12 | Nikah Siri

1323 Words
"Lho?" Raut Ibu Rea menunjukkan sekali gurat bingungnya. "Itu—wali, saksi, dan ustaz ... maksudnya gimana, Nak Jaya? Anu ... ijab kabul? Bukannya tahapan nikah itu nentuin tanggal dulu, ya, terus daftar ke KUA?" Jayakarsa melirik Rea. Di tempatnya, Rea memberi kode mata dengan kedipan lamban bahwa ini bermakna: Maaf, aku belum bilang. So, di depan rombongan keluarga palsu itu Jaya berseloroh, "Benar, Bu. Tahapan normalnya seperti itu, tapi sebelumnya saya udah bilang sama Rea dan dia bersedia. Hari ini sekalian bawa keluarga, saya mau nikah siri dulu." Dengan sangat lugas Jaya mengucapkannya. "Nikah siri?!" Dan dengan sangat nyaring ibu Rea menuturkan itu. Kebayang lengkingan suara Nyonya Santi? Dari matanya saja sudah mendelik-delik runcing. Rea meringis samar. Jayakarsa tetap santai. Dia mengangguk-angguk membenarkan terkait lengkingan calon mertua. "Iya, Bu. Nikah siri dulu soalnya—" "Nggak bisa! Gak boleh! Enak aja!" Langsung dipangkas penjelasan Jayakarsa. "Kamu juga, Re!" Ibu menyemprot anaknya. "Jangan asal mau! Gak pa-pa sabar dulu aja sampe dapet yang bener-bener 'ngajak bener'!" Kan, ibu yang tidak sabar. Ingin Rea bilang begini. "Pak, Bu. Ini, lho! Ini gimana anak kalian, kok, dibiarin mau nikah siri? Emangnya nggak mampu nikah resmi?" omel Nyonya Santi kepada calon besan. Tak tahu saja bila sosok-sosok yang menjelma sebagai orang tua Jaya itu abal-abal, mereka sampai berkeringat dingin. Skenarionya tidak begini, kenapa jadi demikian? Begitu isi kepala mereka. "Atau jangan-jangan sebenernya ada udang di balik batu? Aslinya Nak Jaya punya istri, kan? Ngaku!" tuding ibu. Rea menyentuh lengan beliau. Suara ibu sudah mulai menyaingi speaker masjid, bisa-bisa geger warga sedesa. Di sisi lain, Jayakarsa bisa saja memilih melepas Realine daripada ribet. Tak perlu bila ternyata semerepotkan ini. Namun, waktunya mendesak dan Jaya malas menunggu hingga melewati tahap penyaringan lagi. Jadi, fine .... "Ini saya bawa akta cerainya kalau Ibu susah percaya. Dan untuk apa juga saya ingin menikahi Realine kalau sudah ada istri?" Jayakarsa menyerahkan map berisi akta cerainya dengan mama Julian. Untung saja dibawa. Tatapan ibu Rea masih runcing dan berupa delikan, tetapi beliau tidak menolak akta tersebut. Rea pun ikut mengintip kutipan dalam akta itu. Jayakarsa Atmaja, umur ... wow! Masih sangat muda ketika bercerai. Rea melirik-lirik tampang pria yang tetap tenang walau diguncang vokal bombastis Bu Santi. "Dan alasan kenapa saya mengajukan nikah siri dulu, ini karena sudah tidak sabar ingin punya istri, Bu. Saya ada perjalanan dinas ke luar negeri soalnya, saya pengin ajak Rea. Kalau statusnya pacar, pasti Ibu nggak akan kasih izin. Saya pribadi juga kalau masih pacar, takutnya khilaf." Mumpung Bu Santi mode mingkem karena sedang membaca, Jayakarsa ambil kesempatan itu untuk menjelaskan. "Nanti nikah KUA-nya menyusul, yang penting pernikahan siri hari ini direkam. Ibu tahu aktris lawas Tania Maira Daneswara, kan? Atau nggak? Dia bintang film yang fenomenal pada masanya dan melakukan pernikahan siri bersama mantan suaminya, tentu nikah resmi didaftarkan ke KUA dan ngadain resepsi. Saya berencana mau begitu dengan Rea, Bu. Tolong izinkan." Tania Maira ... siapa? Aktris zaman kapan, deh? Kok, Rea tidak familer? Ibu berdecak. Diserahkan akta cerainya. "Tetep gak bisa. Kalian sekarang daftar ke KUA aja, sogok pake uang kalo Nak Jaya punya biar bisa nikah resmi di sana secepat—" "Astagfirullahaladzim, Bu! Kok, sogok? Masih mending nikah siri dululah, sogok mah nggak berkah." Rea berusaha membantu masnya. Dia pangkas omongan yang mulia ibu suri Banyuliang. Auto delikan mata ibu berpindah ke Rea. "Jangan blo'on, Re! Nikah siri itu kamu rugi banyak, ngerti? Dan lagi ... apa kata tetangga nanti?" Blo'on is the meaning ... bodoh, right? Rea berdeham. "Muka Ibu juga mau disimpan di mana kalau anaknya nikah siri?" imbuh beliau. "Mau bikin pamor Ibu seamblas apa lagi di sini? Image kamu juga udah jelek dan Ibu kecipratan. Kalau kamu nikah siri ...." Oh, no! Malu, dong, sama status di Whats-App kemarin? Sudah sombong level kuadriliun pula. Masa ending-nya Rea nikah siri, sih? "Bu, saya ngerti. Tapi Ibu jangan khawatir—" "Diem, kamu!" Ow, ow. Jayakarsa kena semprot. Rea menggigit bibir bagian dalamnya, terlebih saat ibu berdiri hendak pergi. Namun, lekas Rea tahan dan dibuat duduk lagi. "Ibu ... kan, bisa didengerin dulu—" "Apa lagi? Denger apa? Denger sekebelet apa kalian pengin bikinin Ibu cucu? Nggak nikah siri caranya!" Aduh. Ya Allah. Keluarga abal-abal Jayakarsa malah tepekur. Mereka fungsinya cuma jadi pajangankah? Asal terkesan bawa keluargakah? Argh! Andai rencana nikah ini batal pun jika sudah sampai sini, ya, Rea yang malu. Rea yang kena 'gawatnya.' Jadi, jangan sampai kacau, plis! "Bu, Mas Jaya nikah sirinya bukan karena semacam yang ada di pikiran Ibu, kok. Mas Jaya mau ke luar negeri dan hubungan kami udah dalem, Bu. Jadi nggak pengin LDR-an." Bagaimana? Ucapan Rea sudah meyakinkan, belum? "Dan saya bukannya nggak mampu menikahi Rea secara resmi, Bu. Ini ...." Jayakarsa mengimbuhi, mengeluarkan kunci mobil. "Mercedes Benz S-Class, keluaran tahun dua ribu dua puluh dua, mahar untuk Rea kalau Ibu mengizinkan kami menikah hari ini." Rea melihat sodoran kunci mobil sedan elite tersebut, Jaya berikan tepat ke hadapan ibu. Dan Rea menyaksikan bagaimana mata keluarga abal-abal Jayakarsa seolah melotot plus bibir hampir membentuk O besar. Mas Jaya ngasal, nih, cari keluarga. Masa ekspresi mereka begitu? batin Rea. "Alah, buat apa mobil. Toh, Ibu nggak bisa nyetir." Oh, God! Mata ibu kerlingannya macam sedang sok-sokan jual mahal, bibirnya juga. Itu mobil bukan sembarang mobil, lho, Bu. Ingin Rea ucapkan begini, tetapi jaga image nomor satu. Jayakarsa terkekeh. "Kalau mau, bisa Jaya carikan sopir pribadi buat Ibu. Atau kalau mau dicairkan, harganya masih di angka satu sampai dua miliar semisal dijual." Dengar? Satu sampai dua miliar katanya. "Kamu ini pengin nikahin Rea apa pengin ngebelinya dari Ibu, sih?" gerutu Nyonya Santi, dan tangannya meraih kunci mobil yang tadi disodorkan. Rea juga merasa dibeli kalau begini ceritanya. Satu atau dua miliar, cui! Fix, bukan karyawan tetap biasa. Pasti orang tuanya kalau nggak kaya raya, ya, kaya banget. "Jadi, boleh saya nikahi anak Ibu sekarang? Saya sangat berharap bisa bawa Rea ke tempat dinas." Uh .... Rea merinding. Ibu malah masih prangat-prengut di sisi lisannya berkumandang, "Telepon adikmu, Re. Pulang gitu kata Ibu." Oh, ya, adik. Adik Rea laki-laki. Usianya tidak begitu jauh, hanya selisih enam tahun. Itu pun sudah merengek minta Rea cepat nikah supaya ibu mengizinkannya meminang anak gadis orang. "Jauh tempatnya, Bu?" tanya Jaya. "Dan apa dia bisa jadi wali Rea?" "Kok, yang banyak omong calon pengantinnya, sih? Orang tua sama keluargamu diem-diem aja, Nak Jaya." Nah, lho. Hati-hati sama ibu Rea. Feeling-nya kuat. Instingnya juga suka tajam. Rea telepon adik dulu. "Karena saya sudah dewasa," balas Jaya. Jawaban macam apa coba itu? Jaya ulas senyum tipis. Ibu masih berlagak ogah-ogahan merestui nikah siri Rea, tetapi kunci mobilnya dipegang terus. Kayak masih setengah-setengah gitu, lho! Walau sudah menyuruh adik Rea pulang. "Bu, kalau perlu dijemput adik Rea, biar kami jemputkan," kata Jaya lagi. Masalahnya, dia harus bersegera juga. Putra tunggal Jaya mau pulang ke Tanah Air, ingat? Julian namanya. "Gak usah, dia naek motor," tukas Nyonya Santi. "Ini mobil asli punyamu, kan? Eh, kok, karyawan tetap biasa kayak Jonathan bisa kebeli mobil miliar-miliaran? Tetangga Ibu itu aja cuma mampu beli Pajero." Mulai, deh, mulai. Rea cubit pelan paha ibu. "Udah ditelepon, Bu. Katanya, iya, pulang sekarang." "Nak Jaya belum jawab pertanyaan Ibu soal mobil." Semprul, nih. Rea tidak digubris. "Oh, iya. Jaya nggak ada tanggungan selain diri sendiri, Bu, jadi uang gaji dipakai buat beli mobil itu. Dan walaupun cuma kartap, di Sastra Edu gajinya besar. Jangan disamakan dengan kartap di tempat lain." "Bu Narsih!" celetuk ibu, tak melanjutkan bahasan soal mobil. "Sebentar, ya? Sampai lupa nggak ada sesuguhan." Lho, iya! Dari tadi tidak disuguhi. Dan lagi, Bu Narsih malah nguping. Terpantau dari gelagatnya saat Rea menoleh—memergoki. "Bu Nar, sekalian tolong panggilin ustaz desa sama Pak RT dan Pak Kades, ya? Urgent!" tukas Nyonya Santi si mata duitan. Tapi karenanya, Rea terselamatkan. Di mana pernikahan siri itu ... kira-kira berapa menit lagi akan dilaksanakan? Oh, tatapan Rea dan Jaya berjumpa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD