Untuk kali ini, Rea berharap ibu atau siapa pun menahan langkahnya. Namun, yang terjadi justru ....
"Ibu titip Rea, ya, Nak Jaya!"
Ya Allah.
Habis sudah kamu, Re.
Pintu mobil dibukakan oleh lelaki jangkung itu. Bukan mobil yang sudah dijadikan mahar, tetapi mobil lain dari rombongan tadi. Makanya ini warna putih.
Mercedes Benz S-Class ala pejabat atau pimpinan bisnis yang biasa dikendarai Jayakarsa, kan, sudah diserah terima kunci ke Nyonya Santi.
Nah, lambaian tangan ibu mengiringi langkah Rea memasuki mobil.
Bu, tahan Rea, dong. Tahan.
Sayang, batin Rea tidak nyetrum kepada ibunya. Malah ibu kelihatan mengizinkan secara penuh sang putri dibawa oleh Jayakarsa. Yeah ... karena lelaki itu sudah jadi suami Rea.
Masalahnya, sejak celetukan di kamar yang Jaya gaungkan, Rea jadi berat untuk meninggalkan Banyuliang.
Argh!
Takut banget 'diulek' bebas durasi. Karena sejak awal tujuan utama Jaya menikah adalah untuk mentransfer bukti gairah yang selama ini dipendam.
Giliran mau kejadian, takut. Hari-hari sebelumnya kenapa Rea nekat mau, sih?
"Hati-hati, ya! Kabarin Ibu kalau udah sampe di luar negeri! Oh, ya, nanti sempetin mampir ke Rumania, Nak Jaya! Bikinin Ibu cucu made in sana, oke?"
Di teras tetangga sebelah praktis bisa mendengar seruan ibu Rea terkait 'luar negeri' dan 'Rumania'.
Jaya mengacungkan jempol sebelum memasuki mobil, lalu menekan klakson tanda pamit.
Well, Rea tidak membawa banyak barang, apalagi baju. Karena itu ada di apartemen studionya di Jakarta, tadi berkemas make up saja yang sempat Rea keluarkan. Ya ... ada, sih, pakaian satu setel. Barangkali butuh buat di hotel. Eh?
Ehm.
Habis itu ibu yang berkemas beragam lauk sampai nasinya, disuruh dibawa. Padahal nggak perlu banget, lho. Ada banyak resto dan bisa juga menggunakan layanan hotel kalau lapar. Atau mungkin di rumah Jayakarsa pun sudah ada banyak makanan.
Mobil telah melaju sekarang.
Rea, kok, kangen ibu, ya?
Aneh, sih. Seumur-umur kerja jauh dari ibu juga tidak begini.
Rea menatap-natap spion, kadang menoleh melihat dari jendela belakang. Rumah hijau sage-nya sudah tidak terlihat. Kawasan Banyuliang juga mulai jauh ditinggalkan, kebun jati sudah lewat.
"Kenapa?"
Vokal rendah dan berat itu kembali menyapa gendang telinga Rea. Sontak Rea menatap si sumber suara.
"Ngerasa ada yang beda."
"Coba dijelaskan," tutur Jayakarsa.
"Ya ... gini, lho. Aku, kan, udah biasa ninggalin ibu dan desa, bahkan merantau gak pulang tiga tahunan lebih pun biasa aja. Tapi sekarang, tuh, kayak beda aja rasanya."
Jayakarsa melirik spion. "Oh."
"Oh doang, Mas?"
Kini Rea yang dilirik. Sejenak saling menatap sebelum Jaya mengembalikan fokusnya ke jalanan.
"Iya. Atau kamu pengin ditanggapi hal lain?"
"Nggak, sih." Ya sudahlah. Rea menatap ke luar jendela sisi.
Terdengar nada sambung telepon setelah itu, tampaknya Jayakarsa sedang menghubungi seseorang.
Tenang, Rea tidak berharap pernikahan ini akan dijalani penuh cinta, kok. Terlebih saat di berkas sudah sangat jelas riwayat pria di sisinya itu aromantis. Sudah pasti anti romantis, kan? Dan sudah pasti jauh dari yang namanya cinta-cintaan.
Ada untungnya juga Rea dikecewakan soal cinta oleh Jonathan, dia jadi kebal.
Oh, ya, Jonathan.
Ada nomor baru yang datang mengirimi pesan ke Rea, yakin itu kontak suami Anggi. Isinya begini:
[Re, apa kabar? Btw, pangling banget liat kamu tadi.]
"Yen, coba tengokin di rumah, anak saya udah pulang belum."
Yena?
Rea melirik mas suami.
Bentar, sebenarnya hubungan pertemanan macam apa, ya, antara Yena dan Jayakarsa? Kayaknya akrab banget. Oh, mungkin seperti Rea dengan Jonathan di masa lalu. Kan, sedekat itu juga.
"Nanti tolong kamu pastikan juga anak saya jangan sampai kelayapan dulu. Tunggu papi pulang gitu, ya."
'Yena temenan udah kayak jadi babu, ih,' tukas batin Rea yang suci. Padahal secara jabatan kerja, kan, tinggi Yena di Luxe.
Oh, ya, sebentar.
Pikiran Rea mulai bercabang-cabang.
"Iya, kamu tungguin di sana sampe saya pulang."
Wow.
Benarkah isi kepala Rea tentang 'Atmaja' ini? Pertama, setahu Rea soal perusahaan incarannya, yakni Luxe Corporation itu ada di bawah naungan Atmaja Group.
Garis bawahi 'Atmaja.'
Pertama kali Rea tahu nama lelaki di sisinya adalah Jayakarsa Atmaja, pikiran Rea sempat terjun ke sana. Adakah hubungannya dengan Luxe?
Ah, tetapi saat Rea searching di internet, bahkan sampai Rea tulis 'Jayakarsa Atmaja' di Google, yang keluar tidak ada satu pun keterkaitan Jaya dengan Atmaja Group.
Rea cari-cari info soal Luxe juga hanya tertera founder utama yang mendirikan, yakni Bapak Atmaja. Maka dari itu dinamai Atmaja Group. Selebihnya tentang berita pencapaian Luxe, lalu produk-produk apa saja yang Luxe punya. Ah, pokoknya tidak Rea gali lebih dalam.
Yang dia cari, kan, tentang Jayakarsa.
Munculnya akun media sosial di mana dalam bio tertulis 'Sastra Edu'.
Jadi, mungkin memang namanya saja yang sama. Kan, yang bernama Atmaja tidak mungkin cuma dipakai satu kelompok keluarga.
Meski ketika disebut nama ayah Jaya yang adalah Zero Wirasana Atmaja—ada Atmajanya lagi—Rea auto kepikiran lagi. Lebih-lebih Jaya tampaknya bukan sembarang orang kaya.
Mobil pribadi saja harganya miliaran rupiah, dengan lapang dijadikan mahar nikah siri pula. Orang kaya level minimalis mana yang begitu? Ini sudah pasti kaya level premium.
Tapi semua itu masih membentuk spekulasi dan belum Rea cari-cari info lagi.
Sekarang yang jadi buah pikiran Rea adalah ... "Mas, kenapa nggak sama Yena aja nikahnya?"
Selepas panggilan nirkabel itu ditutup.
"Yang di telepon tadi itu Yena, kan? Maaf, nih, bukannya aku nguping, tapi kedengeran. Walau cuma omongan Masnya aja, sih, yang kudenger. Tapi kurasa kalian akrab banget."
Jaya menoleh. "Yena sudah punya suami."
Eh, iya juga.
Kan, Yena seumuran sama Rea. Tiga puluh tiga. Kayaknya Rea doang yang umur segini masih single.
Sontak Rea membulatkan bibir membentuk huruf o mungil.
"Betewe ...." Rea mau tanya yang lain. "Aku tiba-tiba kepikiran, sebenernya udah dari lama pengin kutanyain. Boleh, ya, aku nanya-nanya?"
"Ya, boleh. Dari awal kita bertemu juga saya persilakan. Apa pernah saya larang kamu buat nanya?"
Tidak pernah.
Memang Reanya yang lebih menahan diri walau sudah kepo berat. Ya, karena menurutnya, toh, tidak penting-penting amat.
Oke, sekarang Rea tanyakan, "Mas Jaya ini siapanya Atmaja Group, deh?"
Ada bibir yang Jaya kulum. Bukan bibir Rea, Jaya mengulum bibirnya sendiri.
Kira-kira gerakan itu ada maknanyakah? Mata Rea memicing.
"Bukan siapa-siapa. Kamu kedistrak karena nama saya belakangnya mirip Atmaja-Atmaja Group itu, ya?" Sambil nengok.
"Iya, tapi bukan cuma itu."
"Apa lagi?" Santai Jaya menyahuti, fokusnya juga balik ke jalanan.
"Maaf, nih, ya. Kekayaan Mas. Beneran masuk akal kalo Mas ini salah satu bagian Atmaja Group."
Sekarang masnya malah tertawa.
Rea sedang serius, lho.
"Soal kekayaan, yang kaya itu bukan Atmaja Group saja, kan? Dan lagi, semua yang kamu lihat mahal di saya itu ... endorse-an. Kecuali mobil, saya beli hasil nabung. Ngeduda lama, uang saya utuh, Re."
"Tapi apa bisa sampe miliaran?"
"Gaji saya nggak sedikit di Sastra Edu, walau nggak sebanyak orang-orang Atmaja Group."
Gitu, ya?
Ah, sudahlah.
"Kenapa? Kamu berharap banget saya bagian dari para konglomerat itu?"
"Aku bukannya berharap, Mas. Cuma penasaran aja. Soalnya sosok Mas Jaya ini terlalu abu-abu."
"Yang penting saya sehat, nggak ada riwayat HIV atau AIDS, Re. Dan nggak bikin kamu kontraksi karena hamil. Ini saja cukup, kan?"
Oh ... iya.
"Tapi nggak masalah kamu nanya-nanya. Apa ada lagi yang mau ditanyain?" imbuh Jayakarsa.
Rea berdeham. "Kita bakal tinggal serumah atau kayak biasa? Aku di apartemenku, Mas di rumah Mas."
"Serumah saja. Repot kalau saya tiba-tiba 'pengin' dan kita nggak tinggal bareng."
Astagfirullah.
Memang benar fungsi Rea cuma melayani di kasur.
Oke. Rea tidak tersinggung. Sejak awal arah hubungan ini jelas; di luar nalar.
"Eh, bentar. Aku lupa nanya dan mastiin satu hal paling penting, Mas."
"Apa?"
"Jawab jujur, ya?"
"Sure. Katakan saja."
"Selain nggak ada riwayat HIV dan AIDS, Mas juga gak punya riwayat B-D-S-M, kan?"
Sontak Jaya menoleh. Agak lama menatap Rea, lalu balik ke depan. Sedang mengemudi, ingat!
"Kamu tahu B-D-S-M?" Vokal Jaya rendah dan berat. Sepertinya memang bawaan lahir.
Rea memainkan jarinya di atas pangkuan tas selempang. "Tahulah." Menatap Jaya lebih intens lagi ketika menanyakan, "Mas nggak gitu, kan? Dan bukan tipe sadis atau masokis, kan?"
Malah tertawa.
Apa lucu lagi?
"Mas? Jangan bikin aku nyesel udah sampe ke titik ini, lho." Mumpung belum di-unboxing, nih. Kok, baru sekarang Rea kepikiran ke sana? Padahal itu penting maksimal.
"Nggak, kok. Santai. Saya cuma aromantis."
"Nah!" Rea overthinking dan baru sekarang. "Aromantis, kan, anti romantis. Berarti pas bercinta ...."
"Apa? Kejam?" tanggap Jaya.
Rea tidak bilang begitu, tetapi benar itu yang Rea maksud.
Jaya geleng-geleng. Ada kekehan tak habis pikir. "Kamu cerdas, sih. Tapi harusnya ini ditanyakan di awal, ya?"
"Ja-jadi?" Rea deg-degan.
"Aman. Sewajarnya orang kalau nge-seks saja," timpal Jaya, tanpa sensor sedikit pun.
Rea merinding atas kefrontalan itu. Mentang-mentang sudah dewasa.
Well, ternyata sudah sampai. Tapi ini bukan rumah atau apartemen.
"Hotel?" Rea pegangi sabuk pengaman, sedangkan Jayakarsa sudah mulai membuka seatbelt-nya.
"Iya. Kita di sini dulu," jawabnya. "Yuk!"
Karena tidak benar-benar mau dinas ke luar negeri juga, kan?
Oke.
Rea menelan saliva.
Ini berapa lama lagi ke-ting-ting-annya akan bertahan?
Jaya menurunkan rantang dan besek lain dari bagasi, itu barang bawa dari ibu yang isinya lauk-pauk.
Sampai di meja resepsionis, Jaya benar-benar check in.
Hanya untuk satu malam.
Memasuki lift, auranya mulai beda. Makin dekat ke kamar yang dituju, makin deg-degan jantung Rea. Sampai akhirnya masuk, Rea meremas tali tas selempang.
"Kamu di sini dulu, ya? Tunggu saya, oke?" kata masnya. Meletakkan rantang dan tetekk-bengek di meja.
Rea mengerjap. "Mas mau ke mana?"
Bukannya Rea sudah tidak sabar mau di-indehoy, tetapi wajarlah nanya-nanya.
"Ada kerjaan mendesak," jawab Jaya.
Bukannya mau nyamperin anak?
"Tunggu, ya?" katanya.
Bodoh amat, sih. Malah bagus. Hush-hush, pergi!
"Lama, kan, berarti?" Rea basa-basi.
"Saya usahakan cepat."
Ow, shitt!
Nggak usah. Gak pa-pa lama aja, plis!
Suara batin Rea menimpali yang berlawanan.
"Oke, deh." Tapi semoga lama, ya. Semoga si anak menahan-nahan papinya biar tidak pergi. Atau jika benar urusan pekerjaan, semoga ada yang harus dirapatkan mendadak hingga lembur dan pulang besoknya.
Aamiin.
Jayakarsa pun melenggang. Tanpa hal-hal manis yang biasa seorang pengantin baru lakukan.
Ya, iyalah!
Sudah dikata, sejak awal kisah rumah tangga Rea akan berbeda.
"Oh, ya."
Eh, balik lagi masnya?
Yang Rea tatap, ada sebuah kartu berduit—walau bukan blackcard—disodorkan Jayakarsa kepada Rea.
Katanya, "Pakai ini buat bersenang-senang dulu barangkali bosan nunggu. Password-nya satu-satu, dua-dua, tiga-tiga. Yang penting begitu saya kabari lagi di jalan pulang, kamu udah stay di ranjang."
Anj—FUCKKK!
Pengin Rea timpuk rasanya.
Makanya Rea berdecak. But, okelah. "Bisa aku bawa kabur dan gak balik lagi. Lumayan udah dapat dua miliar dan ini."
Isi rekening ATM yang Rea pegang pasti banyak, kan?
"Ya, silakan kalau berani." Jayakarsa menimpali dengan senyum.
Dari senyum itu seolah ... 'we will see' bila Rea sampai kabur setelah ini. Dan seolah akan ada bahaya besar bila sampai Rea berani.
Rea menghela napas. By the way ... "Aku jadi kayak pelacurr, deh."
Kesal.
"Pelacurr nggak seelite kamu. Sudah, ah. Saya buru-buru."
Dih!
Dari tadi masih di sini, sampai akhirnya melenggang pergi.
Rea mendengkus, mengibas rambut, lalu duduk di sofa empuk, tak lupa mengeluarkan ponsel.
Room chat Nyonya Santi jadi urutan teratas. Rea buka dan baca.
[Re, jangan lupa dokumentasi pas lagi di bandaranya, ya! Fotoin pesawatnya juga. Mau Ibu bikin status.]
Ya Allah.
***