Bab 5 : Pergerakan Malam Hari

1554 Words
“Ahh!” Pekik Lukas tertahan ketika Anin dengan sengaja menghantukkan kepalanya ke kepala lelaki itu. “Dasar lelaki m***m!” Anin mendorong tubuh Lukas, berniat bangkit, tetapi Lukas dengan cepat menahannya. “Duduk,” titah Lukas sambil mencengkeram pergelangan tangan Anin. Wanita itu tetap memberontak. “Aku bilang duduk!” Anin tersentak ketika tubuhnya terhempas kembali ke kursi. “Makan,” perintah Lukas, nada suaranya sedikit menurun ketika melihat mata Anin yang penuh amarah, tapi tampak berkaca-kaca. “Kamu tidak berhak—” “Mubazir,” potong Lukas tegas. “Aku tidak suka melihat makanan terbuang. Aku juga tidak ingin melihatmu jatuh pingsan lagi.” Lukas melirik pelayan yang membawa hidangan penutup. Ia mengambil piring puding, meletakkannya di depan Anin. “Tidak sanggup rasanya melihatmu sakit,” ucapnya lirih. “Bersamamu aku lebih tersakiti,” sahut Anin tajam. “Jadilah tunangan yang baik,” balas Lukas. “Hari itu kamu tampak bersemangat ingin menemuiku, tunanganmu,” tambah Lukas, tersenyum tipis. “Tidak lucu—” Anin dengan cepat menahan tangan Lukas saat lelaki itu hendak menuangkan saus cokelat ke pudingnya. “Aku tidak suka cokelat,” ucap Anin pelan. Lukas tertegun mendengar pengakuan itu. Tatapannya terhenti pada wajah Anin, begitu dalam hingga membuat wanita itu salah tingkah, perlahan menelan salivanya. Namun, bukannya berhenti, Lukas tetap menuangkan saus cokelat di atas puding itu, menyiraminya tanpa peduli. “Makan,” desaknya, memaksa Anin menyantapnya. “Aku alergi protein kakao,” jawab Anin singkat. Lukas terdiam sejenak, lalu meminta pelayan membawa kembali piring puding itu. Tidak ada percakapan lagi. Lukas tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Kalau makan malamnya sudah selesai, aku ingin kembali ke kamar,” kata Anin, memecah keheningan. Lukas mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat bahwa ia mengizinkan Anin pergi. Anin menghela napas lega dan segera menjauh, meninggalkan Lukas yang tampak frustrasi, memijat pangkal hidungnya. Kilasan masa lalu kembali menguasai pikirannya. Tidak sengaja Lukas menyentuh dahinya yang terasa nyeri akibat benturan dengan Anin tadi. Ia merutuki dirinya sendiri yang terbawa suasana hingga bertindak seceroboh itu. Setelah puas menatap wajah Anin tadi, kini Lukas sadar bahwa bayangan wajah Lea perlahan menghilang. Mereka memang berbeda, itu tidak bisa disangkal. Namun, ada satu hal yang jelas, ia menyukai wajah Anin yang cantik. Lukas cepat-cepat menggeleng, mencoba menyingkirkan pikirannya. Ia pun menyudahi makan malamnya dan memberi isyarat kepada pelayan untuk merapikan meja. Semua hidangan malam ini, termasuk puding dengan saus cokelat adalah makanan favorit Lea. Sementara di tempat lain … Anin melangkah masuk ke dalam kamar. Wajahnya sinis saat melewati Ben dan Kemal yang berjaga di depan pintu. Namun, seketika berubah sumringah begitu melihat tas, laptop, dan ponselnya tergeletak di atas ranjang. Saking senangnya, ia menciumi ponsel dan laptop itu, lalu memeluknya erat. Tanpa membuang waktu, Anin segera membuka ponselnya. Puluhan pesan singkat dan panggilan tak terjawab langsung memenuhi layar. Ia langsung menghubungi ibunya. Baru dering pertama, panggilan itu tersambung. Suara Bu Rahma langsung menyapa, membuat air mata Anin mengalir tanpa bisa ditahan. “Anin… Ya ampun, Nak! Kamu ke mana saja? Kenapa baru sekarang ponselnya aktif? Ibu khawatir sekali,” ujar Bu Rahma, menghujani Anin dengan berbagai pertanyaan. Anin terdiam sejenak, merasa terpaksa berbohong. “Anin baik-baik saja, Nak?” lanjut ibunya, suaranya penuh kekhawatiran. Ingin rasanya Anin menceritakan semua yang terjadi, tapi ancaman Lukas masih terngiang di kepalanya. “Anin,” panggil Bu Rahma lagi, menunggu jawaban. “Ibu, Anin baik-baik saja,” balas Anin dengan suara bergetar. “Anin … Anin dialih tugaskan ke salah satu anak perusahaan, Bu. Di… di bidang pariwisata. Sekarang Anin sedang berada di sebuah resort.” “Resort?” tanya Bu Rahma mencoba berpikir positif memastikan Anin bekerja di tim pengembangan teknologi di sebuah resort, membuat wanita itu bernapas lega tidak perlu mengarang indah lagi. “Syukurlah. Yang penting Anin baik-baik saja. Kamu tinggal di resort itu?” “Mess, Bu. Anin tinggal di mess,” jawab Anin cepat. Bu Rahma menghela napas lega. “Ibu baik-baik saja, kan?” tanya Anin, mencoba mengalihkan perhatian. “Ibu sebenarnya tidak tenang bekerja karena terus khawatir dengan kamu, Nak. Tapi setelah dengar kabar kamu, Ibu jadi lega. Di rumah produksi malah lagi ramai, kami dapat pesanan seragam batik untuk sebuah perusahaan.” Anin tersenyum meski air matanya terus mengalir. Mendengar antusias ibunya membuat rasa rindunya semakin dalam. “Jangan capek-capek ya, Bu,” ucap Anin lembut, mengingatkan. Percakapan mereka tak berlangsung lama. Anin takut jika terus berbicara, ibunya akan menyadari ia sedang menangis. Setelah menutup panggilan, Anin meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia membersihkan riasan wajahnya, lalu membuka lemari. Namun, melihat pakaian tidur yang tersedia membuatnya merasa jengah—mengingat wanita kesayangan Lukas. Akhirnya, Anin membanting tubuh ke kasur tanpa mengganti gaunnya yang masih ia kenakan. Lelah rasanya, tapi sedikit lega karena ibunya baik-baik saja. Sekarang Anin harus memikirkan cara keluar dari penjara ini. Namun, belum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya yang lelah membuatnya terlelap. Saking lelahnya Anin tidak terusik saat tubuhnya sedikit bergeser. Lukas mengangkat kaki Anin yang masih menapaki lantai kini sudah berselonjor lurus di atas ranjang. “Dasar kepala batu,” gumam Lukas sambil mengusap dahi Anin yang memerah, sama seperti dahinya sendiri. Senyum tipis terukir di wajah Lukas, perlahan melebar saat ia melihat kening Anin berkerut ketika kepalanya diusap lembut. Lukas masih tak percaya semalam ia bisa tidur nyenyak tanpa bantuan obat tidur. Ia ingin mencari tahu, benarkah ini karena kehadiran Anin? Sebab, anehnya, berada di dekat wanita itu membuatnya merasa tenang, meski Anin sering bersikap sinis padanya. “Sumpah, aku lihat ada yang masuk,” kata Kemal sambil menarik Ben ke depan pintu kamar Anin. “Cek CCTV,” tambahnya serius. “CCTV depan, belakang, kiri, kanan, bahkan di dalam kamar ini semuanya dipegang Pak Bos,” balas Ben, merujuk pada Lukas. “Kalau begitu, buka pintunya,” desak Kemal. Wajahnya terlihat serius, bahkan sedikit ketakutan. Ia khawatir seseorang menyelinap masuk karena Anin mungkin lupa mengunci pintu, meski Ben tampak ragu. “Lalu tadi kamu ke mana?” tanya Ben, nada suaranya kesal. “Aku nggak ke mana-mana, di sini nonton bola.” Kemal menunjuk ponselnya. “Tapi tadi aku lihat kayak ada bayangan lewat, sekilas sih,” lanjutnya ragu. Ben mendesah kesal lalu mencoba memutar handle pintu kamar Anin. “Terkunci,” bisiknya sambil menggeleng. Setelah memastikan tidak ada tanda-tanda mencurigakan, Ben berkata, “Lupakan saja, tapi tetap perketat penjagaan.” “Makanya kalau disuruh jaga, fokus! Jangan nonton bola!” tegur Ben tegas, kemudian memberi perintah pada anak buah lainnya untuk memperketat penjagaan. “Makanya kalau disuruh jaga, jangan banyak minum, biar nggak bolak-balik ke toilet,” balas Kemal, membuat Ben mendengus kesal. Mereka berdua kembali ke kursi taman depan kamar Anin. *** Keesokan harinya, berbeda dengan hari sebelumnya, hari ini Anin keluar dari kamar niatnya ingin memantau tempat ini. “Nona mau ke mana?” tanya Kemal, terkejut melihat Anin membuka pintu. “Mau kabur,” jawab Anin santai, berjalan menyusuri lorong yang ternyata mengarah ke ruang santai dengan mini pantry. Seorang pelayan di sana mengangguk hormat padanya. Anin menatap sekeliling. Hampir seluruh bangunan berdinding kaca, memperlihatkan pemandangan luar. “Nona, mau saya temani berkeliling?” tawar Kemal. Namun, Anin mengabaikannya dan memutar arah, mengeksplor bagian lain vila itu. Ya, Anin menyadari tempat ini berupa vila dengan halaman luas. Ia tidak melihat Lukas sejak pagi dan tidak tertarik bertanya. Tidak penting juga tahu di mana keberadaannya. Saat menyusuri vila, Anin tiba di sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka. Entah kenapa, ia tertarik mendekatinya. Dia melihat Kemal tidak lagi mengikutinya, sedikit menjauh— menerima telepon. Namun, sebelum sempat membuka pintu, Ben muncul dan menahan tangannya. “Pak Lukas melarang siapa pun masuk ke kamar ini. Dengan berat hati, saya harus meminta Non Anin menjauh,” ucap Ben tegas. Anin menarik tangannya lalu mundur. Ia melihat seorang pelayan keluar dari kamar itu, membawa peralatan bersih-bersih. Apa itu kamar Lukas? pikirnya. Anin memilih kembali ke kamarnya, diikuti Ben. “Makan siangnya diantar ke kamar, Non?” tanya Ben hati-hati. “Tidak, aku mau makan di ruang makan,” jawab Anin singkat. Ben mengangguk paham, lalu memperlambat langkahnya, membiarkan Anin berjalan lebih dulu. Sesekali Anin menoleh, menghafal jalan menuju kamar tadi. Hingga malam tiba, usai makan malam, Lukas belum juga muncul. Kemal mengatakan Lukas tengah menghadiri pertemuan bisnis. “Bukan urusanku. Mau pertemuan bisnis kek, ke laut juga kek. Nggak peduli!” gerutu Anin kesal, menutup pintu kamarnya dengan kasar. Kemal terperanjat mendengar suara pintu. “Kenapa dia?” tanya Ben, mendekat. “Katanya sih nggak peduli kalau bos ke laut,” jawab Kemal mengedikkan bahu. “Ngapain ke laut?” Ben terlihat bingung. “Mancing mungkin.” Kemal mengangkat bahu, lalu keduanya duduk kembali di taman depan kamar Anin. Jam menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat tiga puluh menit. Ben sedang memeriksa jadwal pergantian jaga melalui handy talky. “Harusnya kita pakai kode nama,” saran Kemal tiba-tiba. “Untuk apa?” tanya Ben heran. “Biar keren, kayak mafia-mafia, gitu,” ucap Kemal penuh antusias. Ben mendengus, lalu menyentil dahi Kemal. “Mimpi kau—” Ben sontak berdiri dan berbalik—mengeluarkan pistolnya, sementara Kemal bersiap dengan pisau. Dalam gelap, mereka melihat seseorang berpakaian serba hitam, lengkap dengan topi yang sedikit menutupi wajahnya—mencoba membobol pintu kamar Anin. “Siapa kau?” seru Kemal tegas—menodongkan pisau dari belakang. Orang itu mengangkat kedua tangannya, menyerah tanpa perlawanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD