Sedang enak-enaknya mimpi jadi orang kaya, ponsel Rea malah ganggu dengan suara getar-getar pendeknya. Kalau cuma sekali, okelah. Nah, ini berulang.
Rea berdecak sebal. Pas dicek ternyata pesan dari ibu pula. Makin kecut rasanya.
Eh, astagfirullah!
Rea pun duduk. Menguap dan kucek mata. Sambil Rea buka pesan beruntun dari ibu, usut punya usut isi pesannya adalah ragam screenshot.
Ibu: [Baca, Re. Orang-orang kepo banget sama calonmu.]
Jadi, foto tangkapan layar itu adalah room chat ibu dengan para tetangga atau nyaris semua warga yang kepo kepadanya gitu, ya?
Ibu kurang kerjaan banget, sih, mengirimi Rea hal-hal seperti ini.
Namun, ada satu yang menarik.
Si Taik.
Kaget, ya? Rea juga. Baru tahu nama kontak mama Jonathan yang tadinya ber-vibes Best Friend 4Ever di hape ibu jadi se-taik ini.
Rea ingin tertawa, tetapi ingin ngegerung juga.
Kok, ada, ya, ibu-ibu sedramatis ibu Rea? Apa gara-gara ini ayah aristokratnya lantas menceraikan beliau?
Si Taik: [Alah, paling juga aslinya simpanan gadunn.]
Agak taik, sih, memang. Kok, Rea jadi geram? Kenapa mama Jonathan jadi semenyebalkan ini? Sejak kapan? Rea ingat-ingat. Padahal, kan, yang berulah dan berbuat buruk adalah putra beliau, bukan Rea.
Nama Rea di Banyuliang bahkan sudah jelek, selain dapat cap perawan tua.
Selama ini Rea memilih menghindar daripada termakan omongan hoax mereka, berbeda dengan ibu yang menolak diajak pindah. Ibu bilang, "Kamu, kan, yang bilang? Yang salah orang itu. Jadi, kenapa kita harus pergi?"
Benar. Rea selalu menekankan bahwa yang salah itu Jonathan, meski sering kali ibu patahkan juga. Diputar balik jadi berasa Rea yang salah karena tidak pandai menjaga penampilan.
Namun, sejatinya ibu bilang, "Gih, sana, kamu aja yang pergi dan cari uang yang banyak, terus bawain Ibu mantu buat nyumpal mulut orang-orang. Inget, Re. Mantu buat Ibu!"
Di balik sisi Nyonya Santi yang naudzubillah, Rea sayang ibu saat beliau mode bela anak.
Duh, malah baper sama ibu sendiri.
Rea baca lagi isi pesan di foto tangkapan layar yang ibu kirim.
Mama Jonathan membalas status WA ibu dengan kata-kata tidak menyenangkan. Ibunya juga bikin status dengan caption super menyindir anak tetangga.
Mau tahu?
Begini: [Allah Mahatahu, ya, Nak, ya. Diselingkuhin ubur-ubur, dapetnya ikan lele. Eh, paus, ding. Xixixi~ Pajelo nggak level, ah. Ini baru setara sama kerja keras anakku yang bisa beli tanah, bangunin rumah buat ibunya. Masya Allah, Tabarakallah.]
Aduh, Rea sakit perut.
Ibu sudah Rea tegur, lho. Pernah Rea nasihati agar tidak terlalu ria atau super terbuka di media, tetapi susah.
Apalagi si tetangga membalas dengan status lagi biasanya. Ini ada, nih. Ibu screenshot juga status mama Jonathan. Sebuah foto cucu yang sehat dan lucu-lucu.
Caption-nya: [Bahagia itu sederhana, ya, Sayang. Nikah sesuai target, punya anak, kerjaan lancar, terus istri yang cantik dan baik. Jackpot; istri pandai mengurus diri sendiri dan cuamik. Hihihi.]
Ini ibu-ibu di Desa Banyuliang pada kenapa, ya?
Rea geleng-geleng sendiri tiap kali ibunya laporan soal siapa saja yang julid, siapa saja yang ... begitu dan begini.
Lagi pula Nyonya Santi ngurusin amat, sih, yang beginian.
Lekas Rea balas pesan ibu. Tak dia baca semua hasil tangkapan layarnya. Malas. Nanti malah ikutan terbawa emosi.
Rea: [Gak baik, ih, Bu. Nyari-nyari penyakit aja. Mending keep silent, Bu. Diem, tapi emas.]
Rea: [Dan nggak usah dibalesin chat orang-orang yang gak suka sama kitanya. Gak usah dibikin status juga.]
Ibu: [GAK BISA. IBU GEMES.]
Capslock pula.
Ya sudahlah, terserah ibu.
Rea mau lanjut tidur lagi. Tadi mimpinya bisa diteruskan tidak, ya?
Sialnya, ponsel Rea getar part sekian. Rea tidur dari habis salat Isya memang, terus terbangun di jam sepuluh malam ini.
Oh, telepon dari Mas Jaya.
Rea angkat.
"Ada apa, Mas?"
Suara Rea pun khas orang malas-malasan dan ngantuk. Besok harus bangun pagi dan kerja, tahu! Sedangkan, siang tadi capek habis perjalanan bolak-balik Banyuliang.
"Lusa kita menikah," katanya.
"Oke." Rea tutup mata.
"Karangannya, saya ada urusan mendesak ke luar negeri dari kantor dan tidak mau jauh dari kamu. Jadi, saya pengin ajak kamu. Dengan ide sekalian bulan madu. Nikah resmi menyusul, yang penting acara akad divideokan."
"Hm," tanggap Rea.
"Dengar, tidak?"
"Iya."
"Apa coba?"
"Lusa nikah—hah?!" Rea tersentak bangun, tersadar dengan tutur katanya. Isi dari apa yang dibicarakan. "Lusa, Mas?"
"Saya paling malas ngulang obrolan," ujar lelaki matang itu.
Rea mencengkeram rambut. Lusa banget, nih?
"Lagi pula lebih cepat lebih baik. Pernikahan kita, kan, siri. Mau nunggu lama karena apa memang? Saya sudah acc kamu, kamu juga acc saya."
Benar, sih.
Tapi ....
"Nanti kamu telepon ibumu, beri tahu kondisi saya sesuai karangan cerita tadi. Lusa saya datang sama keluarga. Tapi harapan saya, kita sekalian menikah hari itu. Karena saya pengin ngajak kamu jalan-jalan jauh tanpa khawatir dosa. Bilang gitu. Apalagi saya duda. Ibumu pasti paham."
Rea menggigit bibir bagian dalam.
"Satu lagi, mau mahar berapa?" tanya Jayakarsa.
***
Lusa ....
Lusa, ya?
Rea lirik-lirik kalender plus jam digital di komputernya. Sedang kerja pun yang memenuhi isi kepalanya adalah lusa.
Oke, soal nikah bisa dikondisikan. Nah, malam pertamanya ....
Rea berharap-harap cemas. Tiba-tiba kepikiran saja gitu. Sampai overthinking malah.
Ditelaah, sosok Jayakarsa seperti tidak sabaran. Ditambah hal-hal kecil yang sedang Rea tanyakan ini agak mengganggu pikiran.
Rea: [Btw, kalo boleh nanya-nanya iseng. Mas ini udah berapa lama ngeduda?]
Kata teman sekantor Rea di jam istirahat tadi. "Duda itu ... makin lama ngedudanya, makin beringas juga nanti, Re. Tapi ini khusus duda yang selama masa dudanya itu berpuasa nganu, ya. Pasti meledak-ledak banget entar. Aw, aw! Bayanginnya aja takut. Takut banget malah jadi nyandu terus penginnya digas sampe subuh. Haha!"
Agak semprul di kalimat akhir, sih. Itu pun entah sesuai kenyataan atau jawaban berdasarkan khayalan bin tebak-tebakan cocoklogi.
Mana tahu ternyata duda tidak seberingas itu. Dan lagi, Jayakarsa sudah tua. Empat puluh tahun, sih. Bukankah bagi laki-laki, hormon testosteron itu makin tua semakin berkurang?
Hei.
Tapi Jaya secara terang-terangan bilang ingin menikah untuk menyalurkan hasrat biologis.
Argh!
Jayakarsa: [Lupa. Lebih lama dari dugaanmu pastinya.]
Memang dugaan Rea berapa?
Rea: [Di atas lima tahun?]
Jayakarsa: [Ya.]
Oke, wow.
Bagaimana, dong?
Masalahnya, Rea mengaku sudah tidak perawan. Takutnya, kan ... beringas langsung di awal penyatuan.
Haduh.
Kacau!
Rea meletakkan kening ke mejanya. Mengasihani nasib di satu hari ke depan.
Mampus, udah.
***