Organ dangdut biduan kecamatan berdentum-dentum di rumah Rea, dulu. Bukan Rea yang punya hajat, tetapi tetangga.
Iya, saat Jonathan menikah dan keluarganya mengadakan prosesi ngunduh mantu. Hajatan di pihak perempuan, lalu di pihak lelakinya juga. Yang membuat Rea sebal, sound system-nya diarahkan ke sini.
Hari itu Rea masih patah hati.
Tidak mudah untuk cuci bersih perasaan cinta yang pernah hadir, kan? Apalagi ini cinta pertama Rea.
Dulu, saat-saat Jonathan menikah. Rea tentu di kampung karena dia memang berencana untuk kondangan, untuk menghadapi alih-alih menghindar.
Dan dulu ....
"Re, ayo!"
Rea kondangannya sama ibu.
"Tapi Ibu jangan bahas apa-apa sama mereka, ya? Jangan ngajak gelut juga," mohon Rea.
Ibu mencebikkan bibir bergincunya. "Ini semua gara-gara kamu! Makanya coba, dandan! Pake baju bagus. Kalo gak punya, beli! Tiap hari dandan dan pake baju bagus buat nyenengin pasangan itu gak pa-pa banget."
Rea mengerling malas. "Kalo udah nikah, sih, okelah, Bu. Rea senengin suami. Tapi, kan, masih tunangan. Buktinya Nathan sebajingan itu. Ini syukur dikasih petunjuk sebelum jadi sama Rea."
"Lho, mindset kamu itu gimana, sih, Re? Kan, kalo dandananmu bagus, cantik kayak Anggi, Jonathan nggak bakal jadi bajingann buat nyari Anggi yang itu!" tukas ibu.
"Justru mindset Ibu yang begitu ini bahaya, Bu. Iya kalo setelah nikah Rea tetep cantik, tapi gimana kalau saat masa hamil—misal—kan, katanya suka ada perubahan fisik yang nggak selalu berubah jadi makin cantik.
Pada saat itu terjadi, apa nggak lebih ngenes lagi, Bu? Kondisi hamil, eh, suami selingkuh. Amit-amit, sampe akhirnya cerai. Ibu nggak mikir ke sini? Soalnya Jonathan tipe yang mandang fisik banget."
"Ah, udahlah. Otakmu nggak nyampe sama jalan pikiran Ibu!"
Pertikaian itu mulai sering terjadi di antara Rea dan ibu. Ini bukan soal 'otaknya yang tidak nyampe', tetapi beda prinsip plus beda mindset saja, maka tak akan ada 'titik temu.'
"Ayo!"
"Iya, iya, ayo." Rea ambil tas tangan khusus kondangan. Hari itu juga Rea memakai baju terbaik.
Sebenarnya ... berat. Datang ke nikahan mantan yang putusnya secara tidak baik.
Yang membuat berat adalah proses menekan emosi agar terkendali. Jangan sampai terpancing.
Rea ingin tetap terlihat tenang agar di mata Jonathan perasaan cinta yang begitu besar terpatahkan ini tak terbaca.
Rea tidak mau kelihatan begitu naksir putra tetangga yang sudah berbuat jahat pada cinta sungguh-sungguhnya.
Jonathan ....
Teman kecil, anak tetangga, teman akrab sampai dewasa, lalu pasangan romansa. Semua status itu hancur dalam satu peristiwa.
"Selamat, ya," ucap Rea, formalitas saja. Sambil dia berikan amplop kondangan.
Rea jalan di belakang ibu supaya terpantau, takutnya ibu malah berulah tanpa sepengetahuan Rea.
"Makasih, Re. Kamu cepet nyusul, ya?"
Taik.
Guguk dasar.
Bangs—sst!
Panas hati Rea mendengar kalimat setidak ngotak itu.
Jonathan benar-benar bersikap seolah tidak pernah ada kejadian yang melukai hati Rea. Oh, apa karena Rea acuh tak acuh supaya tak terbaca lukanya?
Ya, karena Rea tidak mau terlihat bucin sendirian, naksir sendirian, plus kecintaan sendirian. Sementara, ternyata Jonathan sama sekali tidak.
Tapi, kan ... argh!
Ini benar-benar menyulut emosi Rea, hanya saja power untuk menekan emosi itu jauh lebih kuat.
Rea tanggapi dengan, "Nyusul gimana? Kan, langkahku ada di depan kamu, Nat." Sembari terkekeh. "Kamu, nih, yang lagi 'lari' supaya bisa ngejar aku lewat 'jalan pintas'."
Paham?
Jonathan pasti tidak.
Lekas Rea sudahi sebelum jadi panjang karena ditanggapi. Tak lupa Rea salam-salaman juga dengan Anggi.
Cantik memang.
Imut.
Dan sehari-hari selalu berpenampilan good looking.
Yeah ... Anggi modis, pandai memadupadankan warna pakaian, berbanding terbalik dengan Rea yang tidak sedetail itu terhadap penampilan.
Tapi tidak apa-apa, silakan berpesta karena sudah diperistri Jonathan. Di atas luka Rea yang seapik-apiknya dia tutupi.
Dulu ....
Dua bulan setelahnya.
"Re, Rea! Kamu tahu, nggak? Si Anggi hamil."
Ibu habis belanja sayur langsung mengabari info tak penting itu ke Rea. Salah, sih, Rea pulang kampung setiap akhir pekan.
"Hamil anak kepala desa apa gimana, Bu? Penting banget kayaknya." Rea jawab acuh tak acuh, dia oleskan nuttela pada lembaran roti tawar.
Ibu berdecak. "Anak Jonathan! Mantanmu!"
Rea ber-oh ria. "Ya udah, bagus. Hamil anak suami sendiri dan artinya mereka tokcer. Langsung jadi."
Ibu bersungut-sungut. "Ya, itu. Makanya tetangga mau sawer, syukuran cucu pertama launching katanya. Dasar ria!"
Rea manggut-manggut sambil melahap roti, eh, ditoyor ibu lengannya.
Ibu bilang, "Sana cari jodoh! Ibu juga mau gendong cucu. Jangan kalah sama mantanmu, dong, Re. Harusnya kamu juga tunjukin bahwa—Rea!"
Di dalam rumah berisik, alhasil Rea keluar. Namun, dasarnya tetangga, jadi saja ketemu. Jonathan sedang ketawa-ketiwi sambil digelendoti istri hamilnya.
Fakyu!
Rea ingin mengacungkan jari tengah rasanya.
Dulu ....
Jonathan: [Re, mau aku kenalin ke temen cowok di kantor, gak?]
Mentang-mentang tidak Rea blokir, si guguk berlagak masih akrab.
Pikirannya di mana, sih? Sebetulnya manusia macam Jonathan ini dikaruniai otak, tidak? Ah, pasti otaknya ada, tetapi tidak dengan fungsinya gitu, ya?
Rea ingat semua tentang hal-hal yang membuatnya terluka, di mana luka itu dari Jonathan.
Laki-laki yang hari ini—setelah sekian lama—bertemu tatap lagi dengan Rea.
Kapan terakhir kali saling lihat? Empat tahun lalu? Tiga tahun lalu? Rea lupa, tetapi sekarang Realine sudah bukan sosok yang dulu Jonathan sebut tidak modis sehingga malu sekadar untuk mengakui Rea sebagai kekasih.
Kini, tidak ada kaus hitam berpadu celana jogger batik merah menyala lagi di tubuh Rea yang belum mandi. Hanya ada Realine dengan gaun tidur bak putri iklan.
Di teras tetangga, Jonathan sedang ngopi sambil merokok.
Sekilas saja berpaspasan matanya, Rea langsung memutus pandangan dan masuk rumah. Meninggalkan suami Anggi yang terbengong kala mata bertemu dengan Realine.
***
"Re, pilihin baju Ibu!"
Jangan heran. Rea yang mau dipinang, tetapi ibu yang rempong soal penampilan.
"Re, keluarganya kaya, kan? Ibu harus kelihatan mahal, Re, di depan calon mertua kamu."
Kok, Rea jadi merasa kasihan, ya, sama ibu? Masalahnya ... yang datang itu rombongan keluarga palsu Jayakarsa, kan? Ini Rea bakal kualat nggak, ya, nanti membohongi ibu habis-habisan?
"Yang ini bagus, Bu. Kelihatan mahal dan elegan kayak istri pengusaha." Rea pilihkan pakaian Nyonya Santi.
"Ini, ya? Oke, deh." Ibu pun mengganti pakaiannya tanpa sungkan dengan kehadiran Rea di kamar.
"Kamu bisa nyanggul ala-ala ibu pejabat, gak? Ibu mau disanggul aja, deh, kalo bisa. Ibu udah beli jepit mutiaranya di pasar. Ayo, Re, sanggulin!"
"Gak bisa, Bu. Dijilbab aja."
"Ih, gimana, sih. Jepit mutiara Ibu yang beli mahal-mahal gak dipake, dong?"
"Berapa Ibu beli?"
"Tiga puluh ribu sebiji. Kan, lumayan, Re. Biasanya paling banter lima ribuan."
Rea menghela napas pendek. "Udahlah, jilbab aja. Malah malu kalo jepitnya cuma tiga puluh ribu. Orang kaya itu jepit mutiara, ya, mutiaranya diambil langsung dari kerang laut, Bu. Mahalnya beneran mahal juta-juta."
Ibu berdecak. "Makanya kamu beliin buat Ibu!"
Rea tidak menggubris. Bertepatan dengan bunyi ponsel tanda telepon masuk.
"Mas Jaya, Bu."
"Haduh, haduh. Udah nyampe tugu perbatasan, jangan-jangan? Bu Narsih! Udah pada mateng, belum?" Ibu rempong lagi.
Rea bilang juga katering saja, ibu menolak. Katanya ingin menyajikan kekhasan masakan rumahan ala Banyuliang.
Hilih!
Repot, kan, sekarang?
"Halo, Mas. Gimana? Udah nyampe desa?"
"Sudah, ini lagi ngelewatin kebun jati. Bener, kan? Saya cuma memastikan."
"Iya, bener, Mas. Lurus aja. Nanti belok kiri di persimpangan SD, lurus lagi sampe ketemu rumah hijau sage." Seketika warna pilihan cat ibu jadi identitas rumah supaya gampang ditemukan.
"Oke. Kalau rumahnya saya ingat."
Dan berkesan, makanya mudah diingat. Apalagi kalau hijau mentereng, ya? Jingga stabilo, deh.
"Nah, sudah kelihatan rumahnya."
Eh, eh?
Telepon pun disudahi oleh Jayakarsa. Di sini, Rea dilanda resah gelisah dan sejenisnya.
"BUUU!"
Aduh, aduh.
Rea deg-degan.
"Mas Jaya udah nyampe, Bu."
Dan itu membuat hampir semua orang di dalam rumah tetangga-tetangga Rea bermunculan. Melongok ingin tahu, ada ramai-ramai rombongan apa itu?
Bahkan ada yang terang-terangan berhitung, mobil yang parkir di sekitar rumah Santi Sulastri menggegerkan warga sekampung.
Rea dugun-dugun.
Aduh!
***
Ada mobil bagus lewat, ditengok sampai kepala belok. Apa kabar saat mobil bagus yang lewatnya bukan cuma satu, melainkan memanjang hingga lima unit?
"Ada kunjungan pejabat di desa kitakah?"
"Kayaknya bukan. Balai desa dilewatin."
"Cuma melintas aja itu, sih. Bukan ke desa kita."
"Denger-denger itu rombongan calon mantunya Bu Santi. Di dusun sebelah rame, Rea bawa calonnya ke rumah kemarin."
"Ke sana, yuk? Penasaran. Lewat aja lewat."
"Ih, ngapain? Tanya mama Nathan aja. Kan, tetangga terdekat."
Benar, sangat dekat rumahnya walau tidak sampai bertempelan.
Lima mobil yang kini terparkir di sekitaran rumah Rea menjadi pusat perhatian, apalagi saat orang-orangnya keluar.
Dengan gagahnya sosok Jayakarsa mengenakan setelan jas rapi, pantofel kinclong mengilap, dan ... beserta seluruh pesonanya itu eksis di halaman rumah Rea—di Banyuliang.
Rea menahan napas. Tahu lelaki itu memang tampan di usia empat puluhnya, tetapi ini di atas tampan. Apa namanya?
Uh ....
Auranya seperti bukan sembarang karyawan tetap.
Rea menatap mulai dari wajah sampai kaki Jayakarsa dan balik lagi ke wajah ... seketika percabangan menuju kaki Rea berdenyut seolah jantung pindah ke sana.
Omaygat!
"Waalaikumsalam ... Masya Allah ... silakan masuk, silakan!" Ibu menjawab antusias lantunan salam dari orang-orang itu.
Ada lidah yang Rea gigit dalam diam. Binar senang di wajah ibu kira-kira akan bertahan berapa lama lagi, kapan tepatnya akan berganti dengan raut terkejut dengan segala keunikan yang ibu miliki?
Ya, meski alasan nikah sirinya dibuat semasuk akal mungkin, tetapi pasti syok jugalah.
Well, tatapan Rea dan Jaya berjumpa. Bisakah lelaki itu menerima kode telepati darinya? Bahwa Rea belum bilang ke ibu tentang rencana hari ini.
Jadi ....
Ibu Rea agak kebingungan saat mendapat banyak sekali buah tangan, sudah seperti hantaran nikahan. Oh, atau orang kota tradisinya saat temu keluarga itu gini, ya? Atau memang dasar keluarga Jayanya saja yang super royal?
Nyebut wah, Masya Allah, dan terima kasih saja dari tadi.
Sampai di titik ....
"Seperti yang sudah dibicarakan, Bu. Hari ini saya bawa keluarga, ini orang tua saya."
Rea yakin seratus persen tanpa diskon, itu orang tua plus keluarga abal-abal.
Ibu Rea manggut dan senyum, lalu berkenalan ramah.
"Dan datangnya saya bersama mereka hari ini, saya juga sudah menyampaikannya ke Rea. Dari obrolan kami, Rea bersedia untuk saya nikahi."
Senyum Bu Santi merekah semringah mendengarnya.
Artinya, kan, sang anak akan mengakhiri masa lajang. Copot sudah gelar penghinaan perawan tua yang warga sematkan di Rea.
Jaya katakan lagi, "Keluarga dan orang tua saya juga setuju, termasuk anak yang tidak bisa datang karena sedang pendidikan di luar negeri."
Makin lebar senyum ibu, Rea makin deg-degan.
Betewe, ibu pasti senang sekali mendengar info 'anak pendidikan di luar negeri' karena itu berarti fix Jayakarsa holkay minimal tiga turunan.
"Jadi ... wali, saksi, dan ustaz desa untuk mengijab kabulnya di mana, ya, Bu?" pungkas Jayakarsa Atmaja.
Rea menoleh menatap raut ibu.
***