Mira berbalut pakaian dan jaket tebal menyelimutinya, serta secangkir teh hangat menemani duduknya. Mira melirik ke arah jendela, di luar masih hujan deras disertai bunyi gemuruh dari kilatan cahaya di langit gelap.
“Sudah merasa lebih baik?”
Suara pria rendah dan serak menyapa indra pendengaran Mira. Wanita itu menoleh ke arah sumber suara, kemudian menyunggingkan senyum kecil pada Tama, pria yang menolongnya.
“Terima kasih sudah menolongku, Pak.”
Tama menghela napas melihat Mira yang sepertinya masih menjaga jarak di antara mereka, ditatapnya dengan intens setiap ukiran wajah Mira yang terbentuk sangat cantik.
“Jangan panggil aku seperti itu,” ucap Tama.
Mira mengernyitkan alisnya menatap Tama penuh tanda tanya, sedangkan Tama masih menatap menelisik ke wajah Mira.
“Aku bilang untuk menghubungiku, jika kau perlu bantuan, tapi kenapa kau tidak menghubungiku?” tanya Tama.
Pandangan Tama berhenti di bibir Mira yang mulai memerah kembali. Mira masih tidak bisa menjawab pertanyaan Tama karena dia merasa mereka tidak sedekat itu.
“Kau malah memberikan jasku ke suamimu, padahal aku berharap kau yang datang menemuiku sendiri,” ungkap Tama.
Mira mengernyitkan alisnya lagi tidak mengerti apa maksud dari pria di hadapannya. Setidaknya pembicaraan dengan Tama bisa membuat Mira sedikit melupakan rasa sakit di hatinya.
“Kapan kalian akan bercerai?” tanya Tama lagi tanpa basa-basi.
Mira diam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Aku tidak tahu, kenapa menanyakan itu?” tanya Mira balik bingung.
Tama tersenyum lebar seperti memang menunggu Mira menanyakannya balik tentang hal itu.
“Aku tidak ingin basa-basi lagi, aku menyukaimu, aku tidak peduli kau punya suami asal kau bersedia meninggalkannya dan memilih hidup bersamaku, aku akan membuatnya lebih mudah agar kau bisa melepaskan diri dari keluarga itu,” ungkap Tama.
Pernyataan cinta dari Tama tidaklah romantis dan terlalu terburu-buru, membuat Mira kesulitan harus bereaksi seperti apa, hal ini tidaklah tepat karena Mira baru saja mengalami hal yang menyakitkan.
“Apa maksudnya? melepaskan diri?” Mira makin penasaran dengan Tama.
Tama mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, kemudian tersenyum miring ke Mira. “Aku menempatkan orang-orang di sisimu tanpa sepengetahuanmu, aku jelas tahu apa yang terjadi padamu selama ini, aku juga tahu apa yang terjadi barusan,” jelas Tama mengingatkan kejadian menyakitkan Mira diseret keluar dari rumah.
Mira sempat berpikir kalau pria di hadapannya ini gila, tapi sikapnya cukup membuat Mira terasa terlindungi, kenyataan yang sulit sekali dipercaya Mira sendiri.
“Kenapa Bapak melakukan itu?” tanya Mira memastikan.
“Untuk melindungimu, untuk mengetahui semua kabar darimu dan apa pun yang terjadi padamu, aku tidak bisa hanya menutup mata saja melihat sesuatu yang buruk terjadi padamu,” terang Tama.
Tama mengarahkan tangannya ke pipi Mira dan mengelusnya sebentar. “Luka ini … dari mertuamu juga ya?” tanya Tama.
Mira spontan menepis tangan Tama dari pipinya, dia sangat kaget Tama bisa menanyakan hal itu yang harusnya tidak bisa diketahui orang lain.
"Pria ini tidak sedang bercanda, dia bahkan tahu tentang lukaku," batin Mira.
“Maaf, aku pasti membuatmu syok. Kau bisa meminta bantuanku kapan pun untuk lepas dari mereka, apalagi jika kau ingin membalas mereka bilang saja padaku, itu sangat mudah,” ucap Tama dengan santainya.
***
“Apa …?!”
Zergan masuk ke ruangan tempat di mana Zellia dan Zorion berbincang. Dia mendengar dengan jelas kalau kakaknya itu mengatakan Mira tengah dimadu suaminya.
“Apa tadi yang Kakak bilang sungguhan?” tanya zergan memastikannya.
Zellia melirik ke arah adik laki-lakinya, kemudian menghela napas lelah karenanya, bisa-bisanya Zergan menguping pembicaraan mereka dan masuk dengan tidak sopannya.
“Iya, benar,” jawab Zellia yang terlihat enggan menutup-nutupi.
Zergan sama terkejutnya dengan Zorion, dua pria itu tidak menyangka kalau Mira akan mengalami hal buruk seperti itu, padahal Mira wanita yang sangat baik dan cantik di mata mereka.
“Akan aku beri pelajaran suaminya Kak Mira itu!” seru Zergan.
Zellia berdecih sebal melihat sikap pembelaan adiknya pada Mira yang dinilai terlalu berlebihan itu, padahal baginya Mira dan ibunya hanya dianggap penghancur keluarganya, tapi kakek dan adiknya selalu saja membela Mira.
“Tidak usah sok pembela begitu, dia sedang mendapat karma karena ibunya menjadi perusak kebahagiaan keluarga ini,” balas Zellia dengan entengnya.
Zergan menatap kakak perempuannya jengkel, padahal mereka keluarga tapi Zellia terus saja memusuhi Mira, sedangkan Zorion menatap tajam cucu pertama perempuannya.
“Zellia …!” teriak Zorion meninggi.
Zellia menghela napas lelahnya, dia sudah pasti sangat tahu kalau sebentar lagi kakeknya akan berceramah panjang lebar.
“Bisa-bisanya kau mengatakan itu lagi pada adikmu, kau terus saja memusuhinya tanpa dia punya salah apa pun padamu, padahal dia tidak tinggal di sini dan malah hidup sederhana di luar sana, berbeda dengan kalian berdua yang hidup penuh kemewahan bergelimang harta. Sampai situ saja hatimu masih dengki pada adikmu itu, dia dan ibunya tidak punya salah apa pun pada keluarga ini …! Yang bersalah dari awal adalah ayah dan ibumu sampai harus melibatkan ibunya!” tegas Zorion lantang.
Zergan tidak peduli mana yang salah dan benar, tapi baginya jika ada yang bersalah bukanlah Mira orangnya karena wanita itu tidak berbuat apa pun yang merugikan.
“Kakek terus saja membelanya, mau bagaimanapun kakek menjelaskan, dia tetap bersalah di mataku dan tidak akan pernah berubah,” tandas Zellia.
“Tidak bisakah Kakak tidak menyalahkannya terus? Dia tidak berbuat apa pun pada kakak dan pada keluarga ini, memangnya apa yang dia perbuat sampai harus menerima kebencian tidak mendasar seperti ini?” tanya Zergan tidak terima.
“Salah dia adalah terlahir ke dunia, coba saja kalau dia tidak terlahir, aku tidak akan menyalahkannya,” jawab Zellia.
Dua pria itu terperangah mendengar jawaban Zellia yang dianggap kelewat batas.
“Benar-benar keterlaluan …!”
***
“Ini semua karena kalian …!”
Bima berteriak kesetanan melihat dua wanita itu di hadapannya, ibu dan istri keduanya. Mereka benar-benar membuat Bima marah karena mereka Mira jadi tidak bisa ditemukan.
Napasnya menggebu tidak karuan, matanya memerah karena dari tadi terus mengeluarkan air mata sembari berteriak.
“Jangan menyalahkan Ibu! Itu semua karena istrimu yang menyumpahi Ibu, coba saja dia tidak begitu maka Ibu tidak akan melakukan ini pada istrimu!” teriak Dewi balik.
Bima menatap nanar ibunya. “Bu, apa Ibu pura-pura lupa kalau Ibu yang menyumpahi Mira duluan? Ibu tidak pernah mengakui kesalahan Ibu dan tidak sadar kalau Ibu juga bersalah!” ucap Bima.
“Benar kata Mira, Ibu selalu saja ingin benar sendiri dan tidak pernah merasa bersalah atas apa pun yang pernah Ibu lakukan!” lanjut Bima.
“Semenjak kau beristri wanita itu, kau jadi melawan pada Ibu, itulah yang membuat Ibu sangat membencinya, lebih baik kalian bercerai daripada kau jadi semakin durhaka pada Ibu!” tegas Dewi.
Bima menatap nyalang Dewi, jika saja dia bukan ibunya mungkin Bima sudah menampar wanita itu.
“Waktu aku menikah dengannya Ibu menyetujuinya, tapi kenapa masalah orang tuanya Ibu permasalahkan seperti ini?! Kenapa juga Ibu selalu mengungkit hal itu untuk menyakiti perasaan Mira?!” teriak Bima lebih lantang.
“Ibu terpaksa menyetujuinya karena kau terlihat tergila-gila padanya, Ibu hanya membiarkan kau menikahinya bukan menganggapnya sebagai menantu Ibu!” jawab Bima.
“Lalu sekarang bagaimana dengan Mira, Bu …?! Dia di luar sana tengah mengandung anakku dan di luar sedang hujan, apa Ibu tidak bisa berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi pada Mira di luar sana?!” Bima menghapus air matanya yang terus mengucur karena memikirkan istrinya.
Arumi hanya bisa diam di tengah perdebatan ibu dan anak ini, dia tidak berani menyela atau membela siapa pun karena posisinya sangat tidak menguntungkan. Jika dia membela Bima maka ibu mertuanya akan membencinya, jika dia membela ibu mertuanya maka dia akan mendapat bentakan dari Bima lagi, tidak mungkin dia membuat Bima tambah benci padanya karena dia sudah bersusah payah mendapatkan pria itu.
“Ibu tidak peduli! Lagi pula sekali-sekali dia harus diberi pelajaran dan dia juga nanti pasti akan kembali ke sini karena tidak punya tempat di luar sana yang mau menampung wanita seperti itu!”
Bima makin mendengus kesal. “Jika dia tidak kembali atau dia kembali dalam keadaan yang tidak baik, aku akan pergi meninggalkan Ibu hanya berdua dengan wanita itu!” ancam Bima sambil menunjuk Arumi yang dari tadi hanya menunduk.