Tin.. Tin!!
Secara brutal, Niel menekan klakson mobilnya. Hal ini membuat beberapa satpam yang berjaga di pintu gerbang berlarian keluar dari pos.
“Ngapain lo pada keluar?! Buka gerbangnya!” Teriak Niel, melongokan sedikit kepalanya ditengah kaca yang terbuka. “Ck! Pada nggak becus amat dah!” Gerutunya mengomentari kerja satpam yang menurutnya tak kompeten.
Di samping pria muda itu, Zeusyu hanya diam. Sudah bukan hal baru melihat Niel melampiaskan kekesalan kepada semua orang. Memang begitulah tabiat pemuda yang dicintainya. Tak peduli salah atau tidak, ketika dirinya marah, semua orang akan terkena imbas kemarahannya.
“Silahkan Mas Niel!”
Setelah pintu gerbang rumah-nya terbuka, Niel kembali menginjak pedal gas. Ia memarkirkan mobilnya tepat di samping milik sang mama. Niel tak langsung turun. Di dalam mobilnya ia mengamati mamanya yang berdiri bersama Handoko di pekarangan rumah.
“Tunggu Mama pergi aja!” Ujar Niel melarang Zeusyu turun. Ia sedang malas berdebat dengan wanita yang melahirkannya. Wanita itu pasti akan banyak tanya nanti.
“Zeu!” Geramnya karena Zeusyu tak menurut. Gadis yang sejak kemarin membuatnya uring-uringan itu mengabaikan perintahnya. Mau tak mau, dirinya juga ikut turun, mengikuti langkah Zeusyu yang menghampiri sang mama.
“Loh, heh! Kalian kok udah pulang aja?!” tanya Amel, heran. Pasalnya jarum jam yang melingkar ditangannya baru menunjukan pukul delapan pagi. Sekolah punya nenek moyang siapa yang memulangkan siswanya satu jam setelah bel masuk? Belum lagi jarak Bumi Pena dengan rumahnya sangatlah jauh.
‘Fix anak gue madol nih!’ batin Amel, percaya jika putra yang tidak dirinya banggakan membolos sekolah.
“Kamu ngajarin Zeu nakal ya, Dek?! Wah! Parah kamu!” Tuduh Amel tepat sasaran. Pasalnya tidak mungkin sekali Zeusyu yang memiliki segudang prestasi memprakarsai agenda bolos mereka. Setiap ada jadwal shooting iklan saja, menantu idamannya tersebut memilih jam di luar sekolahnya.
“Mama nggak usah banyak tanya deh! Niel pusing! Urus nih menantu kesayangan Mama. Belum resmi pisahan aja, udah rela dicium sama cowok lain!” Curhat Niel colongan, seperti tengah mengadu pada mamanya.
“Really? Ya Ampun. Dicium siapa, Sayang? Ganteng nggak?”
Rahang Niel terbuka. Pria muda bergelar pangeran mahkota kerajaan bisnis Tirto itu menganga lebar, mendengar respon tidak manusiawi mamanya. Seharusnya wanita itu marah seperti dirinya, bukan malah girang seolah putri tunggalnya yang jomblo berhasil menggaet gandengan. Keluarganya tampaknya memang sudah benar-benar tak waras. Mereka bersekongkol ingin membuatnya mati muda karena masalah perjodohan ini.
“Ih.. Zeu, jawab Mama dong, Sayang. Siapa anak yang berani cium mantu kesayangan Mama ini?”
“Niel.. Niel!! Bocorin dong ke Mama?! Kamu kenal orangnya ya?!” Amelia Tirto, mengalihkan atensinya kepada sang putra. Ia ingin tahu siapa laki-laki yang sepertinya menaruh hati pada diri Zeusyu. Siapa tahu anak itu dapat diajak kerjasama untuk memanas-manasi Niel, supaya semakin kebakaran jenggot.
“Berisik!!” Sentak Niel. Ia menarik lengan Zeusyu dan membawa gadis itu memasuki rumahnya, meninggalkan sang mama yang sangat cerewet. Niel melupakan keteguhan hatinya yang kerap menolak keras untuk berdekatan dengan Zeusyu.
“Han, liat tuh, dibawa dong itu istri nggak dianggepnya.” Julid Amel sembari mencebikan bibir menyaksikan tingkah laku putranya. “Dia pasti balik gara-gara emosi tingkat dewa liat Zeu dicium sama cowok lain, Han.”
“Iya, Bu. Ini mata saya lagi ngeliat, Bu. Saya kan nggak buta.”
Amel memutar bola matanya. Manusia bernama Handoko ini memang paling jago menyurutkan kegembiraan dalam hidupnya.
“Karepmu, Han! Ayo ke kantor! Bapak udah sing-song gara-gara kita nggak nyampe-nyampe!”
“Bu, apa nggak sebaiknya kita pantau dulu mereka?!” Saran Handoko. “Kalau Mbak Zeu diapa-apain Mas Niel, gimana, Bu?”
“Bener juga, Han.. Kita buntutin pelan-pelan, Han. Jangan sampai mantu kesayangan saya, hamil sebelum ijab kabul sebenernya!”
Berkaca dari pengalaman, Amelia memutuskan mengorbankan suaminya di kantor. Biar saja tua bangka itu menunggu. Salah siapa Hanggono Tirto memiliki gen m***m, yang pastinya bisa menurun pada putra mereka.
Sedia payung sebelum hujan itu lebih baik, dibanding mereka harus basah-basahan. Kalau masuk angin sembilan bulan kan gaswat urusannya.
.
.
“Niel lepasin!” Zeusyu meronta. “Aku mau dibawa ke mana, Niel?” tanya-nya karena Niel tak melepaskan genggaman tangannya, bahkan ketika anak tangga teratas telah mereka lalui.
“Nggak usah banyak bacot! Ikut aja gue!”
Tarikan Niel yang jauh lebih kuat dibandingkan pertahanan dirinya, membuat tubuh Zeusyu tertarik. Tubuhnya terseret maju meski ia mencoba menahan bobot dirinya.
“Niel, No! Please! Aku mau pulang ke rumah.”
Nathaniel Rahardian Restian Tirto menulikan telinganya. Ia tidak akan melepaskan Zeusyu dengan mudah. Karena gadis ini, hari-nya memburuk, bahkan sejak matahari terbit di timur. Ia kesal setengah mati. Apalagi ketika mengetahui Zeusyu baik-baik saja usai pipinya dijamah oleh bibir Gamalael— musuh abadinya.
“Ngapain kita ke kamar kamu, Niel?”
Zeusyu panik. Tangannya yang terbebas berpegangan pada kusen pintu, supaya Niel tak berhasil memasukkannya ke dalam kamar pria itu. “Nggak mau! Kita bukan muhrim, Niel!” Ucapnya ketakutan. Meski mencintai Niel, sebagai seorang wanita ia selalu menjaga harkat dan martabatnya.
“Lo kan istri gue! Muhrim lah! Gue apa-apain juga nggak bakalan ada yang ngamuk. Happy malah mereka mau dapet cucu.” Jawab si lelaki enteng. Ia mengenal seberapa gila keluarganya. Tak akan ada manusia yang memarahi mereka.
“Nggak-Nggak!!” Keringat dingin mulai membasahi seragam Zeusyu. Tubuhnya gemetar, efek berpikir yang tidak-tidak. Ini merupakan kali pertama Niel membawanya ke ruang pribadi anak itu. Andai saja Niel tidak menciumnya tadi, mungkin ia tak akan berprasangka yang tidak-tidak.
“Lepas! Lepasin aku!”
“Oke.” Tanpa aba-aba, Niel melepaskan genggaman tangannya, membuat tubuh Zeusyu terjatuh. “Udah kan?!”
“Jahat!” Lirih Zeusyu merasakan sakit di pantatnya. Gadis itu menangis sembari menatap Niel. Di dunia ini, ia ingin membenci Niel dengan seluruh hatinya. Namun keinginannya tersebut tak dapat ia lakukan karena rasa cintanya yang terlalu besar.
“Lo yang minta sendiri ya, Bocil! Jangan salahin gue! Diem nggak lo! Ntar dipikir gue ngapa-ngapain lo!” Amuk Niel, menghardik. Tangisan Zues Yu terdengar menyebalkan di telinganya. Seharusnya gadis itu menangis ketika Gamalael menciumnya, bukan sekarang.
“Hais!” Desah Niel.
Niel berjongkok. “Diem, Bego!” Tangannya menoyor kepala Zeusyu, yang justru membuat sang gadis semakin kencang menangis.
“Gue cium lo lama-lama..”
Dan..
Haps! Layaknya sebuah mantra, bibir Zeusyu terlipat ke dalam. Tangisnya berhenti dengan mata mengerjap berulang kali, untuk menjatuhkan air mata yang tersisa.
“Oh, jadi gitu. Lo kalau gue yang cium, nggak mau makanya berhenti nangis?!”
Kenapa rasanya sangat menyebalkan ya?! Sebegitu tidak inginnya kah Zeusyu merasakan ciumannya? Katanya cinta, kok begini?!— pikir Niel dongkol sendiri pada akhirnya.
Di anak tangga, dua orang dewasa mengintip layaknya Pak RT dan warga yang ingin menyatroni rumah salah satu janda kembang. Keduanya celingak-celinguk, menunggu momen paling pas untuk keluar kandang. Melakukan penggerebekan tindakan asusila yang dilakukan secara terang-terangan ketika pagi hari.
“Kapan nih adegan ena-enanya?” Gumam Amel tak sabaran.
“Ibu nunggu?”
“Heem! Eh, nggak Han, enggak!!” Amel cepat-cepat merevisi jawabannya.
“MAS NIEL! IBU NUNGGU ADEGAN ENA-ENA! KAPAN MAU PROSESNYA?!!”
“HANDOKO!!” Teriak Amel kencang. Bisa-Bisanya anak buahnya malah meminta Niel untuk segera melakukan eksekusi. Mereka kan masih di bawah umur, belum boleh melakukan yang iya-iya. Kalau colong-colongan, lain lagi perkaranya.
Eh?!
Iya, begitu pokoknya!!