Bab 4 : Panggilan Sayang

1297 Words
Tidak terjadi apa-apa pada Anin. Gadis itu kembali jatuh pingsan sebelum melakukan aksinya. Lagi-lagi karena tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuh mungilnya, ditambah lagi stress berkepanjangan. Dokter pribadi Lukas tidak berani berkomentar apa-apa, mengingat semua nasihatnya tidak Lukas terima untuk tidak terlalu mengekang Anin. Lukas masih betah duduk di kursi dekat sudut kamar menatap Anin yang lelap dalam tidurnya, hingga perlahan mata Anin terbuka. Lukas pun mendekat, duduk di pinggir kasur sisi Anin. Melihat Lukas, Anin membuang pandangannya, dia sudah terlalu lelah menghadapi Lukas. “Jangan pernah melakukan hal itu lagi, Honey,” lirih Lukas, sementara Anin hanya bungkam. “Aku tidak bisa kehilangan kamu, tidak. Aku mohon,” tambah Lukas memelas seraya meraih tangan Anin. Perasaan seperti apa ini, pikir Lukas. Rasanya ia tidak sanggup kehilangan Anin. Anin menoleh melihat tatapan Lukas yang sulit ia artinya. Keduanya saling menatap begitu lama dan lekat hingga sebelah tangan Lukas mengusap pipi Anin. Dengan cepat Anin tersadar dan menepis keras tangan Lukas. “Aku hanya perlu berada di sini selama enam bulan ‘kan?” tanya Anin sinis. “Kembalikan semua barang-barangku.” “Berjanjilah satu hal, kamu tidak akan mengulangi hal itu lagi,” mohon Lukas masih dengan tatapan sendu. Anin masih saja diam, menatap Lukas tajam. “Honey,” panggilnya. Anin menjawab dengan anggukan kecil. Begitu saja Lukas sudah bernapas lega. “Belum terlambat untuk makan malam, bersiaplah,” pinta Lukas. “Kembalikan barang-barangku,” tekan Anin. “Setelah makan malam, kamu akan mendapatkannya. Bersiaplah, aku menunggumu di luar,” ujar Lukas mengusap pipi Anin sebelum pergi. “Namaku Anin, bukan Honey,” protes Anin menghentikan langkah Lukas. Senyum terlukis indah di wajahnya, sementara Anin menutup cepat pintu kamarnya begitu Lukas keluar. Sementara di luar kamar Anin … “Ben, kamu yang paling dekat dengan Pak Lukas, sebaiknya kamu nasehati beliau,” ujar Kemal, salah seorang anak buah Lukas. Ben menjelingkan matanya jengah, dia tahu apa yang Kemal bicarakan. “Kalau dibilang dekat, lebih karib Evan. Mulutnya bahkan sudah berbusa, tapi tetap saja Pak Lukas tidak mau mendengarkannya,” balas Ben. Keduanya berdiri tidak jauh dari kamar Anin. “Wanita itu—” “Anin,” pangkas Ben cepat. “Iya, Anin. Menurutku dia sama sekali berbeda dengan mendiang. Sekilas memang mirip, tapi jika dipandang terus jelas berbeda,” terang Kemal. “Jangan terus memandang Anin, Kemal, atau kamu akan menyesal seumur hidup,” sambung Ben. Pandangan Kemal tertuju pada Lukas yang keluar dari kamar Anin—menyenggol lengan Ben agar menyudahi perbincangan mereka. Ada sesuatu yang berbeda pada Lukas beberapa hari ini—seolah beban berat yang biasa dia pikul sedikit terangkat. Selama ini, Lukas dikenal dengan jiwa sosialnya yang tinggi. Ia merangkul mereka yang pernah menyerah pada hidup—pemuda-pemudi yang kehilangan arah. Dalam perkumpulan yang ia bangun, ia menyadarkan bahwa semua orang berhak bahagia, mencintai, dan dicintai. Ia menciptakan keluarga dari orang-orang yang sempat merasa tidak pantas memiliki hal itu. Ben dan Kemal mengangguk hormat saat Lukas mendekat. “Evan mengirim obat tidur Bapak. Saya sudah menyimpannya di laci nakas kamar Bapak,” ujar Ben. “Terima kasih. Tolong kabari Chef untuk menyiapkan makan malam saya,” titah Lukas dan Evan menyahut paham—pamit kemudian. “Ada yang ingin kamu sampaikan, Kemal?” tanya Lukas seolah tahu keresahan Kemal. “Izin, Pak. Saya tidak kuasa lagi menahan ini. Soal … Nona Anin—” “Just support me, please,” pangkas Lukas, paham akan ke mana arah bicara Kemal. Kemal mengangguk pasrah, tidak melanjutkan kalimatnya. *** Anin memilih pakaian untuk ia kenakan malam ini. Dia juga sedikit memoles wajahnya. Akhirnya Anin memutuskan untuk mengikuti permainan Lukas sambil mencari cara untuk keluar dari penjara ini. Sejak kemarin Anin hanya mengurung diri di kamar. Dia merasa perlu keluar dan berbaur dengan semua yang ada di sini untuk membaca keadaan agar bisa kabur. Anin menatap pantulan dirinya di cermin. Suasana kamar ini terasa tenang dan damai. Namun kedamaian itu hanya ilusi—hatinya berkecamuk. Sudah empat hari berlalu sejak hidupnya berubah drastis—sejak takdir mempertemukannya dengan Lukas, seorang pria dengan obsesi gila yang sulit dimengerti. “Percuma tampan, tapi gamon, keparaat,” gumam Anin kesal sambil merapikan penampilannya. Lukas tampan, tidak bisa disangkal. Namun apa artinya wajah tampan dan rupawan kalau sikapnya seperti penjahat? Pikiran Anin terus mengembara, mencoba mengurai alasan di balik kegilaan Lukas. Dia yakin semua ini ada hubungannya dengan Lea, wanita dari masa lalu yang mungkin pernah begitu dicintai lelaki itu. Namun, semirip apa dirinya dengan Lea hingga Lukas begitu terobsesi? Ke mana perginya si Lea itu? "Dia hanya menginginkanku karena wajahku? Dasar lelaki gila," batinnya getir. Kepribadian Anin yang lembut, tapi ceria mulai terkikis oleh situasi ini. Dia menjadi lebih sinis, pemberontak, dan penuh umpatan. Sebentar Anin menangis, sebentar lagi meledak dalam kemarahan, seolah energi hidupnya terus terkuras. Anin bangkit dari kursi rias berjalan—berniat menyusul Lukas. Namun langkahnya terhenti menatap foto sang ibu. “Ibu ...,” gumamnya. Tidak ada lagi air mata, Anin teguh dengan keputusannya untuk mengikuti permainan Lukas. Lagi pula dia bukan tipe wanita yang mudah jatuh cinta. Tidak ada masa untuk jatuh cinta. Anin keluar dari kamar dengan langkah perlahan, seketika dua lelaki di hadapannya terpaku. Tatapan mereka tak lepas dari dirinya, membuat Anin jengah. "Kedip," katanya dengan nada sinis, yang langsung membuat Lukas mengejap terkejut dan menoleh ke arah Kemal. Kemal yang masih terpaku, akhirnya kembali sadar dan menatap Lukas seolah menyadari sesuatu, sikap lancangnya. Lukas tidak suka dengan cara Kemal memandang Anin—menyikut perut anak buahnya, membuat Kemal mengerang tertahan. "Siap salah, Pak," ujar Kemal sambil sedikit mundur—memutar tubuhnya, tak ingin memperburuk situasi. Anin menjelingkan matanya ketika Lukas mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. Ia menatap Anin dengan penuh perhatian—mengejar wajah Anin yang terus menghindarinya. "Cantik," gumamnya—tersenyum tipis saat menahan rahang Anin. Lukas menyodorkan lengannya, berharap Anin akan menggandengnya. Namun, wanita itu justru berjalan meninggalkannya, membuat Lukas menahan tawa. "Sombong sekali. Tidak tahu saja dia, di luar sana banyak wanita yang antre ingin dibelai," gumam Lukas sambil menyeringai. Sepanjang makan malam, Lukas terus menatap wajah Anin yang cemberut. Suasana romantis—cahaya lilin yang hangat, musik lembut yang mengalun—semua sudah disiapkan sempurna. Namun, wajah Anin tetap saja tampak masam, tapi Lukas betah memandanginya. Ada daya tarik tersendiri di balik kemuraman Anin bagi Lukas. Menu utama akhirnya disajikan setelah hidangan pembuka habis. Lukas, tanpa berkata apa-apa, mulai memotong daging di piringnya menjadi potongan kecil. Namun, alih-alih menyantapnya sendiri, dia mengambil piring Anin dengan gerakan tiba-tiba. Anin mengangkat alis, kebingungan dengan tindakan Lukas. Lukas menukar piring Anin dengan piringnya. “Makanlah,” ucap Lukas sambil tersenyum penuh percaya diri. “Aku tidak ingin melihatmu kesusahan memotong daging, Honey.” Anin mendengus pelan, lalu memutar bola matanya dengan malas. Lukas tidak sedikit pun terganggu. Dia malah membalas dengan senyuman hangat, seperti biasa menikmati cara Anin menolaknya. “Kamu menyukai hidangannya?” tanya Lukas dengan nada ramah, mencoba mencairkan suasana yang dingin. Sementara Anin hanya sibuk dengan makanannya, memilih untuk tidak menggubris pertanyaan Lukas, menciptakan keheningan. “Honey,” panggil Lukas lagi, suaranya sedikit lebih lembut. Lagi-lagi, Anin bungkam, bahkan tidak melirik ke arah lelaki yang sok asyik itu. Bibir Lukas melengkung nakal. Saat Anin hendak menyuapkan potongan daging ke mulutnya, Lukas mendekat, dengan sigap meraih tangannya. Gerakan cepat itu membuat Anin tersentak kaget. Lukas membawa tangan Anin yang sedang memegang garpu berisi potongan daging—mendekat dan memasukkannya ke mulutnya sendiri. Anin membelalakkan mata, kaget saat Lukas menunduk sedikit—wajahnya semakin mendekat ke arah Anin. Kening dan hidung mereka bahkan sudah menempel. Tatapannya tajam, tapi ada kilau main-main di sana. “Aku tidak suka diabaikan,” bisik Lukas dengan suara rendah. Membuat tubuh Anin membeku. Lukas sengaja menggesek pelan hidungnya pada hidung Anin, perlahan memiringkan wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD