16 | Lemas

1520 Words
11, 22, 33. Benar, itu password-nya. Pertama-tama Rea datangi bilik ATM dulu, cek saldo. Melihat total uang di sana spontan mulut Rea ternganga dramatis. Oke, sip. Tarik beberapa biar ada uang cash tanpa merogoh pundi-pundi dunia milik sendiri. Karena sudah telanjur begini, biarlah Rea nikmati. Daripada terus dia ratapi, tidak akan ada manfaatnya selain baper karena berasa jadi simpanan om-om gadunn. Hal pertama yang Rea lakukan setelah itu adalah meluncur ke bandara. Hanya berdiri di area publik karena tanpa boarding pass, yang penting dapat dokumentasi dan Rea kirim ke ibu. Done. Entah nanti Rea akan mendapat kualat jenis apa karena sudah sebegininya ngibul sama orang tua. Ya Allah, maaf, Ya Allah. Ibu: [Lagi, lagi! Foto pesawatnya belum, Re. Kalau bisa pas kamu lagi duduk, fotoin dalemannya pesawat gitu, lho. Atau jendelanya biar kayak orang-orang.] Orang-orang siapa, sih? Duh. Rea: [Nggak usahlah, Bu. Lagian ini bukan penerbangan pertama anak Ibu. Ibu juga pernah, kan, dulu waktu masih jadi istri bapak-bapak aristokrat negara lain?] Rea: [Target status Ibu pun pasti udah nggak wah lagi soal kita yang main-main ke luar negeri.] Ibu: [Beda, Re. Ini kasusnya kamu pergi bulan madu.] Ibu: [Si Jojo, kan, pas hanimun di Bali dan itu aja sampe gak abis-abis status WA mamanya tentang bulan madu Jonathan.] Ibu: [Yang cuma di Bali aja gembar-gembornya santer semingguan, Re. Apalagi Ibu. Anak Ibu hanimun-nya ke luar negeri, lho, masa Ibu diem-diem aja? Pamer, dong!] Astagfirullah. Bagaimana bisa ada seorang ibu macam itu? Bikin Rea yang jadi anak elus-elus d**a sambil istigfar terus. Ibu: [Udah, ah, buru. Kirim foto yang Ibu minta tadi.] Langsung Rea nonaktifkan saja data selulernya biar ceklis satu. Sabar ... sabar. Punya ibu kayak Nyonya Santi ini benar-benar menguras energi baik, tahu? Sekarang Rea jadi bad mood. Ah, sudahlah. Meluncur dulu ke tempat SPA. Rea mau menikmati kekayaan suami sirinya dengan memanjakan jiwa raga. Wait, wait. Nanti kalau Jayakarsa menghubungi dan Rea tidak aktif plus tak ada di tempat, bagaimana? Dikira kabur pula. Haruskah Rea blokir kontak ibu buat sementara demi kesejahteraan mentalnya di beberapa waktu ke depan? Maaf, ya, Bu .... *** Sementara, di lain tempat. Jaya turun dari kuda besi seputih s**u yang dikendarainya. Pantofel lantas menginjak batu alam area pekarangan, sambil dia lepas cincin di jari, lalu dikantongi. Setapak demi setapak langkahnya membawa Jaya memasuki sebuah rumah utama Atmaja. Ini rumah warisan kakek moyang, yakni Kakek Atma—si founder utama Atmaja Group. Di mana Jayakarsa adalah generasi atau turunan keenam. Pun, hari ini akan menyambut sosok turunan ketujuh dari Kakek Moyang Atmaja. Rumah yang dilestarikan dari generasi ke generasi hingga kini sepertinya lebih cocok bila disebut mansion. Dengan asisten rumah tangga yang sigap menyambut sang tuan. Jaya lepaskan jas, lalu diserahkan kepada sosok itu. "Julian sudah sampai?" "Sudah, Pak. Ada di ruang baca sama Mbak Yena." Jaya manggut-manggut. Dia longgarkan dasi, melepas kancing teratas sambil jalan ke ruangan yang dimaksud. Di lantai dua. Karena malas naik tangga, Jaya masuk lift. Tiba di depan pintu ruang baca, lekas Jaya buka dan ... yeah, putra tunggalnya sudah ada di hadapan mata. Yena undur diri. "Baru sampai atau ...?" "Sejam lalulah, kurang lebih. Papi dari dulu nggak pernah gak sibuk, ya?" Itu jawaban sekaligus sindiran dari Julian. Sosok anak yang tumbuh dalam ketidakharmonisan orang tua karena Jaya lebih mencintai berkas pekerjaan daripada mama Julian. Kedua pria beda generasi itu sama-sama menghempas tubuh ke sofa. Tidak lama, pintu ruang baca diketuk dan masuk ART yang meletakkan minuman beserta penekuk di meja untuk tuannya. Lepas itu kembali undur diri. Jaya perhatikan sang anak mulai dari kepala sampai kaki, lalu manggut-manggut. Fisik sangat oke, soal otak dan cara berpikir Julian pun tak perlu diragukan karena Jaya sering memantau tiap perkembangan. "Hasil didikan kejam dari Pak Jaya," cetus Julian, ada sindiran sinis yang dilontar. Jaya terkekeh. "Nanti juga kamu berterima kasih karena Papi membentukmu jadi sebegini bagus. Oh, ya, mau langsung ke perusahaan sekarang?" See! "Masih aja ternyata. Kerja, kerja, kerja. Wajar kalo dulu mami gak betah." Fyi, bila Rea punya ibu yang julid, maka Jaya punya anak yang tampaknya 11-12 dengan Nyonya Santi dari Banyuliang. Jaya meraih cangkir tehnya. Dia sesap. Itu teh herbal alami yang bahkan diracik langsung oleh para peracik teh profesional. Jaya suka teh, meski suka kopi juga, tetapi sekarang sedang cuti ngopi. "Kamu masih bahas soal mami di umur segini, padahal perpisahan kami sudah lewat empat belas tahun lalu." Jaya tidak lupa bahwa perceraiannya terjadi di usia Julian 13 tahun, sedangkan sekarang putranya itu menapaki umur 27. Jaya sendiri tidak lama lagi akan meninggalkan angka 47-nya, menuju 48. Eh, dua tahun mendatang tak terasa sudah mau setengah abad. Tenang, sejak mengadakan pertemuan dengan Rea, rambut memutihnya sudah jaya warnai, kok. "Papi sendiri masih sama juga. Kalau nggak kerja, ya, perusahaan. Pantes Ian pulang, Papi masih jomlo kata Mbak Yena. Ini yakin mau jadi orang tua tunggal selamanya buat Ian, Pi?" Diletakkannya cangkir ke tatakan dengan sangat elegan. Jaya tatap Julian. "Bahasan ini kurang cocok bagi kita yang baru ketemu lagi setelah kamu menyelesaikan masa pendidikan. Oh, ya, kalau kamu nggak mau sekarang, oke. Besok, ya? Tapi sebelum itu, kamu nggak boleh berkeliaran dulu sebelum didebutkan." "Lha, kenapa gitu?" "Patuhi aja. Oh, ya, nanti Papi minta Yena siapkan semua berkas yang perlu kamu pelajari soal Luxe dan kasih tahu dia apa aja yang kamu butuh, nanti Yena siapkan." "Nggak, jangan cewek. Langsung aja kasih aspri buat Ian khusus dan wajib laki-laki." "Oke, ada Pak Gunadi." Di pertemuan ayah dan anak itu tak ada pelukan sambutan, tak ada obrolan hangat atau kangen-kangenan, tanya kabar pun tidak ada. Jangan heran karena ini Jayakarsa dan Julian. Toh, Jaya sering bolak-balik ke tempat Julian saat masih digembleng untuk jadi sosok pewaris generasi ketujuh yang layak. "Ada lagi, nggak?" Sambil Jaya tatap ponselnya, ada notif penarikan. "Papi buru-buru kayaknya, ya?" tukas Julian. "Iya, tapi untuk sekarang kamu prioritas." Kembali Jaya kantongi ponsel itu. "Karena menyangkut Luxe," balas sang anak. Betul. Memangnya Jaya pernah memprioritaskan hal lain jika tidak ada kaitan dengan pekerjaan, dengan perusahaan? Pernah? Sama sekali tidak. Sampai rumah tangganya tidak bisa dipertahankan karena Jaya tak pernah menempatkan pasangan sekali pun di atas kepentingan pekerjaan. Mantan istrinya bilang, Jaya lebih senang bercinta dengan berkas kantor daripada dengan manusia. Sebetulnya, itu karena Jaya sangat sibuk. Ada istilah 'dongkrak emas' di Atmaja Group dan Jaya ingin menjadi sosok dongkrak emas itu. Ingin membawa perusahaan jadi semakin naik level di masa kepemimpinannya. Malah ... ingin Jaya raih ranking satu dunia untuk perusahaan furniture. Ah, tentangnya dan perusahaan tak akan cukup bila dijabarkan hanya dalam satu epissode. Tapi kalau bicara tentang perempuan, sekalimat juga beres; Jaya tidak pernah jatuh cinta. Dia menikah muda dan atas dasar perjodohan. Bercerai di usia muda juga karena kesulitan memenuhi keinginan romansa dari istrinya. Mau bagaimana lagi, kan? "Papi mau ke mana? Nggak makan malam di rumah?" Ah, ya. Sepertinya harus. *** Ya ampun, ternyata betulan lama. Sampai malam tiba Rea masih sendiri, nih. Dia makan masakan ibu sambil nonton film lawak. Pijit enak sampai ke wajah-wajah, sudah. Keramas di salon, sudah. Pedi-manicure juga sudah. Tak lupa ngeborong heels, pakaian, dan tas. Rea juga transfer ke rekening pribadi. Kan, lumayan. Eh, bentar. Ponsel Rea getar. Ada pesan dari perusahaan tempatnya bekerja. Pak Yudi: [Re, besok tetep masuk, ya. Hari ini biar dianggap cuti saja. Sampai nanti saya nemu ganti sekretaris yang cocok. Sudah diberi tahu sama Gani, kan, soal ini?] Rea emut jemari yang ada bumbu masakan ibu. Waduh. Rea scroll ke bawah, rupanya ada pesan dari Gani—HRD di tempat Rea mencari nafkah. Surat pengunduran diri Rea selain ditolak juga Rea kena omel karena etika mengundurkan diri pun mestinya sebelum dapat acc Rea harus tetap masuk. Tapi saking disukainya Rea oleh atasan, tampaknya Rea selamat. Sebenarnya, Rea tadinya mengajukan izin tidak masuk lagi, tetapi tidak dikabulkan. Daripada Rea absen, jadi dia langsung kirim surat resign. Dan besoknya—alias hari ini—Rea tak masuk kerja. Soalnya, kan, memang ada acara nikahan. Sayangnya, rahasia. Selain dari warga Banyuliang. Rea jadi tidak enak. Rea: [Baik, Pak.] Tak lupa Rea tuliskan kata-kata maaf dengan penuh hormat. Beres itu, Rea cuci tangan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Nomor ibu masih Rea blokir, termasuk kontak adiknya. Sekarang Rea buka, tetapi dia langsung menyetel mode pesawat. Kalaupun Jayakarsa menghubungi, toh Rea sudah di kamar. Dia mau tid—nit-nit. Begitu bunyinya. Bunyi yang membuat detak di jantung Rea menggelora. Bunyi yang membuat narasi dalam benak Rea berhenti. Dan bunyi yang terdengar sangat horor di telinga. Disempurnakan dengan suara pintu dibuka. Aaargh! Sosok yang Rea tebak-tebak dalam hati pun muncul. Pria jangkung bin bongsor itu. Dengan tatapannya yang langsung terasa menelanjangi di detik pertama mata saling berjumpa lagi. Rea menelan saliva. Oh, tidak! Makin dekat. Rea membeku, kaku. Sementara, Jayakarsa makin melangkah maju. "Nunggu lama?" Lagi, Rea menelan saliva, terlebih saat kini tubuh sudah saling berhadapan. Dengan jemari Jayakarsa yang terjulur menyentuh sisi wajah putri Nyonya Santi. God! Tatapannya sangat sensual, apalagi saat jatuh di bibir Rea. AAAAA, IBUUUU! Batin Rea jerat-jerit. "Saya ke kamar mandi dulu," katanya. Rendah dan berat. Melintasi Rea yang ternyata sejak tadi refleks tahan napas. Alamak. Rea lemas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD