Bab 6. Madu Kurang Ajar

1354 Words
“Pergi …,” lirih Mira. Wanita itu tidak bisa makan dengan baik, dia masih belum ikhlas mendapat madu karena kenyataan suaminya menduakan dirinya. Mira merasa semua orang di rumah itu tidak ada yang berpihak sedikitpun padanya walaupun dia sudah mengeluarkan banyak air mata kepedihan. “Maafkan aku, tapi aku akan tetap di sini bersamamu,” ucap Bima pelan. Mira masih memunggungi suaminya enggan melihat wajah Bima yang akan membuat dirinya makin sesak. “Pergilah … istrimu pasti sudah menunggu,” ucap Mira dengan suara yang nyaris hilang. “Kau istriku, Mir …,” lirih Bima. Bima meraih tubuh Mira ke dalam pelukannya, dia benar-benar menyesal atas semua yang terjadi, jika saja dia bisa tahan sedikit dengan godaan Arumi mungkin hal ini tidak akan terjadi. Bima mengecup puncak kepala Mira agak lama, dia baru merasa bersyukur sekarang karena Mira masih bertahan di sisinya yang menyakitkan seperti ini, tidaklah banyak wanita yang memilih bertahan meski sudah disakiti dan jika posisinya dibalik apakah Bima bisa sekuat Mira? “Terima kasih sudah mau bertahan, aku akan menceraikan Arum setelah dia melahirkan, selama itu aku tidak akan menyentuhnya dan akan selalu memprioritaskanmu di atas segalanya,” bisik Bima. Tidak ada jawaban dari Mira, hanya isakan tangis yang terdengar seperti ditahan menyapa kesunyian kamar mereka, sudah banyak air mata yang jatuh membasahi bantal. Tidak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar, Mira dan Bima sudah bisa menebak siapa itu, jika bukan Dewi pasti Arumi yang meminta jatah malam pertama. Terpaksa Bima harus membukakan pintunya dan melihat Arumi sudah ada di hadapannya dengan menggunakan lingerie tipis berniat menggoda Bima, tapi sayangnya Bima sama sekali tidak tergoda, justru malah terasa muak melihat wajah Arumi. “Mas, bukannya sekarang kau harusnya tidur denganku?” tanya Arumi tersenyum centil ke arah Bima. “Kembali ke kamarmu, aku tidak akan tidur denganmu malam ini dan selamanya,” tandas Bima. Arumi menatap Bima tidak percaya, padahal dia sudah berdandan sangat lama dan sudah memakai wewangian untuk menggoda Bima, tapi sayangnya pria itu tidak terlena sedikitpun, malah tatapan muak yang Arumi dapat. “Mas, bukannya kau harus berlaku adil padaku juga, sekarang giliran aku yang kau temani tidurnya bukan Mbak Mira,” desak Arumi. “Dengar, Arum. Yang terjadi pada kita itu hanya kesalahan, aku sama sekali tidak mencintaimu, aku hanya khilaf, aku masih sangat mencintaiku istriku dan akan selamanya begitu, jadi jangan terlalu berharap banyak sebagai istri keduaku,” ungkap Bima dengan tatapan datarnya. “Mas … keterlaluan sekali kau, apanya yang hanya kesalahan? Kesalahan sampai kau merasa nyaman dan menceritakan tentang masalah rumah tanggamu padaku? Kau juga menceritakan tentang istri pertamamu padaku, jangan pura-pura lupa waktu itu kau mengeluhkan tentang istrimu waktu kau tidur denganku!” ujar Arumi kesal. Mata Arumi mengembun air di pelupuk mata, hatinya terasa sangat sesak ketika mendapat perlakuan tidak mengenakan di malam pertamanya. “Tapi itu memang kesalahan, aku hanya menganggapmu pelarian ketika aku lelah, tetap istriku yang menjadi tempatku untuk pulang dan bukannya dirimu, Rum.” Bima ingin sekali mengakhiri pembicaraan ini dengan Arumi sesegera mungkin. “Mas, kau benar-benar keterlaluan, aku juga istrimu bukan hanya Mbak Mira,” ucap Arumi dengan suara tercekat. “Kembali ke kamarmu, apa pun yang kau bicarakan aku tidak akan tidur denganmu malam ini,” tandas Bima. Bima langsung menutup pintunya tidak membiarkan Arumi berbicara lebih lama lagi, sudah cukup Bima menyakiti istrinya dengan menikah lagi, tidak ingin dia menyakiti istrinya lagi dengan kedekatannya dengan Arumi di rumah ini. *** “Permisi, Pak.” Bima masuk ke ruangan dengan sikap yang sangat sopan sekali ke ruangan Tama. Bima menampilkan senyum sumringahnya, dia berpikir kalau dirinya beruntung karena Tama memanggilnya untuk bekerja langsung di bawahnya. Bima jadi merasa penting, ditambah lagi karena insiden yang Mira ceritakan kalau Tama memberikan kartu namanya pada Mira hanya karena menumpahkan minumannya. Sedangkan Tama menatap Bima dengan begitu intens, dia jadi teringat wajah Mira menangis setiap kali melihat wajah Bima, hampir saja Tama tidak bisa mengontrol emosinya di hadapan Bima. “Ini, Pak. Terima kasih sudah meminjamkan istri saya,” ucap Bima menyodorkan jas yang sudah dicuci dan juga dilipat rapih. Tama melihat sekilas, pura-pura mengernyitkan alisnya kemudian menatap Bima lagi. “Istrimu? Sepertinya aku tidak pernah meminjamkan ini ke istrimu, Arumi,” ucap Tama pura-pura tidak tahu. Bima jadi bingung sendiri bagaimana menjelaskannya, yang dia tahu Tama hanya datang ke pernikahannya dengan Arumi, sepertinya Bima berpikir kalau Tama mengira Arumi adalah istri sahnya. “Bu-bukan, Arumi itu istri kedua saya, anda meminjamkannya ke istri pertama saya waktu tidak sengaja menumpahkan minuman di pesta waktu itu,” jelas Bima gugup. Tama meraih jas itu, kemudian menaikan sebelah alisnya dan tersenyum miring melihat bagaimana sosok pria tukang selingkuh itu begitu gugup hanya dengan satu pertanyaan seperti itu. “Oh … jadi yang aku hadiri itu pernikahan keduamu?” tanya Tama lagi memancing. Bima semakin gugup ditanya begitu, pasalnya dia sudah membuat citra yang sangat baik di kantor, tapi semuanya hancur dengan mudah hanya karena menikahi Arumi, ditambah lagi Tama yang merupakan orang paling penting di perusahaan memanggilnya adalah kesempatan emas, tapi Tama terlihat begitu ragu padanya. “I-iya,” jawab Bima yang masih gugup. "Lihat si br*ngs*k ini, terlihat sangat bangga dengan perselingkuhannya, padahal dia bukan pria berani atau sehebat itu sampai menduakan wanitaku!" batin Tama. “Oh … aku harap itu tidak mengganggu kinerjamu kepadaku karena mempunyai dua istri,” ucap Tama masih berpura-pura. “Baik, Pak. Saya pastikan itu tidak akan mengganggu kinerja saya, saya akan berusaha bekerja dengan baik di bawah pimpinan, Bapak.” "Dasar pria t***l, baru aku gertak seperti itu saja sudah panik sampai keringat mengucur, selingkuh berani, tapi begini saja sudah ketakutan! Rupanya kau takut kehilangan pekerjaan dan berusaha menjilatku," batin Tama. “Ya sudah, kau bisa bekerja mulai sekarang dan jangan buat kesalahan sekecil apa pun,” ucap Tama sembari kembali fokus pada laptop di hadapannya. Bima langsung keluar dari ruangan Tama dengan keringat bercucuran panik, sedangkan Tama menampilkan senyum meledeknya begitu Bima keluar dari ruangan. “Dasar br*ngs*k!” umpat Tama. *** Mira mencuci wajahnya yang masih terasa mengantuk karena menangis semalaman, ternyata hanya menangis menguras banyak tenaganya sampai dia merasa terus kelelahan. Walaupun Bima memeluknya semalaman dan tidak menghabiskan malam dengan istri barunya, itu sama saja tidak membuat perasaan Mira membaik, hatinya masih sakit sampai lidahnya terasa kelu enggan makan apa pun. “Ck ck ck, kau baru bangun siang begini? Enak sekali ya, bukannya malah membantu membereskan rumah,” cibir Dewi yang baru saja muncul dari belakang. Membereskan rumah? Apa tidak salah? Yang menikah bukan Mira, tapi malah dia yang dituntut untuk membersihkan sisa acara kemarin, padahal ada Arumi yang menonton televisi dengan santai di sana. Tidak puas memaki Mira dari kemarin, Dewi juga terlihat ingin memulai peperangan di pagi hari dengan Mira, sedangkan Mira hanya bisa menghela napas lelah melihat mertua yang tidak ada habis menghinanya. “Bukannya menjawab malah diam saja! Setidaknya kau menyapu depan rumah sanah!” suruh Dewi. “Aku baru saja selesai mencuci dan menjemur, Bu. Di sana ada Arumi yang sedang bersantai kenapa Ibu tidak menyuruhnya saja?” kilah Mira. “Arum sedang hamil muda dan juga dia baru di rumah ini, seharusnya kau memperlakukan dia dengan baik, bukannya memperlakukan dia seperti pembantu,” sanggah Dewi. Mira terpaku mendengar balasan Dewi, segitu pilih kasihnya Dewi sampai melupakan kalau Mira juga tengah hamil dan sudah melakukan pekerjaan rumah, seharusnya pekerjaan rumah dibagi bukan dilimpahkan hanya ke dirinya saja. “Bu, aku juga sedang hamil, Ibu harusnya bisa mengerti juga, pekerjaan rumah harus dibagi tidak dilimpahkan hanya ke aku saja,” ucap Mira agak kesal. “Kau tidak punya otak untuk berpikir ya, Mir?! Kau sengaja menggagalkan malam pertamanya sampai dia harus menangis dan kau ingin membuatnya kelelahan sepanjang hari? Dia sudah bekerja dan kau tidak! Sudah paling adil kalau dia dan Bima bekerja, sedangkan kau beres-beres rumah karena hanya itu yang kau bisa!” bentak Dewi. Arumi yang mendengar hal itu tersenyum miring melihat pembelaan ibu mertuanya yang terus menekan Mira secara mental maupun fisik, dia jadi merasa seperti nyonya di rumah ini. "Hanya karena aku tidak bekerja, Ibu mertuaku jadi semena-mena begini? Apa aku sangat tidak pantas dihargai di rumah ini?," batin Mira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD