Bab 8. Dendam Kakak

1372 Words
“Jadi adikku itu dimadu oleh suaminya? Kesian sekali dia,” ucap seorang wanita cantik dengan pakaian sexy menyesap teh yang disajikan. “Benar, Nona. Pernikahannya masih belum lama terjadi, sekitar tiga hari yang lalu,” ucap salah seorang pelayan. “Pantas saja dia tidak mengundangku ataupun keluarga ini, rupanya dia malu untuk menampakan wajahnya karena menerima karma dari ibunya dulu.” Seorang pelayan keluar dari pintu megah menghampiri wanita yang sedang duduk menikmati teh hangat di sore hari. “Nona Zellia, maaf sebelumnya mengganggu waktu anda di sore ini, tapi tadi Tuan menyuruh saya untuk menyampaikan pada anda kalau beliau menunggu anda di ruang utama,” jelas seorang pelayan yang baru saja masuk. Zellia menghela napas lelahnya, sudah sangat lelah rasanya dia menghadap sang kakek, sudah berkali-kali juga dia menjelaskan dia tidak akan menikah jika itu bukan dengan pria yang diharapkan. Tapi tetap saja dia harus menemui kakeknya yang keras kepala itu, dengan kesadaran penuh Zellia membuka pintunya, dia mendapati pria tua sedang duduk santai di hadapannya. “Ada apa Kakek memanggilku?” tanya Zellia pura-pura tidak tahu. “Kapan kau akan menikah?” tanya Zorion. Zellia menghela napas kasar, pertanyaan kakeknya hanya seputar itu dan itu saja tidak ada yang lain sampai membuat telinganya sangat pengang. “Kakek, kita sudah membahas ini, aku tidak akan menikah jika bukan dengan Pratama, Kek.” Zellia membanting dirinya duduk di hadapan Zorion. “Tapi Pratama sudah menolak perjodohan denganmu dan itu sudah lama sekali, kau masih belum menerima penolakan itu. Lihat, adikmu saja sudah menikah,” ucap Zorion. Zellia memandang nyalang Tuan Zorion. “Adik yang mana? Zergan bahkan belum menikah,” ketus Zellia. “Adikmu, Mira.” Zorion menyesap kopi di hadapannya. “Dia bukan adikku, Kakek. Berhenti menyebut dia adikku, dia bukan bagian dari keluarga ini,” ucap Zellia marah. Zorion menghela napas kasar, melihat sikap cucunya yang masih acuh tak acuh tak mau akur dengan keluarganya. “Kau masih membencinya tanpa sebab begitu, biar bagaimanapun dia adik kandungmu, tidak baik satu keluarga saling membenci begitu,” tegas Zorion. “Tanpa sebab apanya? Jelas-jelas ibunya penghancur keluarga ini, aku tidak akan melupakan dan memaafkan mereka yang telah menyakiti hati Mama,” ungkap Zellia. “Jangan bicara sembarangan, Zellia! Kau tidak tahu apa-apa, waktu itu kau masih sangat kecil dan belum mengerti apa pun, mereka sama sekali tidak bersalah! Yang bersalah itu ayah dan ibumu, bukan mereka! Jangan sekali-kali menyalahkan mereka seperti itu!” tegas Zorion. “Kakek selalu membela mereka, padahal sudah jelas mereka yang merusak kebahagiaan Mama sampai akhir hayat pun Mama merasakan sakit hati karena mereka … sayang sekali jika Kakek mengatakan kalau mereka tidak bersalah, buktinya sekarang Mira sedang memanen hasil dari ibunya,” ucap Zellia tersenyum miring. Zellia menyilangkan kakinya dengan sangat angkuh di hadapan kakeknya, dia ingin menunjukan kalau anggapan kakeknya salah dan yang benar adalah dirinya. “Apa maksudmu?” tanya Zorion mengernyitkan alisnya. Zellia tersenyum penuh kemenangan mendapat pertanyaan yang dinantikan dari sang kakek, dia tidak sabar melihat ekspresi kakeknya ketika mendengar kabar buruk tentang Mira. “Cucu kesayangan kakek itu dimadu oleh suaminya dan sekarang dia tinggal bersama serumah dengan istri keduanya,” ungkap Zellia dengan senyum liciknya. *** “Kau tadi diantar siapa? Mobilnya bagus tidak seperti mobil taxi, tuh,” tanya Bima heran. Bima melirik ke arah mobil yang baru saja pergi dan membantu Mira mengangkat barang belanjaan yang di bawa. “Tadi aku diantar Pak Tama,” jawab Mira. Bima spontan kaget melotot menatap istrinya, dia merasa kalau dirinya yang salah dengar, rasanya tidak mungkin seorang Pratama mau menyempatkan waktu menolong orang lain, tidak mungkin karena kasihan Mira sedang hamil. “Tama …? Pratama?!” tanya Bima setengah berteriak membuat Mira terlonjak kaget. “Iya, kenapa berteriak begitu?” tanya Mira ikutan kaget melihat ekspresi suaminya. Entah mimpi apa dia semalam sampai bisa berurusan dengan Tama yang termasuk orang sibuk dan tingkat ketidakpedulian yang tinggi, tapi bisa mengantar istrinya sampai rumah dengan cuma-cuma. “Serius dia yang mengantarmu? Kenapa dia mengantarmu?” tanya Bima lagi heran. “Tidak tahu, dia hanya bilang kalau dia mengenal Mas Bima dan dia mengaku partner bisnisnya Mas Bima,” jawab Mira. Bima tertegun mendengar penjelasan istrinya, dia sama sekali tidak menyangka dan dia jadi senang sendiri, padahal dia yang gagal paham dengan maksud Tama. "Jadi Pak Tama sudah menganggap aku rekan bisnisnya, sampai dia mau mengantar Mira ke rumah karena merasa aku orang kepercayaannya? Ini benar-benar kesempatan emas, semua berkat Mira, istriku benar-benar pembawa berkah," batin Bima. “Mira …! Cepat masuk, belanja saja lama sekali, sih!” teriak Dewi dari dalam rumah. Mira menghela napas lelah, dia baru saja pulang berbelanja sudah mendapat teriakan dari mertuanya yang sangat angkuh itu, sedangkan Bima hanya menatap istrinya teduh entah merasa bersalah atau menginginkan Mira untuk bersabar dengan sikap ibunya. “Biar aku yang bicara pada Ibu, kau istirahat saja, kau pasti lelah.” Mira masih membenci suaminya karena melakukan poligami tanpa dia dia restui, tapi sikap pembelaannya setelah pernikahannya dengan Arumi membuat Mira agak sedikit luluh, hanya sedikit. Mereka berdua masuk ke rumah dengan perasaan yang gamang, apalagi Mira, perasaannya pada Bima mulai pudar berganti kebencian. “Kau tuli ya?! Dari dari aku memanggil tidak ada jawaban sama sekali!” Tiba-tiba Dewi keluar dari dapur bersama dengan Arumi langsung marah-marah. Mira enggan sekali menjawab ibu mertuanya, dia hanya tidak mau ikutan tersulut emosi nanti, yang ada malah dirinya disalahkan lagi, jadi lebih baik dia diam saja menjaga jarak dari dua wanita itu. “Heh …! Biar kau benar-benar tuli sekalian karena tidak menggubris panggilanku!” seru Dewi. “Ibu, Mira habis berbelanja membawa barang sebanyak ini tadi, dia sudah lelah, tapi kenapa Ibu menyumpahinya seperti itu,” tegur Bima. “Biar saja, Ibu dari tadi panggil, tapi dia malah sengaja tidak menjawab seperti tidak menganggap Ibu ada!” gerutu Dewi. Hati Mira tentu saja sakit, tapi dia hampir tertawa melihat ibu mertuanya yang merasa paling tersakiti hanya karena dia tidak membalas panggilannya. “Baru aku tidak menjawab panggilan Ibu seperti ini saja, Ibu langsung merasa tersakiti dan tidak dianggap ada, bagaimana dengan Ibu yang memperlakukanku dengan tidak baik selama ini?” ujar Mira dengan nada mengejek. “Apa katamu …?!” teriak Dewi. Dewi melayangkan tamparan menuju wajah Mira, tapi langsung dicekal oleh Bima dengan siaga. “Lepaskan Ibu, Bima! Biar Ibu beri pelajaran dia!” teriak Dewi seperti orang kesetanan. “Apa …?! Ibu mau memukul aku lagi?! Pukul, Bu. Pukul! Bahkan luka kemarin yang Ibu berikan belum sembuh! Bunuh aku sekalian!” teriak Mira tidak kalah histeris. Bukan hanya tubuhnya, hatinya juga terasa begitu lelah menghadapi cobaan seperti ini, ingin sekali dia berlari ke tempat yang jauh dari keramaian dan tidak ada satu orang pun yang bisa menemukannya, tapi kemana? Mira tidak punya tempat untuk dia pulang, tempat tinggalnya yang sekarang lebih cocok disebut neraka daripada rumah. “Mir … masuk saja, jangan memancing Ibu begitu,” bujuk Bima pada Mira. Mira menatap nyalang ke arah suaminya, tersirat rasa muak di wajah Mira, Bima menyadari hal itu kalau istrinya sudah sangat lelah, meski begitu Bima berharap Mira tetap bertahan di sisinya. “Aku lelah, Mas … aku sangat lelah! Semua masalah selalu dilimpahkan padaku tanpa aku tahu di mana salah yang aku perbuat di keluarga ini sebelumnya!” ungkap Mira berteriak sekuat tenaga. Air mata yang tadi Mira tahan meluncur seketika bersamaan dengan hujan turun dengan deras, langit pun juga merasa kesedihan Mira dengan ikut turut serta meneteskan airnya. “Mir, lebih baik masuk saja seperti biasanya kau menghadapi omelan Ibu,” bujuk Bima. Mira menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Lalu, kau ingin aku terus diam seperti itu, Mas? Apa kau lupa aku juga punya telinga dan juga punya hati?” Mira tersenyum miris menatap ke arah suaminya. “Bukan begitu, Mir. Tapi sekarang—” “Ceraikan saja aku, Mas. Aku tidak kuat lagi …,” lirih Mira memotong pembicaraan Bima karena dia pikir sudah pasti itu tidak penting. Mira mengalihkan pandangan ke ibu mertua yang menatapnya bengis, kemudian dia tersenyum miris lagi. “Aku … tidak mampu bersaing dengan ibumu yang sudah melahirkanmu, merawatmu sampai sekarang, selalu kau hormati dan kau bela ini, meski dia yang salah dan selalu menyakiti orang lain.” “Keterlaluan kau, Mir …!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD