10 | Sebesar Hasrat

1222 Words
"Ngapain kamu di sini?" Astagfirullah, mulut siapa itu? Mulut ibu. Rea sedang duduk di teras menunggui yang pegang kunci pulang, dengar-dengar sedang pengajian di masjid. Iya, Rea balik kampung lagi. "Kok, ngapain? Ya, pulanglah. Ini masih rumah tempat Rea pulang, kan, Bu?" timpal Realine. Ibu membuka kunci sambil mengoceh. "Ya, kan, kamu kemarin udah pulang. Terus ngapain sekarang pulang lagi? Kalo mau begini, kemarin kamu di sini aja nggak usah ikut calon suamimu, Re. Dan kalaupun mau ke sini lagi, bawalah masmu sama keluarganya. Kan, itu yang Ibu minta." Rea mengerling. Anak pulang bukannya disambut sukacita malah diberondong ocehan sepanjang jalan kenangan. Dilepasnya sandal, lalu ngeluyur mendahului langkah ibu, sampai lupa Rea belum cium tangan. Kena semprot ibu lagi. "Ya, maaf," tukas Rea. Salim sama ibu. "Jadi, ngapain pulang? Maksud Ibu, ada keperluan apa? Bukannya gimana, lho, ya. Sebelumnya, anak sulung Ibu bahkan kuat empat tahun jadi Bang Toyib gak pulang-pulang. Terus kenapa ini tiba-tiba jadi pulang sehari sekali?" Sindiran keras untuk Rea. Sebentar. Menghela napas dulu. Rea mau menyampaikan soal rencana Jayakarsa besok, bahkan waktunya semepet ini. Tapi bagaimana bilangnya, ya? "Bu ...." Oke, Rea awali. "Apa? Jangan bikin Ibu deg-degan!" Sepertinya ibu overthinking dengan gelagat Rea. Dan lagi, Rea disemprot nada tinggi terus, padahal ibu kalau bicara dengan Mas Jaya intonasi suaranya sangat normal. "Besok," ucap Rea. "Apa besok?" Alis ibu sudah menukik. "Mas Jaya sama keluarganya mau ke sini," timpal Rea sok santai sok kalem, padahal jantung dar-der-dor. Ini baru prolog. Ibu ber-oh ria sampai bibir bergincu merah menyala membahananya itu membentuk O besar. "Ya, bagus! Ini kabar baik. Itu yang Ibu pengin denger. Tapi gelagatmu kenapa mencurigakan, ya, Re?" Rea berdeham. "Masnya nanya, minta mahar berapa?" Buat nikah besok. Harusnya Rea keluarkan juga, tuh, kalimat akhir soal nikah. Namun, malah tertahan di tenggorkan. Kayaknya biar nanti Mas Jaya saja yang menghadapi ibu terkait ini, ya? Rea nggak siap kena damprat atau apalah itu, apalagi nasihat. Percuma, kan? Jalan yang Rea ambil dia sadari betapa sesatnya, tetapi sudah sampai sini maka Rea menolak mundur atau berbalik. "Oalah ...." Ibu haha-hihi. "Kamu ini! Ngomong tentang mahar aja, kok, semeresahkan itu. Ibu kira ada apa! Padahal kalau cuma bahas mahar, di telepon juga bisa, Re." Rea ulas senyum. Palsulah, jelas. Rea pulang karena besok mau nikah, kok. Bukan cuma mau bahas mahar. Sebetulnya, sekalian mau bahas tentang nikahan besok, tetapi ... ditanggung mas-mas brewok itu sajalah. Ibu ngeluyur menyimpan tas pengajiannya, lalu melepas jilbab. Rea mengekor. Dia rebahan di kasur ibu. Rasanya sudah lama tidak memasuki kamar ini, apalagi sampai rebahan. Oh, aroma orang tuanya sangat pekat. Balsem Geliga atau minyak angin jenis apa, ya, yang ibu pakai? "Calon suamimu, kan, orang kaya, ya, Re. Jadi—" "Dia karyawan tetap 'biasa' kayak Nathan aja, kok, Bu. Cuma ...." Mungkin iya. "Orang tuanya yang kaya raya," imbuh Rea. Asal saja. Rea, kan, tidak benar-benar tahu. Dipikir-pikir lelaki yang mau jadi suaminya ini misterius sekali, ya? Ah, atau karena Rea baru kenal beberapa hari saja? Kepada Yena pun Rea belum tanya-tanya lebih banyak soal Jayakarsa. Nanti, deh. "Ya udah, bilang aja semampunya dia. Dan sebesar-besarnya cinta Nak Jaya ke anak Ibu." Buset. Nol rupiah, dong? Kan, tidak ada cinta di sini. Rea garuk-garuk pipi. Tapi Jayakarsa tidak mungkin begitu juga, sih. Rea cuma berasumsi ngasal, kok. "Oke, Rea sampein." Sejak tadi tas selempangnya masih Rea pakai, jadi dia gampang ambil ponsel. [Kata ibuku dan aku setuju, maharnya semampu Mas aja plus sebesar-besarnya hasrat gairah Mas ke aku.] Sip. Dikirimkannya pesan tersebut kepada lelaki yang konon besok akan bertandang. *** Ruang rapat auto senyap saat Jayakarsa terbatuk, bahkan yang sedang presentasi di depan sana pun praktis diam. Tatapan Jaya di laptop dan itu berisi room chat-nya dengan Rea. Sekilas terlihat penting karena ini soal mahar, tetapi begitu dibaca ... kok, semprul, ya? Batuknya Jaya bukan karena tersedak, melainkan sedang mengalihkan tawa yang ingin lolos. Jaya itu hanya tidak bisa merasakan hal-hal romantis, bukan tidak bisa tertawa ketika ada hal yang menurutnya lucu. Meski mungkin dilontar dengan jenis tawa yang super minimalis. "Lanjutkan. Kenapa kamu diam?" celetuk Jaya kepada karyawan yang tadi sedang mempresentasikan desain furniturnya. "Ah, baik. Jadi, lemari ini bisa di—" Kabur dari pendengaran Jaya. Untuk pertama kali fokusnya lebih lekat pada room chat alih-alih presentasi desain baru yang akan launching jadi produk Luxe. Jayakarsa: [Hasrat gairah saya tidak terhingga.] Jayakarsa: [Kalau bicara soal seks.] Jangan dibayangkan bagaimana ekspresi Realine ketika membaca balasannya, pasti konyol. Realine: [Ih, takut.] Padahal Jaya cuma bercanda. Jayakarsa: [Oh, ya. Jangan lupa siapkan walimu juga, dan saksi-saksi] Realine: [Mas, ini beneran lusa?] Realine: [Tapi aku udah sampe ngundurin diri dari perusahaan, sih. Mas tanggung jawab selama aku nganggur nanti, ya. Uang maharnya banyakin aja kalo gitu, kompensasi atas karierku.] Realine: [Kisaran tujuh puluh juta kali, ya? Atau seratus? Kebanyakan, gak?] Jaya hampir menilai Rea matrealistis karena segala diuangkan, tetapi kalau jumlahnya segitu ... Jaya semiskin apa di mata Rea, ya? Mobil elite dan pakaian branded sehari-hari Jaya tampaknya tidak membuat Rea menilai lebih dari seratus juta. Jayakarsa: [Acc.] Langsung Jaya kirim. Dan di tempatnya, Rea mengabari sang ibu. "Kata Mas Jaya oke, Bu." Soal mahar itu. *** Aduh, Rea deg-degan. Semakin dekat menuju hari esok semakin kuat detak di dadanya. Rea belum meminta orang untuk jadi saksi di hari esok, nanti heboh yang ada. Rea maunya Jayakarsa saja yang memulai kehebohan itu dan Jayakarsa sendiri yang mengatasi nanti. Rea tidak siap diserbu pertanyaan ibu. Ocehannya. Semua. Rea, kan, sudah hidup lama dengan Nyonya Santi, jadi tahu banget nanti akan seheboh dan seberlebihan apa reaksi ibunya. Sekadar membayangkannya saja kepala Rea sudah cenat-cenut. Ah, sudahlah. Bobok saja! Rea pikirkan nasib setelah hari H akad saja, itu bagaimana nanti malam pertamanya? Kira-kira bakal ketahuan ngibulnya tidak, ya? Kan, Rea bohong soal ketidakperawanan. Kata Mbah Gugel, sih, mestinya tidak ada yang bisa mencirikan soal perawan atau tidaknya wanita, ya. Namun, ini lawannya duda. Garis bawahi, duda itu punya pengalaman. Dan pengalaman itulah yang bisa jadi tahu Rea masih atau sudah tidak ting-ting lagi. Argh! Bikin tidur Rea tak nyenyak saja. Namun, tahu-tahu matahari sudah menyinari bumi. Bulan bertukar peran menjadikan malam berganti siang. HUAAA! HARI INI, KAN? Saat tiba masanya, kok, Rea serasa pengin log out dari bumi, ya? "Re!" Suara ibu. "Rea! Kebiasaan, deh. Anak gadis bangunnya siaaang terus! Pantes perawannya mau dipatok duda." Hei! Memangnya ngaruh? Memangnya ada korelasinya dari bangun siang dan keperawanan dipatok duda? Dasar Nyonya Santi sekata-kata. "BANGUN, RE!" Sambil gedor-gedor pintu. "Iya, Bu. Ini Rea udah bangun!" timpal Rea dari dalam, lalu buka pintu kamar. Ibu mendengkus. "Siap-siap! Katanya mau datang rombongan calon mantu Ibu jam sembilan?" Benar, sih. Tapi ini masih jam setengah tujuh. Tadi sehabis subuh Rea tidur lagi, by the way. Bingung juga mau ngapain kalau di rumah. "Hm. Ini mau." Rea okekan saja supaya tidak panjang. Ibu lantas hengkang. Gitu doang? "Ibu mau ke rumah Bu Narsih dulu, ya? Mau minta tolong dibantuin beres-beres dan lain hal sampe rombongan besan pulang." Idih, idih ... besan nggak, tuh?! Sudah sebut besan saja lagi. "Iya." Rea menimpali ringkas. "Mana sini uangnya? Harus pake uang dulu biar mau." Ampun, ampun! Tapi okelah, Rea ambil dan serahkan. Ibu lantas melenggang. Entah kenapa, Rea ikuti sampai teras dan ibu pun sudah tak terlihat lagi. Di sini, saat Rea berbalik, tak sengaja mata bertemu tatap dengan seseorang. Laki-laki. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD