Koridor lantai tujuh terasa makin sempit. Udara dingin dari AC menusuk kulit, tapi keringat dingin justru menetes dari pelipis Arielle. Ia berdiri lagi meski lututnya lemas. Kedua tangannya menempel di daun pintu, telinganya menajam, berharap ada suara apa pun yang menandakan Alvaro masih di sana, masih bertahan. Matteo menerima telepon, bahunya menegang. “Kau yakin?” tanyanya singkat, suaranya merendah namun penuh tekanan. “Baik. Kunci semua tangga darurat. Tutup lift staf. Jangan ada satu pun yang naik.” Klik. Ponsel disimpan. Matteo berbalik, sorot matanya berubah jadi alarm merah. “Nyonya, kita harus keluar sekarang,” katanya tegas. Arielle menatapnya seperti orang yang baru saja ditarik dari mimpi buruk lalu didorong ke tebing. “Tidak. Aku tidak pergi, Matteo. Dokternya belum kelua