“Bagaimana sih, Mbak?! Sudah sore begini belum juga masak, aku sudah lapar! Aku sedang hamil tidak boleh telat makan!” teriak Arumi pada Mira.
Mira menatap tajam Arumi yang semakin menjadi tidak menghormatinya karena ibu mertuanya selalu membela Arumi dalam segala hal.
Padahal Mira baru saja selesai membersihkan kamar mandi dan ingin istirahat dulu, tapi makian Arumi sungguh mengundang emosinya ketika sedang lelah begini.
“Kenapa bukannya kau saja yang memasak untuk mulutmu sendiri?! Kenapa harus aku?! Aku sudah lelah sedari tadi membersihkan rumah seharian dan belum istirahat sama sekali, sedangkan kau hanya berleha-leha dari tadi dan tidak satupun membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah!” teriak Mira balik.
Mira sangat kaget begitu ibu mertuanya muncul dan langsung memberikan tamparan ke wajahnya, pipi Mira terasa nyeri, tapi hatinya lebih nyeri lagi mendapat kekerasan fisik dari Dewi.
“Sudah aku bilang tugasmu itu di rumah! Tugas Arumi dan Bima bekerja! Kau bukan anak kecil sampai aku harus mengatakannya berulang kali …!” teriak Dewi dengan sangat lantang.
Mira masih diam merasakan sakit di hatinya, dia tidak menyangka jika menjadi menantu di keluarga ini akan sangat sulit seperti ini.
“Tapi dia sekarang tidak bekerja, Bu! Dia masih sangat sehat untuk hanya sekedar memasak!” kilah Mira tidak terima.
Dewi melotot ke arah Mira yang berani berteriak padanya dan juga Arum dengan tatapan tidak sukanya pada Mira, mereka berdua menghujani Mira dengan semua kesalahan.
“Berani sekali kau berteriak begitu padaku! Jangan tidak tahu diri begitu, kau sengaja membuat menantuku kelelahan padahal dia tengah hamil?!” maki Dewi.
Tangan Mira mengepal kuat di kedua sisi, Mira merasa sangat jomplang pilih kasih ibu mertuanya itu sampai harus melupakannya berkali-kali.
“Bu, aku juga menantu, Ibu …! Aku juga tengah hamil, bukan hanya dia! Yang sengaja itu kalian, kan?! Kalian sengaja membuat aku kelelahan sepanjang hari agar bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa untuk menyingkirkanku dari rumah ini, itu yang kalian pikirkan, kan?!” teriak Mira menjadi-jadi.
Bukan permintaan maaf yang Mira dapat, malah tamparan kedua di pipi sebelahnya dengan lebih kuat hingga membuat sudut bibirnya berdarah.
“Wanita bi*dab …! Berani-beraninya kau menuduh kami sejahat itu, yang jahat itu ibumu dan menurun ke kau, anaknya!” cerca Dewi.
“Cukup, Bu! Jangan bawa-bawa ibuku, ibuku memang bersalah, tapi bersalah pada orang lain bukan pada kalian, dia tidak punya salah apa pun pada kalian dan aku juga tidak punya salah terhadap kalian …!”
Dewi makin kesal, dengan entengnya Dewi sekali lagi menjatuhkan tamparan kuat pada Mira yang sudah meneteskan air matanya.
“Ibu …!”
Bima baru saja masuk sudah disuguhkan pemandangan tidak baik di hadapannya, baru pulang melihat istrinya ditampar oleh ibunya adalah hal yang menyakitkan dan bisa juga dirasakan olehnya.
Bima langsung menghampiri istrinya dan melihat dengan teliti wajah istrinya, terlihat kedua pipi yang memerah dan sudut bibir yang berdarah, ditambah keadaan istrinya yang menangis pilu membuat Bima geram.
“Apa-apaan Ibu menampar Mira seperti itu?!” tanya Bima tidak terima.
“Ibu hanya memberikan dia pelajaran karena sudah berani berteriak pada Ibu, dia juga tidak mau memasak padahal Arum sudah lapar,” jelas Dewi dengan percaya dirinya.
“Hanya karena perkara memasak Ibu sampai seperti ini pada Mira?! Ibu benar-benar keterlaluan, aku tidak akan memaafkannya jika Ibu mengulangi hal yang sama!” teriak Bima.
Dewi melotot melihat Bima juga ikutan berani meneriakinya. “Kau jadi melawan pada Ibu hanya karena membela wanita itu, wanita itu memang benar-benar membawa pengaruh buruk padamu, Bima. Kau ceraikan saja dia, daripada semakin lama kau semakin durhaka pada Ibu!” perintah Dewi.
Bima melotot balik ke ibunya seakan tidak takut jika disebut anak yang durhaka. “Dengar, Bu. Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan Mira!” tandas Bima.
“Dan kau …!” Bima menunjuk ke wajah Arumi yang tampak sangat takut dengan kemarahan Bima.
“Urus dirimu sendiri, jangan meminta istriku untuk melayanimu, dia bukan pembantumu! Jika aku mendengar seperti kejadian ini lagi, aku akan membuangmu saat itu juga!” ancam Bima.
***
Mira berbelanja bahan makanan untuk seminggu ke depan, setelah perdebatan mereka semua akhirnya Bima yang menentukan pekerjaan masing-masing di rumah.
Bima hanya menugaskan Mira berbelanja dan mencuci pakaiannya sendiri dan sisanya Bima limpahkan ke ibu dan istri keduanya. Setidaknya itu membuat Mira sedikit merasa lebih baik walau belum semua pulih rasa sakitnya.
“Kau ingin mengambil ini?” tanya seseorang dengan suara begitu rendah dari belakangnya.
Mungkin berniat mengambilkan karena tangan Mira tidak sampai untuk mengambilnya. Mira menoleh ke arah sumber suara, berdiri pria gagah juga tampan di hadapannya dan wajahnya sangat tidak asing.
“Kita bertemu lagi,” ucap pria itu.
Mira mengingat betul kalau pria di hadapannya sekarang yang menumpahkan minuman waktu itu, Mira menyunggingkan senyuman simpul menyapa Tama yang berada di hadapannya.
"Kedua pipinya bengkak dan sudut bibirnya terluka, apa pria itu yang membuatnya seperti ini?" batin Tama.
Tapi sayangnya Mira tidak sadar kalau Tama juga menghadiri pesta pernikahan suaminya dan selingkuhannya karena wanita itu hanya menunduk terus dan menangis meratapi kesedihannya.
“Terima kasih sudah mengambilkan,” ucap Mira dengan senyum tipisnya.
“Kita sudah bertemu dua kali, tapi kita tidak tahu nama masing-masing. Kenalkan, aku Pratama, kau bisa memanggilku Tama,” ucap Tama memberi salam jabat tangan pada Mira, sebenarnya Tama sudah tahu nama lengkap Mira, itu hanya pura-pura saja.
“Aku Mira.” Mira menerima jabatan tangan Tama dengan mudah.
“Kau sendirian ke sini?” tanya Tama basa-basi.
Mira mengangguk pelan. “Iya, aku sendirian ke sini,” jawab Mira.
Terbesit pikiran jelek tentang Bima di otak Tama yang membiarkan Mira berbelanja dan mengangkat barang bawaan yang berat sendirian.
'Sungguh pria tidak punya otak," batin Tama.
“Sepertinya barang bawaanmu berat, biar aku yang membantumu, akan aku antar kau pulang juga,” ucap Tama.
Mira cukup tertegun, padahal bagi Mira mereka baru kenal, tapi Tama bisa jadi sebaik ini padanya.
"Apa dia masih merasa bersalah karena tumpahan minuman waktu itu?" batin Mira.
“Tapi—”
Belum sempat Mira melanjutkan kalimatnya untuk menolak, Tama sudah meraih semua barang bawaannya menuju kasir.
“Tunggu … kau sudah membayar semuanya? Aku bawa uang untuk membayar itu, kok. Biar aku mengganti uangmu.” Mira baru saja sampai kasir karena jalannya yang agak lambat.
Tama menggeleng pelan sembari tersenyum, kemudian dia membawa semua barang bawaan ke parkiran dengan terpaksa membuat Mira harus mengikutinya lagi.
“Masuk …,” perintah Tama yang sudah membukakan pintu mobil untuk Mira.
Mira celingak-celinguk melihat pria itu sudah menyimpan semua barang di bagasi dengan begitu cepatnya dan yang paling membuat Mira kaget Tama juga membukakannya pintu mobil seperti nyonya saja.
“Kau tidak mau masuk?” tanya Tama yang senyumnya mulai pudar karena Mira tidak segera masuk.
“Tapi, Pak. Kita baru saja mengenal, kenapa Bapak berlaku sebaik ini. Jika karena masalah tumpahan minuman waktu itu, aku sudah memaafkannya, itu hanya kesalahan kecil yang tidak perlu diperbesar,” ungkap Mira.
Tama mengulum senyum kecil, wanita satu ini sangat sulit diakali hanya dengan bermodal sedikit uang dan menyunggingkan wajah tampannya, Mira benar-benar berbeda dengan kebanyakan wanita pada umumnya yang tergila-gila padanya yang hanya digoda dengan menebar senyuman saja bisa membuatnya dikejar-kejar.
“Masuklah dulu nanti kau juga tahu … aku kenal suamimu, dia bekerja padaku,” bujuk Tama.
“Oh ya …? Jadi Bapak teman suamiku?” tanya Mira antusias.
'Teman apanya? Aku tidak sudi berteman dengan suamimu yang kep*rat itu!" batin Tama.
“Tidak bisa disebut teman juga karena kita saling mengenal dalam ikatan bisnis, tapi kau bisa menyebut aku rekan suamimu,” jawab Tama masih enggan disebut temannya Bima.
Akhirnya Mira memberanikan diri masuk ke mobil Tama dengan alasan mengenal suaminya saja, sangat mudah jika Tama ingin menculik Mira hanya dengan bermodal embel-embel suaminya.
Tama mulai melajukan mobilnya membelah jalanan yang sepi sambil sesekali mencuri pandang ke Mira yang terlihat fokus menatap lurus ke depan.
Semua sikap lembut dan keramahannya yang tadi itu palsu, Tama menggeram kesal dalam hati karena melihat Mira terluka, ingin sekali dia bersumpah serapah jika saja Mira tidak ada di hadapannya saat ini.
“Ingat baik-baik namaku, siapa tahu nanti kita akan bertemu lagi,” ucap Tama tersenyum miring.