SEMBILAN

1325 Words
Dahulu kala, Niel begitu menggilai Zeusyu. Tak ada satu hari pun dalam hitungan kalender yang tak dirinya habiskan untuk memikirkan Zeu-nya. Siang, malam, di otaknya hanya ada Zeusyu seorang. Meski aroma playboy menguar dari keringatnya sejak usia tiga tahunan, Zeusyu akan tetap menjadi urutan nomor satu, pada list nama-nama kekasihnya. Ia bahkan dengan bangga memperkenalkan Zeusyu ke seantero dunia. Selalu meminta restu Zeusyu ketika matanya melirik gadis cilik lain, selayaknya Zeusyu memang yang istri pertamanya. Namun siapa sangka jika pada pergantian waktu, nama yang selalu mendominasi kehidupan Niel tersebut dapat tergeser oleh gadis lain. Perkembangan membuatnya berubah seiring waktu yang berlalu. Tak ada lagi Zeusyu yang melekat di dalam hatinya, sosok kecintaan Niel kecil itu benar-benar sudah menghilang dan tergantikan oleh Meyselin. Di balkon kamarnya, Niel menghabiskan senja yang menurutnya kelabu. Sore harinya ditemani oleh secangkir es kopi yang dirinya pesan melalui jasa antar. Tak ketinggalan, berbatang-batang rokok telah habis dirinya bakar. Ia menghembuskan napas bersamaan dengan asap rokok yang mengepul dari lubang hidungnya. Ingatan tentang tindakan impulsive-nya di mobil kembali berputar, menyeruak ke permukaan, mengganggu isi kepalanya yang penuh dengan banyaknya pikiran. Dari bibir yang berulang kali mengungkapkan rasa cintanya, Niel merasakan manis yang tak ia temukan pada diri sang kekasih. Rasa yang ditawarkan bibir Zeusyu teramat berbeda hingga membuatnya tak dapat melupa. Ciuman sepihak yang dirinya layangkan, nyatanya membekas dalam ingatannya. Niel tak bisa melupakan betapa manisnya ciuman pertama mereka. Walau hanya sebentar saja, bekas yang ditimbulkan rupanya tak singkat. “Argh! Apaan sih! Kayak baru ciuman aja gue!” Racaunya, marah pada diri sendiri. Perilakunya ini jelas merupakan sebuah pengkhianatan terhadap Meyselin. Ia tak boleh larut pada rasa manis yang pernah dirinya sesap. ‘Maaf, Sayang. Aku nggak bakalan ulangin lagi. Itu tadi cuman reflek karena dia banyak bacot,’ batinnya, mencari-cari pembenaran atas kesalahan yang dirinya perbuat. Zeusyu— Nama itu benar-benar mengganggu. Kapan ia terlepas dari belenggu yang membuatnya tersiksa? Rasanya Niel tak sabar. Harus kah ia melepaskan Zeu ke tangan keponakannya? Dengan begitu ia dapat hidup tenang bersama Meyselin. Dari tempatnya berdiri, Niel mengamati sosok yang memenuhi pikirannya. Kepalanya menggeleng, tak menyetujui pikiran yang bersarang di dalam benaknya. Ia tidak akan memberikan kebebasan untuk orang yang telah mengacaukan hari-hari tenangnya. Setidaknya Zeu harus merasakan duka lara, serta kesulitan yang Meyselin rasakan karena dirinya. Dendam dalam hatinya memang telah mengakar sampai ke ubun-ubun. Andai bukan karena keegoisan Zeusyu, ia dan Meyselin tak akan terpisah. Kekasihnya tak mungkin menjauh dan menolak hubungan mereka. “Lo harus menderita di tangan gue, Zeu. Kalau Mesye nggak bisa gue dapetin, sampai mati tandanya lo nggak boleh ngerasain bahagia.” Secuil kebahagiaan yang mungkin tercipta di hidup Zeusyu, Niel akan menghancurkannya dengan kedua telapak tangannya. “Anjing panas.” Pekik Niel, kesakitan. Karena terlalu asik bergelut dengan pikiran jahatnya, ia sampai salah mengarahkan puntung rokok. “Sialan! Gara-Gara lo nih, Zeu. Kesundut rokok gue jadinya!” Dumelnya, menyalahkan Zeusyu. Di matanya, Zeusyu terlanjur hitam. Apa pun berkenaan dengan gadis itu akan terlihat salah. Contohnya saja dengan tragedi yang baru saja dirinya alami. Padahal manusia yang dijadikan kambing hitam tak melakukan apa-apa. ‘Pokoknya semua salah Zeu! Titik!’ Tekannya tetap melimpahkan apa yang menimpanya pada sang istri settingan. Ia mendengus, sembari menatap tajam sosok yang menyirami tanaman di rumah milik omanya. “Kak Zeu!!” “Kayak suara bocil kematian!” Mendengar suara yang begitu familiar di telinganya, Niel lantas mengalihkan atensinya. Bola matanya langsung menyorot pada anak laki-laki hasil percampuran silang antara kakak perempuannya dengan seorang pria berdarah biru. Benar saja.. Terlihat seorang anak laki-laki dengan seragam putih biru tua, berlarian usai keluar dari mobilnya. Ditangan anak itu, tergenggam buket bunga mawar merah. Pemandangan ini kontan membuat Niel ingin melompat turun. “Patah tulang gue yang ada!” Gumamnya. Ia mengubur kembali niatan ekstrimnya. Tubuhnya berputar, memilih jalan lebih manusiawi untuk menghampiri Angkara— Adik sekaligus antek-antek Raksa dalam meminang hati Zeusyu. “Tuh Angkara Murka pasti disuruh Abangnya. Ck! Nggak ada kapoknya tuh bocil udah gue kasih capung pusernya!” Niel tidak cemburu. Perasaan itu tidak pernah ada untuk Zeusyu. Ia hanya tak suka jika ada orang yang menginjak-injak harga dirinya. Selama Zeusyu masih berstatuskan istri settingannya, selama itu pula egonya tak memperbolehkan Raksa atau pun laki-laki lain menunjukkan eksistensinya. Mereka yang menyukai Zeusyu dapat merusak rencananya dalam menyakiti wanita itu. “Kakak.. Abang Raksa nitip ini.” Nah kan.. Dugaannya tidak meleset sama sekali. Anak kedua kakak tertuanya merupakan jongos andalan sang kakak selain para abdi dalemnya. Benar-Benar tidak bisa dibiarkan. Jika begini, Zeusyu akan memiliki kebahagiaan bersama pria lainnya. “Woi, Angkara Murka!!” Sentak Niel dari kejauhan. “Oit.. What’s up, Pak Lek?!” “Pak Lek, Pak Lek!” Sebenarnya tidak ada yang salah dalam penyebutan yang dilakukan oleh Angkara kepada Niel. Secara struktur keluarga, Angkara memang keponakan Niel. Hanya saja, menurut Niel panggilan tersebut sungguh kurang enak di dengar. “Gue jitak lo! Panggil gue Abang, Bocah!” Amuknya sembari merebut bunga yang telah berpindah ke tangan Zeusyu. “Apaan nih? Lo mau sabotase bini gue?!” “Niel punya aku.” Ucap Zeusyu, mencoba meraih bunga pemberian Raksa. “Loh! Kata Oma udah pisahan, Bang? Kan sekarang Kak Zeu yang cantik jadi calon kakak ipar Kara.” “Ngadi-Ngadi lo, ya!” “Oma yang bilang, Pak.. Hehehe.” Melihat mata pamannya yang melotot, Angkara membuka mulutnya, menunjukan cengiran andalannya, “Bang.” Koreksinya tak ingin membangkitkan setan di tubuh sang paman muda. Ia kapok berurusan dengan calon penerus kakeknya. Terakhir mengerjai paman yang memiliki usia setara abangnya tersebut, sepeda gunungnya tersangkut di atas pohon. Mana itemnya jadi terpisah-pisah seperti mainan yang tak dijual dalam satu etalase toko. “Oma lo udah tua! Dia pikun udahan! Maklumin aja kal…” “Niel..” “Diem!” Niel menghardik Zeusyu karena memotong kalimatnya. “Nggak usah ikut-ikutan lo bini durhaka! Belom kelar ya urusan kita tentang si Gelael!” “Tapi..” “Hash! Shut your f*****g mouth! Gue selesein dulu urusan sama jongosnya selingkuhan terbaru lo!” “Oma beneran udah punya penyakit pikun, Bang?” tanya Angkara. Pemuda yang duduk di bangku kelas tujuh tersebut, menanti-nanti jawaban Niel dengan tampang excitednya. “Yoi! Kemaren dia naroh celana dalem aja, lupa dimana. Ini pake segala bilang gue udah pisahan sama Zeu. Hoaks! Abang lo kemakan pikunnya Oma. Tanya aja ke Nenek kalau nggak percaya, Cil. Gue sama Zeusyu adem ayem tuh. Zeu aja lagi hamil anak gu..” “Ngomong apa kamu Nathaniel?! Sempak siapa yang Oma lupa taroh?!” Kepala Niel miring ke kiri karena kuping kanannya ditarik ke atas. Ia mengerjapkan mata berulang kali, mencoba menggali kesadarannya setelah menangkap suara wanita yang dirinya ghibahkan. “Ah, nggak mungkin Oma kan? Dia kan duduk di kursi roda.” Niel menatap Zeusyu dan Angkara bergantian. “Iya kan?” tanya-nya sekali lagi karena tak mendapatkan jawaban. “Lek, nengok aja, Lek. Oma beneran ini, even nggak ada badaknya.” Seloroh Angkara memberitahu jika manusia yang menjewer telinga Niel memang Oma Sukma yang mereka maksud. “Kamu kira abis operasi Oma lumpuh permanen? Anak kurang ajar kamu, Niel! Jangan gangguin Zeu lagi! Dia sekarang punya keponakan kamu!” “Oma.. Nggak bisa gitu dong!! Nggak sah! Niel sebagai suami belum kasih restu.” Sembari menahan kesakitan karena diseret, Niel mengemukakan penolakannya. “Suami apanya! Kamu cuman mantan tunangan nggak tau di untung! Udah diem aja kamu! Sekarang kamu bebas! Biarin Zeu jadi milik Raden Mas Raksa.” “MOH!” Jerit Niel. “Oma nggak ngurus! Salah sendiri ngelewatin kesempatan. Masamu buat milikin Zeu udah habis!” “Dia hamil anak..” “ANAK KUCING!” Geram Sukma tak habis pikir dengan bualan cucu kesayangannya. Tega-Teganya anak itu ingin menipu sesepuh seperti dirinya. “Ngasal banget kamu kalau ngomong, Niel! Jangan bercandaan soal beginian! Oma nggak suka, Niel!!” Bentaknya. “Yeee nggak percaya! Tunggu aja sembilan bulan ke depan!” Plak!! “Em.. Enyoy, ditampar Oma.” Mewakili Niel, Angkara memegangi pipinya. Anak itu tertawa renyah, mengejek kengenesan pamannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD