Hari ini adalah hari pernikahan Iqbal dengan pacarnya bernama Vania. Pernikahan itu sudah direncakan enam bulan yang lalu. Beberapa waktu ke depan Iqbal dan pacarnya akan berubah status menjadi suami istri. Kebahagiaan sudah pasti dirasakan oleh keduanya.
Dewangga sebagai salah satu dosen dan juga teman dekat dari Iqbal diundang ke acara tersebut. Undangan khusus diberikan pada pria itu agar hadir di acara akad nikah hingga resepsi pernikahan.
Pertemanan antara Dewangga dan Iqbal telah terjalin sejak lama. Sejak Iqbal masih menjadi mahasiswa Dewangga hingga dia menjadi dosen di kampus yang sama. Hanya saja Dewangga mengajar mahasiswa S1 sedangkan Iqbal mengajar mahasiswa S2. Keduanya sudah saling merasa seperti saudara sendiri.
Hari itu Dewangga datang bersama Nirmala istrinya serta Safina anaknya. Safina terpaksa ikut ke acara pernikahan Iqbal karena dia ingin menghindari Dirga yang berencana datang ke rumah untuk menemuinya. Kebetulan Dewangga juga mengajaknya pergi sehingga dia punya alasan untuk menolak kedatangan Dirga ke rumah.
Satu jam sebelum akad nikah, belum terlihat keramaian dan keberadaan calon pengantin perempuan, membuat Dewangga menjadi penasaran dengan apa yang terjadi di sana.
Dewangga menemui Iqbal di ruang ganti. Di sana juga hanya ada Iqbal yang duduk bersama tim acara dan MUA.
"Gimana persiapannya? Lancar? Kok calon pengantin perempuan sama keluarganya belum keliatan? Apa ada masalah di perjalanan ke sini?"
Wajah Iqbal terlihat semakin sedih membuat Dewangga semakin merasa penasaran dengan apa yang terjadi.
"Ada apa?"
"Vania tiba-tiba tidak bisa dihubungi setelah mengirimkan pesan kalau dia enggak bisa datang dan membatalkan pernikahan ini. Padahal semua sudah siap dan acara ini enggak bisa dibatalkan begitu saja." Iqbal terlihat kesal.
Dewangga panik seketika. Dia pun ikut marah pada Vania karena membatalkan rencana pernikahan secara sepihak. "Loh, kan enggak bisa kayak gitu. Kok seenaknya aja membatalkan sepihak begitu. Kamu sudah coba hubungi dia?"
"Sudah, Pak. Awalnya enggak ada jawaban terus pas ditelepon lagi enggak ada nada sambung sama sekali. HP-nya sudah non aktif."
Dewangga mengembuskan napas kasar. Dia merasa kasihan dengan temannya itu. Baru saja akan menikah, tetapi sudah ditinggal begitu saja belum sampai ke pelaminan. Pria itu menepuk punggung Iqbal untuk menenangkannya.
"Coba kamu hubungi lagi sekarang!"
Tanpa pikir panjang, Iqbal langsung menghubungi Vania lagi. Dia pun menyalakan speaker agar Dewangga juga bisa ikut mendengar panggilan itu.
"Tuh kan nomornya enggak aktif, Pak." Wajah Iqbal terlihat lesu karena upayanya menghubungi Vania kembali gagal total.
Iqbal sendiri heran dengan Vania yang seakan menghilang tanpa jejak. Dia pun tidak mungkin pergi dari tempat itu menuju rumah Vania hanya untuk mencari keberadaan perempuan itu dan menanyakan penyebab dia membatalkan pernikahan mereka secara sepihak karena itu sama saja dia sudah membatalkan acara pernikahan hari itu.
"Duh, gawat nih. Masa acara pernikahan kamu harus batal sih! Vania kirim pesan apa sebelum membatalkan pernikahan kalian?"
Iqbal memberikan ponselnya pada Dewangga yang berisi pesan dari perempuan itu. Dewangga membaca pesan itu berkali-kali. Vania membatalkan pernikahan begitu saja tanpa alasan yang jelas dan meminta maaf. Setelah itu dia tidak bisa dihubungi dan membuat Iqbal kelimpungan.
"Terus apa rencana selanjutnya?" tanya Dewangga pada Iqbal.
"Saya sendiri bingung, Pak. Enggak ada ide sama sekali."
Dewangga pun ikut berpikir bersama Iqbal tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus mencari calon pengantin pengganti. Pernikahan ini harus terus berlanjut dan tidak bisa dibatalkan begitu saja!" Papanya Iqbal masuk ke ruangan ganti menemui anaknya. "Papa sudah minta tolong orang ke rumah orang tua Vania, tapi rumah itu sudah kosong. Bahkan pembantunya pun tidak ada di rumah."
"Tapi, nikah dengan siapa, Pa?" tanya Iqbal bingung karena tidak ada kenalan lain yang bisa diajak menikah secepat itu.
"Ya siapa aja yang ada di ruangan ini, Bal!" Pria bernama Indra Adiwilaga itu benar-benar marah pada Vania karena membatalkan rencana pernikahan secara sepihak. Sementara dia tidak mau menanggung malu karena acara pernikahan anaknya gagal begitu saja.
"Iya, tapi enggak segampang itu juga, Pa. Ini pernikahan, acara yang sakral. Enggak mungkin kan aku asal menikah dengan perempuan yang enggak jelas asal usulnya."
Indra berpikir keras lalu menoleh ke arah Dewangga. Dia lihat pria itu tadi datang bersama dengan istri dan anak perempuannya. Dia sudah mengenal sosok Dewangga seperti apa karena kedekatan anaknya dengan pria itu. Melihat sosok Dewangga yang berwibawa dan berkharisma Indra pikir pasti Dewangga memilki seorang putri yang baik dan cerdas. Sangat cocok jika dinikahkan dengan anaknya. Indra pun mendekati Dewangga.
"Pak Dewa bisa kan bantu saya? Gimana kalau kita nikahkan anak Bapak dengan anak saya Iqbal? Saya tahu Bapak dan anak saya berteman baik. Jadi, apa Bapak enggak keberatan dengan permintaan saya ini, tolong jangan biarkan keluarga kami merasa malu karena acara ini harus dibatalkan, mau ditaruh di mana muka saya, Pak?"
Indra Adiwilaga bukan orang sembarang, dia adalah pemilik salah satu mall yang ada di kota Bandung. Banyak yang mengenalnya. Hanya saja Iqbal memilih untuk menjadi dosen selain sebagai salah satu pewaris bisnis papanya.
"Maaf, Pak. Saya enggak bisa ngasih keputusan sebelum nanya ke anaknya dulu, misalnya nanti anak saya tidak mau, saya harap Bapak enggak kecewa."
"Iya, Pak. Dicoba dulu saja tanya ke anaknya. Saya harap Pak Dewa bisa membantu." Besar harapan Indra pada Dewangga agar bisa membujuk anaknya untuk menikah dengan Iqbal.
"Saya tanya anaknya dulu ya, Pak. Tadi dia ada di luar sama mamanya."
Dewangga keluar dari ruangan ganti untuk mencari Safina. Setelah bertemu dengannya, dia ajak anaknya menjauh ke tempat yang agak sepi untuk bicara empat mata.
"Fin, Papa yakin kamu paham dengan yang namanya berbakti pada orang tua kan, ya?" Dewangga mulai merangkai kata untuk memberitahu Safina.
"Iya, Pa. Kenapa? Memangnya ada apa sampai Papa bilang begitu?" Safina merasa bingung karena belum paham arah pembicaraan papanya.
"Gini, Fin, kalau Papa minta kamu menikah, kamu mau kan, Fin?"
"Mau, Pa. Fina akan menikah kalau sudah waktunya. Papa kenapa sih? Bikin aku bingung aja." Dahi Safina berkerut.
"Papa mau kamu menikah sekarang ya, Fin. Kamu mau, kan?"
"Nikah sekarang? Sama siapa, Pa? Aku kan baru mutusin Mas Dirga."
"Sama teman Papa."
Fina membayangkan teman papanya itu pria yang sudah berumur ya paling tidak seumur dewangga. Berusia sekitar 50 tahunan.
"Hah? Sama temen Papa? Aku enggak mau."
"Tolong banget ya, Fin. Dia dosen kamu juga kok. Kamu tahu kan pak Iqbal, Papa mau kamu nikah sama dia."
"Apa!? Menikah dengan dosen galak itu ...."