Zellia memutar bola matanya malas melihat kelakuan adik laki-lakinya yang babak belur habis berkelahi dengan suami Mira, jujur saja Zellia sangat tidak suka terhadap semua pembelaan yang Zergan dan kakeknya lakukan pada Mira.
“Jadi kau berkelahi untuk memberinya pelajaran? Hanya demi Mira?” tanya Zellia tidak suka.
Zergan mengangguk sambil mengompres pipinya yang bengkak karena pukulan balasan dari Bima, setidaknya dia menang dan tidak separah Bima, dia hanya menderita bengkak di pipi saja.
“Untuk apa kau melakukan hal tidak berguna dan mempertaruhkan dirimu sendiri? Apa kau tidak malu berkelahi hanya karena wanita itu?” desis Zellia dengan ketidaksukaannya pada perlakuan Zergan.
“Hal tidak berguna apanya? Kak Mira dari dulu diperlakukan tidak manusiawi oleh ibu mertuanya, sekarang suaminya berselingkuh dan menikah lagi, mereka harus diberi pelajaran, jika didiamkan saja nanti makin melunjak dan terus menginjak-injak orang,” sanggah Zergan pada ucapan kakaknya.
Zellia menatap kesal ke arah sang adik. “Kau terus saja menganggapnya sebagai kakak, apa kau lupa apa yang ibunya lakukan terhadap Mama? Aku sama sekali tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu,” ujar Zellia.
Zergan yang merasa tidak habis pikir pada kakak perempuannya, padahal kakeknya sudah mengatakan kebenaran pada mereka berdua dan Mira beserta ibunya tidak bersalah, tapi Zellia masih saja menyimpan dendam yang tidak mendasar.
“Tentu saja aku menganggapnya sebagai kakakku karena kita keluarga, Kakak berhentilah terbayang-bayang masa lalu karena bagaimanapun itu tidak ada hubungannya dengan Kak Mira, dia tidak bersalah ataupun berhutang apapun pada keluarga kita, dia juga kesulitan menjalani hidupnya.” Zergan mencoba menyadarkan kakaknya.
Zellia jadi makin kesal melihat Zergan terus membela Mira, dia merasa seakan tidak ada satu pun di rumah ini yang berpihak padanya atau mengerti perasaan ibunya yang tersiksa waktu itu.
“Kau ini memang sudah dibutakan olehnya, mau menyadarkan aku bagaimanapun juga, aku tetap tidak akan menganggapnya sebagai saudariku,” tandas Zellia.
Zergan memandang gamang kakaknya, bertanya-tanya apakah dia juga sama tidak dianggap keluarga seperti Mira, hatinya juga ikut terenyuh sakit mendengar hal itu, walaupun tidak bermaksud ditujukan padanya, tapi dia juga ikut merasa.
“Lalu bagaimana denganku? Apa Kakak juga tidak menganggapku saudara? Ibu kita sama tapi ayah kita berbeda, sedangkan Kakak dengan Kak Mira berbeda ibu tapi masih satu ayah.” Zergan memandang Zellia dengan lekat.
“Kenapa kau jadi membahas itu? Kau tentu saja adikku karena kehadiranmu tidak membawa petaka untuk keluarga ini, tapi kalau Mira tidak, kelahirannya membawa bencana pada keluarga ini, termasuk Mama yang menderita sampai akhir hayatnya,” ungkap Zellia.
Zergan menghela napas kasar melihat kebencian Zellia yang tidak kunjung padam terhadap Mira, bahkan setelah orang tua mereka meninggal, kebencian itu masih membekas di hati Zellia.
“Kak Mira sudah menjalani kehidupan yang susah jauh dari kita, dia hidup dengan serba kekurangan tidak seperti kita dan sekarang mertuanya telah mengusirnya dari rumah, aku bahkan tidak bisa menemukannya, aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Kak Mira nantinya.” Zergan menaruh kompresannya ke dalam mangkuk dan mulai memikirkan Mira lagi.
“Itu namanya karma, dia telah merasakan kepahitan karma dari ibunya, makanya hidupnya jadi dirundung kesengsaraan terus,” balas Zellia dengan entengnya.
“Kakak …!”
***
“Apa aku boleh bersantai seperti ini? Rasanya begitu tenang tanpa makian ataupun seruan dari mertuaku, apa aku boleh damai sebentar saja seperti ini?” gumam Mira merasa ada sesuatu yang membuat dirinya jadi lebih lega.
Mira melirik ke arah jendela apartemen, terlihat bintang-bintang berhamburan menghiasi langit malam yang gelap. Sungguh hatinya terasa melapang dan nyaman ditempat ini walau Dian sedikit merindukan suaminya.
“Kau suka pemandangan malam hari di sini?”
Tama sudah berada di dalam apartemen entah sejak kapan, Mira pun juga tidak mendengar suara pria itu masuk.
Tama mengeluarkan sesuatu dari bungkusan yang dia bawa, sekotak s**u ibu hamil dan makanan hangat beserta camilannya.
“Makanlah dulu ….” Tama menyodorkan Mira semangkuk sup daging hangat untuknya, tapi Mira belum juga bergerak menunjukan respon apa pun.
“Kenapa? Kau takut aku menaruh sesuatu di makananmu?” tanya Tama dengan nada datar.
“Tidak … aku tidak berpikir begitu, aku hanya tidak biasa seperti ini dan juga kita baru saja dekat,” ungkap Mira.
“Lalu, apa kau ingin aku melakukan pendekatan lebih dari ini?” tanya Tama mencoba memancing Mira.
“Bukan begitu, hanya saja … terima kasih sudah mau menolongku seperti ini tanpa balasan apa pun dan maaf jika aku sangat merepotkan, aku hanya sebentar saja di sini, setelahnya aku akan mencari tempat tinggal lain,” ujar Mira.
Tama menghela napas berat. “Tentu saja kau ini merepotkan karena susah sekali membuatmu percaya padaku, bahkan sampai sekarang kau terlihat masih menjaga jarak. Kau tidak perlu mencari tempat tinggal lain karena kau akan tetap tinggal di sini, aku ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja tanpa aku harus menempatkan orang untuk membuntutimu,” jelas Tama.
Mira menatap wajah pria di hadapannya, Tama sangat tampan paripurna dengan tubuh gagah melengkapi kharismanya, ditambah semua barang yang dia kenakan terlihat mahal dan bermerek membuat Mira masih tidak percaya dengan pernyataan cinta yang dia terima.
Mira sadar diri, dia istri orang dan tengah hamil dan lagi dia sama sekali tidak merasa cantik untuk disukai pria seperti Tama yang mungkin memiliki banyak kekasih di luaran sana.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau menyukai wanita sepertiku? Aku tidaklah istimewa dan aku istri orang yang tengah hamil, tidakkah itu aneh, aku bahkan tidak cantik,” ungkap Mira dengan perasaan gamang.
Tama tersenyum melihat sikap kesederhanaan Mira yang tidak meninggi atau menyombong seperti wanita lain, wanita di hadapannya begitu polos dan naif.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tidaklah peduli walau kau sudah bersuami, aku juga tidak akan memaksamu, tapi aku bisa kau manfaatkan untuk mempermudah hidupmu, maka manfaatkanlah aku sesukamu, jangan pedulikan bagaimana perasaanku yang penting bagaimana perasaanmu,” jelas Tama.
Mira melihat bagaimana pengorbanan Tama untuknya jadi merasa sedikit terharu, tiba-tiba otaknya membandingkan Tama dengan suaminya yang dia nilai kurang berkorban dan terus menyakitinya, apalagi terakhir kali menyakitinya karena perselingkuhan.
"Beda sekali dengan suamiku yang hanya bersikap baik jika ada maunya, terutama dia hanya akan bersikap baik jika masalah ranjang, setelahnya dia akan mengabaikan aku lagi," batin Mira.
Tapi sayangnya Mira belum mengetahui dengan jelas siapa Tama sebenarnya, Mira hanya sebatas tahu kalau Tama rekan bisnis suaminya, Mira tidak tahu kalau Tama jauh lebih hebat dari apa yang dia bayangkan.
“Besok ikut aku, aku akan mengajakmu ke suatu tempat ….”
***
“Zergan itu benar-benar berandalan, masa dia memukulimu hanya karena wanita itu,” gerutu Dewi.
Dewi mengobati luka yang ada pada wajah putranya, Bima benar-benar dibuat babak belur oleh Zergan, walaupun dia melakukan perlawanan, tapi tetap saja dia kalah telak.
Tapi pikiran Bima dari tadi selalu memikirkan Mira, ada di mana, sedang apa, sudah makan atau belum, itu yang dari tadi mengitari kepala Bima, rasa sakitnya sampai tidak terasa karena memikirkan istrinya yang belum juga kembali ke rumah.
“Mira belum kembali dari kemarin,” gumam Bima.
Dewi yang mendengar gumaman anaknya jadi mendengus kesal. “Kau masih memikirkannya di saat seperti ini? Kau babak belur begini juga karenanya, kalau saja dia tidak masuk ke dalam keluarga ini maka semuanya tidak akan terjadi,” keluh Dewi.
“Berhenti menyalahkan Mira, Bu! Adiknya yang menghajarku, bukannya Mira, dia tidak bersalah sama sekali. Sekarang dia entah berada di mana aku bahkan tidak tahu bagaimana keadaannya, dia sedang hamil, Bu. Kira terlalu jahat padanya,” ucap Bima penuh penyesalan.
“Dengar, Bima. Jika bagimu kita terlalu jahat untuknya lebih baik kau ceraikan saja dia, agar dia bisa menemukan kebahagiaan lain, Ibu sama dia tidak cocok sama sekali, kami selalu saja bertengkar, Ibu lebih cocok dengan Arum, kau bisa lihat sendiri kita tidak bertengkar sama sekali, kan?” hasut Dewi.
“Bu, sudah aku bilang berapa kali kalau aku tidak akan menceraikan Mira, aku masih sangat mencintainya dan dia sedang hamil anakku, aku tidak akan melepasnya begitu saja,” kilah Bima.
“Mira bukanlah istri yang cocok untukmu, Bima. Kalau Arum dia adalah sosok istri yang tepat untukmu, sudah waktunya kau mencari pasangan hidup yang tepat dan Arumi adalah orangnya. Bercerailah dari dia, Ibu akan senang jika itu terjadi, kau mau terus selamanya bermusuhan dengan Ibu?”