Bab 3. Nafkah Batin

1017 Words
"Gawat, pak Iqbal kan dosen galak yang aku tabrak beberapa hari yang lalu itu, kan? Enggak deh aku masih mau hidup. Enggak mau nikah sama orang kayak dia." Safina menggelengkan kepala. "Enggak, Pa. Pak Iqbal itu serem banget. Gimana pernikahan aku nanti kalau nikahnya sama pak Iqbal. Bisa mati berdiri nanti aku di rumahnya." "Pak Iqbal enggak segalak itu kok, Fin. Pasti kamu bikin kesalahan sampai dia marah ya? Papa tuh kenal baik sama dia. Dia itu enggak seperti yang kamu bayangkan. Tolong ya, Fin, calon istrinya membatalkan pernikahan secara sepihak. Kamu enggak kasian sama pak Iqbal dan keluarganya harus menanggung malu?" "Ya kenapa aku harus mikirin dia? Bukan siapa-siapanya kok." "Nah, tambah lagi dia baru patah hati. Duh, enggak deh, Pa. Aku masih mau beresin S2-ku dulu aja. Baru mikirin soal pernikahan. Aku masih mau menata hatiku dulu." Dewangga menatap Safina penuh harap agar anaknya mau membantu keluarga Indra. Jangan sampai acara hari itu gagal. "Cari orang lain aja yang mau ya, Pa." "Mau ya, Fin. Jangan sampai Papa coret nama kamu dari kartu keluarga kita." Dewangga terpaksa mengatakan ini pada Safina yang terdengar seperti ancaman. Menurut Dewangga, Iqbal adalah orang yang tepat buat Safina. Mereka Sama-sama mementingkan pendidikan dan akan jadi teman yang cocok untuk berdiskusi soal pendidikan. Masih satu server karena itu Dewangga sangat berharap pada Safina. "Papa kok jahat banget sih? Ya sudah aku mau nikah sama pak Iqbal asal nanti aku dapet nilai yang bagus, harus dapet A plus." Dewangga tersenyum lebar karena Safina sudah setuju. Dia bawa anaknya ke ruangan ganti menemui Indra dan Iqbal. "Anak saya sudah setuju, Pak Indra." Indra akhirnya bisa bernapas lega. "Terima kasih banyak ya, Pak Dewa dan putrinya, saya sangat menghargai ini. Ya sudah silahkan dimake up calon pengantin perempuannya." Safina dibawa untuk didandani. Iqbal pun mendekatinya. "Terima kasih sudah mau membantu saya, Safina. Kamu sudah berjasa besar untuk keluarga kami." "Sama-sama, Pak Iqbal." "Apa perlu saya melamar kamu dulu sebelum saya nikahi kamu beberapa saat lagi?" "Terserah Bapak aja." "Safina kamu mau kan menikah dengan saya?" Perempuan itu menganggukkan kepala. "Iya, Pak, saya mau." "Sekali lagi terima kasih." Safina lanjut dirias wajahnya oleh MUA, sementara itu Iqbal mencari Dewangga yang ternyata sudah keluar dari ruangan itu untuk menemui Nirmala dan menjelaskan semua pada istrinya. Iqbal menemukan Dewangga sedang duduk di kursi berdua dengan Nirmala. Dia pun menghampirinya. "Pak Dewa, saya butuh nama lengkap Safina." Dewangga memberitahu nama lengkap Safina dan namanya. Mereka pun bersiap untuk acara akad nikah. Iqbal berlatih dengan Dewangga di meja khusus untuk akad. Penghulu dan petugas KUA sudah siap di tempat. Saksi pun sudah siap. Sambil menunggu Safina selesai dirias, mereka melangsungkan akad nikah lebih dulu. Akad nikah pun berlangsung dengan khidmat. Memang pada acara itu hanya keluarga dan teman dekat saja yang diundang. Baru siangnya di acara resepsi pernikahan tamu undangan akan banyak yang hadir. Safina dipanggil untuk menemui Iqbal yang sudah menjadi suaminya. Kemudian acara berlanjut dengan pemberian mas kawin, sungkeman dan acara adat lainnya. Pada acara sungkeman ini baik Safina dan Iqbal sama-sama menangis. Menangis kehidupan percintaan mereka yang sama-sama tidak berjalan baik. Keduanya sama-sama merasakan patah hati. "Maafin Papa ya, Fin karena sudah memaksa kamu menikah, tapi Papa yakin kamu akan berbahagia menikah dengan Iqbal." "Mama harap kamu enggak pernah menyalahkan papa ya, Nak. Sebagai sesama manusia kita harus saling membantu, tapi Mama yakin pilihan papa enggak akan salah." Setelah semua acara adat selesai, mereka pun berganti pakaian. Keduanya masuk ruang ganti bersamaan sebagai suami istri. Pada jam 11 siang acara pun dilanjutkan dengan resepsi. Safina dan Iqbal harus memasang wajah ramah penuh senyuman untuk bersalaman dengan banyak tamu dan menerima ucapan selamat. Tidak ada obrolan santai di antara keduanya. Wajah mereka terlihat tegang selama acara resepsi dan berubah lega setelah acara resepsi pernikahan selesai. "Fin, ganti baju di sini, ya. Habis ini kita makan terus kamu harus ke hotel sama Pak Iqbal!" *** Safina sudah berada di kamar hotel bersama Iqbal. Kamar itu sudah dipesan sejak lama memang untuk bulan madu setelah menikah, tetapi bukan dinikmati Iqbal bersama istri yang seharusnya dia nikahi, tetapi sekarang dia bersama Safina. Semua terjadi begitu cepat bahkan sampai saat itu pun keduanya masih tidak menyangka mereka akan menikah. Iqbal sedang mandi saat Safina masih duduk di sofa dalam keadaan bingung. Dia terus memikirkan apa yang akan dia lakukan nanti malam di kamar yang sudah disiapkan untuk pasangan yang baru menikah. Di mana dia akan tidur malam ini. Dia tidak mau tidur satu ranjang dengan Iqbal walaupun mereka sudah menikah. Tidak mungkin juga dia menyuruh Iqbal tidur di sofa dan dia tidur di ranjang. Akhirnya dia putuskan untuk tidur di sofa nanti malam dan akan mengatakan pada Iqbal saat pria itu keluar dari kamar mandi. Tepat ketika suara kunci pintu kamar mandi terdengar Safina bangkit dari dari sofa. "Pak, malam ini saya tidur di sofa, ya. Biar Bapak yang tidur di ranjang." Iqbal terlihat bingung mendengar ucapan Safina. Pria yang sudah memakai pakaian lengkap setelah mandi itu mengajak Safina duduk di sofa dan ada jarak di antara mereka. "Tidak, Safina. Kamu tidur di ranjang, biar saya yang tidur di sofa." Dia tidak akan membiarkan anak dari temannya tidur di sofa sementara dia tidur dengan nyaman di ranjang. Iqbal harus memperlakukan Safina dengan baik setelah dia menikahinya. "Tapi, Pak, kan enggak mungkin Bapak yang tidur di sofa. Kamar ini sudah Bapak sewa. Saya cuma numpang." Safina tertunduk. Dia merasa di sana bukanlah tempat untuknya karena dia hanya seorang pengganti. Bukan orang yang seharusnya bersama dengan Iqbal. Namun, karena perempuan yang seharusnya ada di sana membatalkan rencana pernikahan secara sepihak mala Safina lah yang ada di sana sekarang. "Kamu saja yang tidur di ranjang. Apa yang nanti akan saya katakan pada Papamu kalau saya memperlakukan kamu dengan tidak baik. Papa kamu pasti marah sama saya jika sikap saya sama kamu tidak baik. Bagaimana pun kamu sekarang sudah jadi tanggung jawab saya. Ke depannya saya yang akan tanggung semua biaya kuliah S2 kamu sampai selesai, ngasih uang bulanan untuk kamu, tapi--" "Tapi apa, Pak?" tanya Safina penasaran karena ucapan Iqbal terjeda. "Tapi maaf saya belum bisa ngasih nafkah batin buat kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD