Satu tamparan melayang di pipi Mira, membuat luka yang sempat kering jadi basah lagi berlinang darah dan air mata, tapi Mira sama sekali tidak kaget, bahkan dia sudah mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan terburuk lebih dari ini.
“Wanita tidak tahu diuntung …!”
Mira sama sekali tidak menundukkan kepalanya menatap mereka semua yang terlihat kaget dengan apa yang dia katakan barusan, Mira malah menatap ibu mertuanya dengan tatapan menantang tidak seperti biasa yang selalu menunduk sopan.
“Berani sekali kau membandingkan aku dengan dirimu! Rupanya otakmu sudah tidak beres karena ibumu juga sama gilanya! Kau pikir dengan menikahi anakku, kau bisa mengaturnya sedemikian rupa seperti apa maumu, hah?! Kau perlu tahu kalau anak laki-laki akan selamanya milik ibunya …!” Dewi menunjuk-nunjuk wajah Mira dengan perasaan kesal.
Mira hanya tertawa miris melihat ibu mertuanya yang sudah kebakaran seperti orang mau mati besok, hanya karena dia mengatakan tidak mampu bersaing dengan seorang ibu yang walau salah tetap akan dibela anaknya.
Itu lebih membuat Mira merasa menang karena memang terbukti ibu mertuanya tidak mau salah sedikitpun, walau dia sudah berbuat sesuatu yang menyakitkan padanya selama pernikahannya dengan Bima.
“Kan, yang aku katakan benar, aku tidak akan mampu bersaing dengan Ibu karena walaupun Ibu salah, Ibu akan terus menyangkalnya bagaimanapun itu, ya, kan?” pancing Mira lagi.
“Dasar kurang ajar! Menantu durhaka! Kau bilang aku salah padamu, itu maksudmu?! Benar-benar tidak tahu diri sudah diberi hati malah melunjak, apa ini juga sikap ibumu?!” maki Dewi.
Bima masih terus menghalangi ibunya yang hendak menyerang Mira terus sedari tadi.
“Jangan bawa-bawa ibuku, ibuku tidak pernah punya salah pada Ibu, bahkan kalian juga tidak mengenal satu sama lain!” teriak Mira menantang.
“Aku sumpahi kau tidak akan mendapat pria lain setelah anakku, aku sumpahi kau juga akan mati seperti ibumu!” Sumpah serapah keluar dari mulut Dewi.
Bohong jika Mira tidak sakit hati, sekarang hatinya makin terasa sesak mendengar sumpahan ibu mertuanya, dari tadi juga hatinya sesak, dia hanya sedang berpura-pura menantang agar terlihat kuat dan tidak rapuh.
“Aku sumpahi mulut Ibu busuk karena terus memakiku!” maki Mira balik.
“Mir …!” teriak Bima.
Mira tersungkur jatuh di lantai karena Bima lengah, Dewi melayangkan pukulan yang begitu kencang sampai wanita itu menunduk beberapa saat sebelum akhirnya bangkit.
Dewi menarik rambut panjang Mira, menyeretnya keluar di tengah hujan begini dan menutup pintu dengan bantingan keras sampai membuat jantung Mira berdetak kuat.
Mira bangun menyeret badannya yang terasa lemas keluar dari pagar rumah itu, sembari menangis tergugu dan juga kehujanan Mira terus berjalan tidak tentu arah karena merasa sudah diusir dengan cara yang sangat tidak pantas.
“Mama … maafkan aku, aku sama sekali tidak menyalahkan Mama, tapi aku benar-benar tidak kuat dan ingin mati menyusul Mama saja,” gumam Mira di tengah hujan memeluk dirinya sendiri sambil menangis.
Masih belum jauh dari kediaman Bima dan ibunya, tapi Mira enggan kembali lagi, hatinya masih sangat sakit mendapat perlakuan seperti itu dari mertua, ditambah madunya yang tersenyum senang melihat dirinya terusir dari rumah.
Mira duduk di pinggir jalan membiarkan hujan menyamarkan air matanya, setidaknya ini lebih baik dari pada terlihat menangis sendirian seperti orang gila di pinggir jalanan sepi.
“Masuk ….” Sudah ada saja pria dengan suara yang cukup familiar berdiri di depannya dengan memayungi dirinya.
Entah sejak kapan Tama sudah berada di sana, Mira tidak fokus dan terus menangis tergugu sejak tadi, tapi begitu pria itu bersuara, barulah Mira mendongakan kepalanya.
“Pak Tama …,” lirih Mira.
“Tidak baik ibu hamil hujan-hujanan begini, kondisimu itu penting bagi bayimu,” ucap Tama begitu lembut. “Masuklah ke mobilku, akan aku antar,” lanjutnya.
“Tidak, Pak. Aku tidak akan ke rumah,” tolak Mira.
“Masuk dulu, setelah itu baru kita bicara,” bujuk Tama begitu lembut.
Akhirnya Mira terbius bujukan Tama dan menurut saja ketika diperintahkan untuk masuk ke dalam mobil. Mobilnya terasa engap dan sesak bagi Alena yang merasa sedang sakit hati, dia jadi tidak leluasa ingin menangis.
“Apa kau tidak apa-apa?” tanya Tama terlampau rendah.
Mira terbius lagi dengan perkataan Tama, baru kali ini ada orang yang menanyakan bagaimana tentangnya, selama ini suaminya pun tidak pernah menanyakan itu padahal Bima jelas tahu bagaimana keseharian Mira menjalani hidup di rumahnya.
Dengan penuh tekanan Mira jadi menangis lagi lebih kencang, mengeluarkan semua kesedihan yang masih tersisa tadi di saat hujan.
“Menangislah sampai kau merasa lega, aku akan mulai melajukan mobilnya,” ucap Tama.
Baru saja dia berbuat menjalankan mobilnya, tapi perkataan Mira berikut membuatnya jadi terhenti.
“Tidak, Pak. Aku tidak akan pulang ke sana,” balas Mira sembari menangis tergugu.
Tama menyodorkan kotak tisu ke hadapan Mira agar wanita itu bisa menangis sepuasnya tanpa merasa sungkan sekalipun padanya.
“Aku tahu, kau sudah mengatakannya tadi,” ujar Tama.
Segera dia menjalankan mobilnya menuju ke tempat yang seharusnya dia membawa Mira, beruntung Bagas langsung memberitahunya kalau mertua Mira mendorongnya keluar rumah di tengah hujan.
"Mira … kau milikku, Sayang."
***
Mendengar bantingan pintu membuat jantung Bima ikut bergetar merasa nyeri, ibunya sendiri tega melakukan itu pada istri tercintanya, padahal kesalahan Mira hanya karena tidak menjawab panggilannya.
“Ibu …! Apa-apaan Ibu seperti itu pada Mira, di luar hujan dan Mira sedang hamil, Bu!” bentak Bima.
Dewi melotot menatap putranya yang barusan berani berteriak padanya karena apa yang dia lakukan terhadap Mira.
“Hanya karena wanita itu kau jadi anak yang durhaka, berani membentak-bentak Ibu seperti ini!” bentak Dewi balik.
Arumi yang tadinya diam saja merasa kalau inilah kesempatannya untuk mencari muka lebih di depan ibu mertuanya.
“Mas, tidak baik membentak-bentak ibumu seperti itu, dia sudah melahirkan dan membesarkanmu susah payah,” tegur Arumi dengan maksud tertentu.
Bima yang tadi menatap ibunya beralih menatap Arumi dengan begitu tajam seakan menyatakan peperangan.
“Kau lebih baik diam! Tidak sepantasnya kau bicara di sini! Ini semua salahmu, jika saja kau tidak terus-terusan menggodaku, rumah tanggaku tidak akan hancur begini!” bentak Bima pada Arumi.
Sudah ke berapa kalinya Arumi dibentak Bima, hatinya jadi merasa sesak sendiri, pasalnya pria itu tidak seperti ini sebelumya, tapi Bima menjadi pemarah setelah menikah dengannya.
“Kalau Ibu masih terus memusuhi Mira, aku tidak akan tinggal di sini lagi! Aku akan membawa Mira pergi dan tinggal bersamanya agar kalian tidak terus bertengkar,” ancam Bima.
Dewi dan Arumi syok Bima berani berkata akan meninggalkan rumah ini dan hidup berdua saja dengan istri pertamanya, lalu bagaimana dengan ibu dan istri keduanya?
“Apa-apaan kau, Bima?! Kau mau meninggalkan Ibu hanya untuk wanita itu, otakmu sudah dicuci olehnya,” duga Dewi.
Bima melengos menuju ke arah pintu.
“Tidak peduli apa pun yang Ibu katakan, aku tetap akan bersama Mira!”
Bima sudah berada di ambang pintu untuk membuka pintunya, hatinya terasa mencelos ke bawah begitu melihat tidak ada Mira di sana. Bima langsung menyambar payung di sampingnya dan bergegas keluar.
“Kalau sampai terjadi sesuatu pada Mira, itu semua karena kalian!” teriak Bima sebelum akhirnya menerobos hujan demi Mira.
Bima mencari ke sana ke mari di sekitar wilayah yang tidak jauh karena jeda waktu yang sangat sebentar, tidak mungkin Mira sanggup berjalan jauh dengan sangat cepat.
“Mir … kau ada di mana? Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar menyesal, aku bersalah, aku minta maaf. Aku mohon kembalilah, aku mohon …,” gumam Bima.
Sudah agak lama mencari sampai sekarang tidak ketemu, Bima juga ikut menangis merasakan apa yang dirasa istrinya, pasti sangat sakit hingga dia memutuskan untuk pergi, dan lagi membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Mira, Bima benar-benar tidak sanggup.
“Tuhan … hukum saja aku, jangan hukum istriku, dia sudah banyak menderita ketika bersamaku, jika dia kembali aku akan memperlakukannya dengan lebih baik lagi, aku mohon pertemukan aku dengan dia,” ucap Bima terlihat putus asa.