Bab 4 Mantan tanpa Undangan

1145 Words
Udara malam di Senopati terasa lembab setelah gerimis sore. Anggita menutup laptopnya, menghela napas panjang, lalu melangkah menuju lift. Kantor sudah sepi. Hanya ada pantulan lampu neon di kaca besar yang memperlihatkan wajah lelahnya sendiri—CEO muda yang katanya kuat, tapi sebenarnya sedang mencoba tidak hancur. Begitu pintu lift terbuka, ponselnya bergetar. 1 pesan dari: Fahmi. “Kita perlu bicara. Aku di bawah.” Anggita terpaku beberapa detik. Nama itu masih menusuk seperti duri yang belum sempat dicabut. Fahmi—mantan pacar dua hari lalu. Lelaki yang seminggu sebelumnya masih memanggilnya ‘sayangku yang sibuk tapi lucu’, dan dua hari kemudian ketahuan check-in dengan sekretaris barunya di Bandung. Ia menekan tombol B1. Hatinya menurun lebih cepat dari lift. Begitu sampai di parkiran, suara langkah berat terdengar dari arah pilar. “Anggita.” Nada itu dingin, penuh luka pura-pura. Fahmi berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam, rambut sedikit acak-acakan, dan ekspresi yang seperti campuran antara marah dan rindu. Mobilnya berhenti di samping mobil Anggita, lampunya masih menyala. “Kita nggak punya urusan lagi,” kata Anggita datar tanpa berhenti melangkah. “Kamu gitu aja? Setelah dua tahun bareng?” Fahmi berjalan mendekat, suaranya meninggi. “Aku datang cuma buat minta penjelasan, Gita.” “Penjelasan apa lagi?” “Kenapa kamu tega banget mutusin aku kayak gitu? Aku… aku bahkan belum sempat jelasin.” Anggita menatapnya tak percaya. “Kamu ketahuan bersama sekretarismu di hotel, Fahmi.” “Itu nggak seperti yang kamu pikir—” “Oh, klasik banget,” potong Anggita dingin. “Tolong, jangan bikin aku kehilangan rasa hormat terakhirku.” Fahmi terdiam, tapi tatapannya berubah tajam. “Jadi kamu marah karena ngerasa aku selingkuh, ya? Padahal kamu sendiri juga udah deket sama laki-laki lain. Aku tahu, Gita.” Anggita memejamkan mata. “Hati-hati ngomong.” “Aku nggak bodoh. Foto kamu dan laki-laki itu beredar dari reuni kemarin! Kalian keliatan terlalu mesra buat cuma ‘teman lama’.” Anggita nyaris tertawa getir. “Lucu, ya. Kamu ketahuan tidur sama sekretaris, tapi masih punya energi buat nuduh aku.” Fahmi maju selangkah, suaranya menurun tapi makin menusuk. “Jadi kamu beneran udah pindah secepat itu? Cuma dalam sembilan hari? Kamu emang segitu gampangnya?” Kalimat itu seperti cambuk. Tapi sebelum Anggita sempat membalas, suara lain terdengar—ringan, genit, tapi mengguncang udara seperti petir di langit malam. “Sayang, kamu belum pulang juga?” Rafka. Anggita menoleh, sedikit kaget. Ia datang dengan setelan abu yang sama, tangan satu di saku, satunya membawa helm motor. Senyum tipis itu muncul di bibirnya, nyebelin tapi menghibur. Ia langsung melangkah ke arah mereka, tanpa ragu, lalu berdiri di samping Anggita. “Aku tadi nungguin kamu di depan, tapi kok lama banget, ternyata lagi nostalgia, ya?” Fahmi menatap tajam. “Siapa kamu?” “Rafka. Tunangannya,” jawabnya cepat, lalu dengan santai merangkul pundak Anggita. “Belum dikenalin, ya, sayang?” “Rafka…” Anggita mendesis pelan. “Lepas.” “Tapi kamu dingin banget ke aku,” katanya manja, sengaja menatap Fahmi dengan senyum puas. “Kamu tahu nggak, Gita itu selalu jutek kalau udah capek. Tapi habis makan dia bisa manis banget.” Ia menatap Fahmi dengan tatapan menantang. “Oh, tapi kamu udah tahu itu, kan?” “Berhenti pura-pura, Gita,” potong Fahmi dengan nada penuh amarah. “Kamu pikir aku bakal percaya kalau ini serius?” “Percaya atau nggak urusan kamu,” jawab Anggita, suaranya dingin lagi. “Dia cuma pelarian,” desis Fahmi. “Kamu cuma mau balas dendam sama aku.” Rafka terkekeh. “Kalau dia mau balas dendam, mungkin dia bakal pilih yang lebih parah dari aku, deh.” Ia kemudian menatap Anggita lembut, mengusap ujung rambutnya. “Tapi untungnya, dia pilih aku karena suka, bukan karena emosi.” Fahmi mengepalkan tangan. "Kamu pikir kamu siapa, hah?” “Orang yang bakal jagain dia lebih baik dari kamu,” jawab Rafka tenang, tapi matanya berubah tajam. “Aku juga nggak perlu main belakang buat dapetin cewek kayak dia.” Fahmi nyaris melangkah maju, tapi Anggita mengangkat tangan. “Cukup, Fahmi. Aku nggak punya waktu buat debat siapa paling benar. Kamu udah milih jalanmu. Aku udah milih punyaku.” “Gita…” nada Fahmi berubah lagi, mendayu, menyedihkan. “Aku nyesel. Aku cuma khilaf waktu itu.” Anggita menatapnya lelah. “Khilaf itu kalau sekali. Kamu udah rencanain, Fahmi. Yang paling parah—kamu bahkan nggak minta maaf duluan sebelum nuduh aku.” Air matanya menahan di ujung mata, tapi ia menegakkan bahu. Rafka menarik napas pelan, lalu tanpa pikir panjang—memeluk Anggita dari samping. Bukan pelukan penuh, tapi cukup untuk membuat Fahmi membeku. “Udah, Sayang,” katanya lembut. “Orang kayak gini nggak pantas dapet penjelasan. Dia cuma butuh waktu buat sadar kalau kehilanganmu adalah keputusan paling t***l yang pernah dia buat.” Fahmi menatap dengan rahang mengeras. “Jadi kamu mau sok jantan di sini?” “Aku cuma main logika,” jawab Rafka santai. “Cewek yang kamu sia-siain, sekarang punya seseorang yang nggak bakal bikin dia ngerasa kurang.” Ia menunduk sedikit, mencium pipi Anggita cepat—cukup cepat untuk bikin kepala Fahmi hampir meledak. “Raf—” “Ssst. Aku cuma nyelamatin reputasimu, Sayang,” bisik Rafka rendah, sengaja biar Fahmi dengar. “Kita kan pura-pura bahagia, ingat?” Fahmi akhirnya melangkah mundur, wajahnya penuh amarah dan gengsi yang terinjak. “Kalian berdua pantas satu sama lain. Sama-sama manipulatif.” Rafka tersenyum miring. “Makasih, aku anggap itu doa.” Begitu Fahmi pergi, suasana langsung sunyi. Anggita menepis pelukan Rafka dengan napas tersisa. “Kamu nggak perlu ngelakuin itu.” “Kalau aku nggak lakuin itu, kamu bakal nangis di depan dia.” “Aku nggak akan—” “Kamu hampir nangis,” potong Rafka lembut. “Dan aku nggak suka ngelihat kamu kalah.” Anggita memejamkan mata, menunduk, bahunya bergetar sedikit. Tapi bukan karena menangis — lebih karena menahan perasaan yang campur aduk. Kesal, malu, tapi juga... aman. Rafka mendekat lagi, suaranya menurun. “Kamu nggak harus pura-pura kuat terus, Gita. Kadang yang nyakitin cuma pengen lihat kamu jatuh. Jangan kasih mereka kepuasan itu.” “Kenapa kamu peduli banget?” tanya Anggita pelan. Rafka tersenyum kecil. “Karena dulu aku juga pernah jadi orang yang nyakitin kamu, kan? Sekarang giliranku buat nutup luka itu, sedikit demi sedikit.” Sunyi. Hanya suara lampu neon parkiran yang berdengung. Akhirnya, Anggita menarik napas dalam. “Kamu beneran niat bantu aku, ya? “Yup. Bonusnya, aku bisa peluk kamu legal, walau cuma pura-pura.” “Rafka!” “Ya ampun, kamu kalau marah makin cantik.” Anggita mendengus, tapi kali ini bibirnya melengkung juga. “Dasar nyebelin.” “Nyebelin tapi penyelamat, kan?” “Lebih ke pengacau hidup.” “Yang kamu butuhin di tengah kekacauan ini,” balas Rafka santai, menatapnya hangat. Entah kenapa, kali ini Anggita tidak menyangkal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD