Rea berdebar. Sekali lagi dia tegaskan, ini bukan karena cinta.
Bayangkan saja apa yang akan terjadi sepuluh menit mendatang, soalnya tugu perbatasan Banyuliang dengan desa lain sudah dilewati, otomatis sudah dekat dengan kediaman.
Rea sedang menebak reaksi ibu, juga menebak bagaimana respons Jayakarsa nanti setelah bertemu dengan ibu.
Fyi. Ibu Rea, kan, manusia paling unik. Beliau memiliki kemampuan bicara secepat laju kereta api bila sedang mode ngomel. Selain itu, mampu mengamuk dalam durasi tak terhingga. Jangan lupakan kalau sedang mode julid, nyinyiran ibu Rea hampir mengalahkan level pedas dari nyinyiran tetangga.
Terus ... kalau ibu suka sama sesuatu hal, sudah pasti akan disanjung-sanjung sampai yang mendengar olab di tempat. Muak gitu, lho. Paham, kan?
Dan lebih meresahkan lagi kalau ibu sudah mode kepo. Argh! Rea tidak sanggup memprediksinya.
Jayakarsa akan mengalami kultur syok tidak, ya? Rea, sih, sudah biasa. Atau perlukah Rea mempresentasikan tentang semua keunikan ibu?
Ah, telat.
Ini sudah sampai.
Duh, makin berdebar-debar.
Di sisi lain, ibu Rea yang sejak tadi keluar-masuk rumah demi melihat tanda-tanda kedatangan sang putri pun beranjak dari tempatnya.
Terpantau bukan cuma ibu Rea yang nangkring di teras, tetapi ibu-ibu lain juga. Malah ada yang sampai kentara sekali melongok di jendela hingga keluar pagar. Salah satunya mama Jonathan, berdiri di teras sambil gendong cucu, tetapi mata tertuju ke rumah ibu Rea.
Asal kalian tahu, ya. Rea itu sudah jadi maskot Banyuliang, tetapi di bagian 'perempuan lajang usia tiga puluh tahunan.'
Para ibu yang punya anak gadis selalu menyebut Rea dalam ucapannya yang berbunyi, "Kamu mau jadi perawan tua kayak anaknya Bu Santi si Rea-Rea itu?"
Atau begini, "Pokoknya maksimal umur dua puluh sembilan udah nikah, ya. Jangan kayak si Rea. Makin tua, kan, makin nggak laku. Malah jadi perawan tua. Ih, amit-amit! Kamu jangan gitu, lho."
Rea dengar sendiri dari mulut ibu. Selama ini, kan, ibu mengeluh terus soal omongan tetangga. Yang berujung pada ngamuk-ngamuk minta Rea cepat cari jodoh. Rea mah bodoh amat! Si amat saja tidak peduli, kenapa Rea harus?
Oke, sip.
Sekarang Rea bawakan calon mantu ibu.
Bismillah.
Kok, deg-degan banget, ya?
"Ini rumahnya?" ucap Jayakarsa, melepas sabuk pengaman.
Rea jadi penasaran dengan penilaian lelaki itu terkait rumah yang dimaksud.
Minimalis, tetapi sudah dikeramik lantainya dan sudah bukan berdinding bata lagi, tetapi dilapisi semen sampai dicat warna hijau sage kesukaan ibu. Untung bukan hijau stabilo, bisa-bisa 'menyala rumahku!'
"Iya, Mas. Yuk, turun! Yang di teras itu ibuku," timpal Rea. Dia bersiap-siap keluar dari mobil sedan elite kelas miliuner.
Di sana, ibu Rea berbinar melihat mobil kinclong hitam metalik yang sepertinya mahal, ditumpangi oleh sang putri. Akan dia pertanyakan nanti, itu mobil hasil pinjam ke atasan atau cuma nyewa.
Namun, yang lebih penting daripada itu adalah sosok 'lelakinya.' Rea dapatkan hasil kongkalikong gratis atau sewa, ya? Bukannya sudah banyak di dunia yang edun ini terkait persewaan pasangan?
Di teras rumah lain, mama Jonathan penasaran dengan kehadiran mobil bagus kalangan pejabat atau pebisnis kelas kakap itu parkir di depan rumah mantan calon besannya.
Daripada ibu Rea, mama Jonathan lebih paham tentang barang-barang mewah, termasuk soal mobil Mercedes-Benz S-Class ini. Jonathan sering menunjukkan mobil impiannya, biar sama kayak bos besar di perusahaan tempat dia bekerja itu katanya.
"Itu Rea?"
Bisik-bisik tetangga.
"Eh, kok, beda banget sama yang dulu?"
"Yang sekarang cantik, ya?"
"Bu, Bu! Lihat itu cowoknya!"
"Mobilnya, dong. Lihat itu! Rea jadi simpanan gadunn apa, ya, di kota?"
"Ssst!"
"Ini beneran calon mantu Bu Santi, nih?"
Yang sudah turun dari kuda besi, pantofelnya pun menapaki pekarangan yang masih alami—tanah merah. Kalau hujan pasti berlumpur.
Di sini, Rea melihat sosok Jayakarsa melepas kacamata hitamnya—beuh!
Bu Santi sampai memegang d**a seraya menggumam, "Ya Allah .... Jantungku!"
Plis, deh, Bu!
Duh.
Lebay, ah.
Rea ingin sekali bilang begitu.
Belum lagi tatapan ibu. Jayakarsa bisa-bisa takut kalau ibu menatapnya dengan mata semembeliak ini. Rea berharap ada angin tertiup lembut ke mata ibu supaya berkedip.
Kalian paham, kan?
Lekas saja Rea dekati wanita peraih urutan kesatu sebagai sosok terjulid dalam hidupnya, seraya menggandeng lengan mas-mas empat puluh tahunan di sisinya.
"Ibuku, Mas," ucap Rea. Dibawa ke dekat ibu yang sudah meluncurkan tatapan penasaran level sengit.
Rea bersikap senatural mungkin. Dia cium tangan, berharap Jayakarsa mengikuti tiap geraknya tanpa harus dikode dulu.
Oh, syukurlah.
Jaya juga mencium tangan ibu Rea.
Sekarang ada binar takjub di mata ibu, juga tampak gurat ketidakpercayaan atas sosok pria yang Rea bawa. Persis di foto, kan? Makanya tidak percaya bila si sulung Santi mampu mendatangkan lelaki jenis ini ke rumah.
"Ini, Nak?"
Wait.
Nak?
Tumben apa ibu menyebut 'nak' kepada Rea sejak memutuskan jadi jomlo sampai umur tiga puluh tahun plus?
Ah, tetapi Rea senyumi. "Iya, Bu. Di dalam aja, ya, kenalannya?"
"Oh, iya. Masuk, masuk! Nak Gagah, masuk, Nak!"
Nak Gagah?
Apa, sih, Bu?
AAARGH!
Rea lirik pria di sisinya. Jayakarsa tidak memberi reaksi yang tak diharapkan, justru dia tampak santai dengan semua ke-Astagfirullah-an sosok ibu Rea.
Lantunan salam mengiringi langkah Rea dan calon suami, dijawabi super lembut mengalahkan kelembutan kain sutra oleh bibir ibu yang biasa setajam pisau daging.
"Duduk, Mas," seloroh Rea.
Jayakarsa manut.
"Eh, sofanya kekecilan, ya?"
"Nggak, Bu," timpal Rea.
Mana ada sofa kekecilan. Kalaupun kelihatannya sofa jadi mungil diduduki Jayakarsa yang bongsor bin badag, ya, ibu bisa tidak, sih, cukup simpan dalam benak? Kayak Rea pas di apartemen tempo lalu itu, lho.
Jayakarsa berdeham.
Ibu Rea senyum-senyum sambil langsung duduk. "Ini, toh, Re, masmu yang di foto itu?"
Hilih!
Pas itu ibu nggak percaya.
"Iya, Bu. Oh, ya, Mas mau teh atau kopi? Bu, ada kopi, kan?"
"Teh saja," sahut Jaya.
Kaku, ih!
Rea menggigit lidah. Harusnya dia di sepanjang jalan rangkap jadi sutradara juga, ya, untuk mengarahkan akting kali ini. Ah, lupa! Rea malah sibuk deg-degan.
Kini Rea ngeluyur ke dapur. Ngomong-ngomong, ini nggak pa-pa, nih, Rea tinggalkan ibu dan Mas Jaya berdua? Bukannya apa, ibu Rea sering di luar prediksi BMKG pembahasannya.
Waduh, waduh.
Rea harus bersegera.
Dan sementara Rea bikin minum, yang di ruang tamu ini saling bersitatap.
Ibu Rea bilang, "Anu, Nak."
Belum apa-apa sudah anu.
"Ya, Bu?" Jaya juga masih super kaku. Maklum, walau sudah jadi duda, tetapi sama sekali tak ada pengalaman bersosialisasi dengan calon mertua. Dulu pernikahannya terjadi dengan 'kaku' juga.
Ibu Rea meringis. "Maaf sebelumnya, tapi ...." Mendekat sejenak. "Dibayar berapa sama Rea?"
Tuh, kan!
"Ibu, ih!" Untung Rea cepat datang.
Parah banget, nih, ibu.
Dan ibu langsung bergeser ke tempat semula. Rea sajikan jamuannya.
"Mas, maaf, ya? Ibuku suka gitu."
"Gitu gimana? Kan, wajar seorang ibu nanya-nanya ke calon mantunya. Apalagi yang kamu bawa ini di luar batas nalar Ibu."
Astagfirullah.
"Maksudnya gimana di luar batas nalar Ibu? Aneh-aneh aja, deh. Mas, maaf, ya?" Kembali lagi Rea arahkan tatapannya kepada mas-mas blasteran.
Jayakarsa senyum dan mengangguk. "Santai saja."
Ah, ini lagi!
Kaku terus.
Rea langsung duduk dan dia letakkan nampan di kolong meja. Malas mau ke dapur lagi takut ibu ngomong yang bukan-bukan.
Kerlingan ibu juga mulai julid. Heran, deh. Sama anak sendiri begini, giliran sama anak orang saja baiknya minta ditukar tambah. Biar Rea dapat sosok ibu yang budiman, ibu yang julid ke anak ini soklah siapa yang mau?
Oke, oke. Maaf.
Bukan maksud seperti itu.
"Tadi namanya siapa, Nak Gagah?"
Argh!
Rea capek. Hela napas sajalah. Mendengar ibu bicara saja capeknya sudah seperti habis nguras sumur zamzam.
"Jayakarsa, Bu." Dijawab sopan oleh yang punya nama.
Tatapan Rea jatuh di wajah brewok itu. Minum dulu tehnyalah, Rea haus.
"Dan saya ke sini karena ingin berkenalan dengan orang tua dari perempuan yang hendak saya jadikan istri."
Allahuakbar!
Rea terbatuk.
Tidak ada yang salah dengan ucapan itu, tetapi bukankah terlalu cepat?
"Pelan-pelan, lho, Re, minumnya. Udah sana minum air putih dulu!" tukas ibu.
Rea minum air teh saja, tepatnya yang disodorkan oleh Mas Jaya. Well, tidak mau meninggalkan dua orang ini tanpanya. Tapi kalau ada Rea, Reanya yang jantungan.
"Lanjutkan yang tadi, Nak Jaya," minta ibu.
Ampun, deh!
Rea berdeham-deham.
"Iya, saya pengin kenalan sama orang tua Rea. Makanya saya minta Rea pulang kampung, dan saya ikut."
"Bukan yang itu," koreksi ibu Rea. "Tadi bilang 'hendak' apa?"
Aduh.
Kepala Rea cenat-cenut.
"Hendak saya jadikan istri."
Syukur Jayakarsa langsung paham.
"Masya Allah ... jadi bukan lelaki sewaan, kan, ya?"
Rea auto nyamber. "Lagi pula anak Ibu nggak mampu bayar lelaki jenis ini, lho. Ngaco aja, deh. Mana ada Rea sewa-sewa."
"Anu ... maaf Ibu mau tanya yang lain lagi, Nak Jaya." Mengabaikan protes dari Rea, sang ibu ini bertutur, "Tolong banget Nak Jaya jawab sejujur-jujurnya, ya?"
Perasaan Rea tidak enak. "Ibu jangan nanya yang aneh-aneh, nanti Mas Jaya malah ilfeel sama aku gimana?"
"Hush! Kamu ini," semprot ibu. "Kalau ilfeel, ya, sana jangan nikahin anak Ibu."
Lho, katanya ingin Rea menikah?
Sekarang ibu mode jual mahal.
Padahal mah bilang ke Rea, bawa cowok ke rumah dan yang penting punya burung.
Terserah, deh.
Rea perhatikan reaksi plus ekspresi di wajah masnya saja.
"Silakan, Bu," kata si duda anak satu.
Ibu Rea pun bertanya, "Nak Jaya ini ... beneran suka Rea, kan? Maksud Ibu, suka perempuan, kan? Hanya perempuan."
Tuh, kan!
Rea sudah mau nyap-nyap alias menyambar omongan ibu lagi, tetapi keduluan oleh kekehan Jayakarsa.
"Saya kelihatan kurang laki, ya, Bu?"
"Oh, bukan." Ibu Rea mengibas-ibaskan tangannya dengan ekspresi berlebihan. "Bukan gitu, Nak. Justru karena Nak Jaya ini super laki banget, banget, banget ... Ibu jadi khawatir kalau ternyata sukanya sama yang laki juga. Atau suka dua jenis sekaligus; laki dan perempuan. Nak Jaya paham maksud Ibu, kan? Lagi pula rasanya masih belum nyangka bahwa anak Ibu bisa dapetin laki-laki waras bin normal dengan spek fisik sempurna kayak Nak Jaya ini."
Astagfirullahaladzim.
Berapa kali Rea mesti istigfar setiap kali ibunya berseloroh?
"Yang sebelumnya, bentukan nggak sebagus Nak Jaya aja Rea ditinggal."
Asem, nih.
Rea ngambek, ah, sama ibu.
Jaya masih jadi pendengar, ibu Rea aktif bicara.
"Kan, Ibu jadi sangsi, ya? Wajar, kan, Nak Jaya? Ditambah Rea kelihatannya kayak nggak ada yang suka gitu di sini."
Ya Allah Gustiii!
Orang tua mana yang malah membicarakan hal-hal jelek soal anaknya ke calon mantu? Ibu Rea doang kali, ya?
"Tapi emang karena dulu Rea nggak secantik sekarang, sih. Ini Ibu, jujur, pangling banget lihat anak perawan sendiri. Mungkin wajar juga kalau Rea bisa sampe ngedapetin laki-laki yang kayak Nak Jaya."
Terserah ibu!
Sekilas, tatapan Rea dan Jayakarsa bertemu.
"Jadi, Nak Jaya lurus apa belok?" Akhirnya, langsung ke inti. Ibu Rea agak gugup saat menanyakan soal orientasi. Ya, kan, ini sensitif.
"Lurus, Bu. Jangan khawatir. Saya sangat tertarik dan itu cuma sama Rea," jawab Jaya.
Bohong!
Tentang lurusnya mungkin benar jujur, tetapi soal 'sangat tertarik dan itu cuma sama Rea' jelas kebohongan besar, kan?
Ibu Rea ngelus d**a seraya senyum. "Alhamdulillah. Tapi satu lagi, Nak, pertanyaannya."
"Bu, ini ajang perkenalan, bukan ujian lisan." Rea menggumam pelan.
"Diem, ah, kamu!" tukas ibu.
See!
Ini ibu Rea dengan segala keunikannya. Semoga bisa diterima dengan lapang oleh Jayakarsa sehingga rencana nikah siri secara kontrak itu bisa terus dijalankan.
Sudah sampai tahap ini, ya, jangan sampai batal. Rea yang rugi. Sudah sampai ke fase melibatkan ibu soalnya.
Kembali Jayakarsa terkekeh. "Silakan, silakan. Saya senang ditanya-tanyai, biasanya jadi yang suka nanya-nanya."
"Oh, ya? Nak Jaya wartawan?"
Langsung Jaya jawab, "Bukan, Bu."
Kenapa jadi ke situ, sih? Perkara nanya-nanya, gitu? Ibu oh ibu ....
"Nak Jaya kerja apa kalau boleh tahu? Rea belum pernah cerita soalnya."
"Kantoran," jawab Jaya singkat. Tidak kurang dan tidak lebih.
"Karyawan tetap kayak Nathan gitu, lho, Bu." Rea tambahkan supaya ibunya langsung ber-oh ria.
Jayakarsa senyum. Dia tandai nama Nathan dari kalimat Rea.
"Nggak pa-pa, deh. Yang penting kerja dan bertanggung jawab, ya, Nak? Terus setia. Nah, nah ... pertanyaan Ibu tadi belum kesebut gara-gara bahas soal kerjaan," celoteh ibu. Cepat-cepat menyambung dengan tanya, "Nak Jaya single, kan? Maksud Ibu, bukan suami orang, kan?"
"Reanya juga nggak mau kalau sama suami orang, Ibu." Sabar, Rea, sabar.
Tapi pertanyaan ibu sangat berbobot.
"Ibu nanya masmu, lho, Re. Demi kebaikan kamu juga," sergah ibu.
Oke, siap.
Rea mingkem lagi. Menatap mas-mas di depannya.
"Saya duda dan single." Jaya menjawab tanpa menutupi status dudanya.
"Oh ... duda." Mata ibu mengerling ke Rea.
Apa artinya kerlingan ibu itu? Rea malas menafsirkan.
"Iya, jadi saya berencana untuk bersegera saja menikahi anak Ibu. Apalagi Rea merantau di Jakarta, takutnya memunculkan perspektif negatif ke Rea di sini sebab pacaran sama duda."
Tapi bagaimana dengan mengatakan soal pernikahan sirinya? Rea berdebar, padahal tentang ini menjadi beban tanggungan Jayakarsa.
"Boleh, boleh. Ibu seneng, nih, dengernya. Nanti Nak Jaya bawa keluarganya aja ke sini, ya?"
Nah, lho ... bagaimana?
Bukankah pernikahan siri ini akan dilangsungkan secara rahasia dari keluarga Jayakarsa?
***