ujungnya aku sendirian? batinnya kesal. Mata Anin membelalak ketika Ben membuka pintu besar di depan mereka. Ternyata tempat yang mereka tuju adalah sebuah bar and club –musik yang memekakkan telinga langsung menyapa. Ben berbicara melalui earpiece-nya, memimpin jalan mereka menuju lift. “Aku tidak akan lama,” ujar Lukas lembut di dalam lift, mengusap puncak kepala Anin. Namun, wanita itu langsung menghindar. Ketika pintu lift terbuka, Anin melangkah keluar lebih dulu, mengabaikan Lukas yang masih memperhatikannya dari belakang. “Honey, bukan ke situ arahnya,” panggil Lukas. Anin memutar arah dengan sikap acuh, mengikuti Kemal yang menunjuk jalan yang benar. Lukas mengembuskan napas panjang, mengejar langkah Anin, dan meraih tangannya. “Jangan jauh dari Kemal. Aku akan segera kembali,” ucapnya, sembari menarik Anin mendekat dan mengecup puncak kepalanya. Anin membeku seketika, sementara Lukas sudah berlalu bersama Ben dan anak buahnya. “Non Anin,” panggil Kemal, menyadari wajah Anin yang terlihat tegang. Tidak tahu saja detak jantung Anin seolah hendak melompat dari tempatnya. Anin berdehem, mencoba menenangkan diri, lalu berjalan mengikuti Kemal menuju ruangan berbeda. Anin dibawa masuk ke sebuah ruangan VIP. Hanya dia dan Kemal di sana. Dari balik dinding kaca besar, Anin bisa melihat kerumunan manusia di lantai bawah yang asyik berjoget mengikuti irama musik. Ia melangkah mendekati kaca, memperhatikan suasana di bawah. “Makan malamnya sudah datang, Nona,” ucap Kemal. Anin berbalik, duduk, dan menyantap makan malamnya seorang diri, sementara Kemal menunggu di luar. Anin sendiri bingung dengan maksud Lukas. Di bawa ke tempat sejauh ini, tapi ditinggal. Tadi Kemal bilang, Anin bisa berkaraoke atau menonton menunjukkan dua remote sembari menunggu Lukas, tapi Anin hanya diam saja. Gadis itu bahkan tidak menghabiskan makanannya karena tidak berselera. Ia memanggil Kemal meminta lelaki itu mengantarnya ke bawah. Namun Kemal cepat menolak jika tanpa persetujuan Lukas, membuat Anin cemberut. “Nona diizinkan, asal tetap bersama saya,” kata Kemal yang telah meminta izin pada Ben. Anin tersenyum tipis dan mengangguk. Saat tiba di lantai bawah, ia terpana melihat suasana ramai. Hiruk pikuk manusia di sekitarnya membuatnya terdiam sesaat. Kemal mempersilakan Anin duduk di dekat meja bar. Nyatanya, suasana di sana tidak seasyik yang dibayangkan. Musik terlalu berisik dan meski ramai, rasanya membosankan. “Saya pesankan minuman non-alkohol, ya,” tawar Kemal. Anin mengangguk pelan. Saat Kemal menyerahkan minuman, Anin bertanya tiba-tiba, “Kamu kenal Lea?” Kemal mengangguk. “Apa kami semirip itu?” tanya Anin sembari menyeruput minumannya. Kemal menggeleng. “Tidak, Nona.” Anin tersenyum, seolah membenarkan jawabannya sendiri. “Pak Lukas tidak seperti yang Non Anin pikirkan. Beliau orang yang baik,” ucap Kemal mencoba menjelaskan. Anin tertawa, sumbang. “Menurutmu menculik seorang gadis dan memaksanya itu baik?” Kemal terdiam, tidak berani menjawab. Keheningan menyelimuti mereka sampai akhirnya pandangan Anin jatuh pada Lukas yang sedang berjalan di lantai atas. Lelaki itu tersenyum, sesekali mengangguk, saat berbicara dengan seseorang. Di sampingnya, seorang wanita mengenakan mini dress yang cukup terbuka menggandeng lengan Lukas dengan santai. Tanpa pikir panjang, Anin berdiri dan melangkah mendekati tangga menuju lantai atas. Kemal sigap menahan langkahnya. “Non, mau ke mana—” “Diam dan ikut saja,” potong Anin, melepaskan tangan Kemal dengan kasar. Kemal terpaksa mengikuti langkah Anin. Ia mengira Anin hanya ingin menjelajahi club, tapi langkah Anin terhenti saat melihat Lukas menarik kursi untuk wanita yang bersamanya. Lukas tampak sibuk berbicara dengan seorang lelaki di depannya. “Pak Lukas sedang menemui klien,” bisik Kemal, mencoba mengingatkan Anin agar tidak mendekat. Anin tertawa sumbang. Matanya terpaku pada wanita di samping Lukas yang dalam diam dengan santainya menggoda Lukas, menggesekkan kakinya ke kaki Lukas. Seketika, Anin menyadari betapa amatir caranya menggoda Lukas tadi. Rupanya, apa yang dilakukannya tidak ada apa-apanya dibandingkan wanita itu. Lukas tampak acuh, tetap berbicara dengan kliennya hingga akhirnya berdiri untuk menyalami lelaki di depannya. Anin berpaling sejenak ketika lawan bicara Lukas beranjak pergi. Anin menoleh kembali mendapati wanita tadi berpindah posisi, kini duduk di pangkuan Lukas. Dengan manja, wanita itu merebahkan kepalanya di d**a Lukas dan mengendus lehernya, sementara Lukas fokus pada ponselnya. “Menurutmu dia baik?” tanya Anin kepada Kemal tanpa berpaling dari pemandangan itu. “Memaksaku jatuh cinta padanya, menjadikan aku bayangan dari masa lalunya?” Anin melangkah mendekati Lukas. Kemal panik dan berusaha menahannya, tapi jarak Anin terlalu dekat hingga ia kini berdiri tepat di depan Lukas. Lelaki itu mendongak, menatap Anin tajam, sementara wanita di pangkuannya mengecup pipinya mesra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD