Bab 6. Semakin Dekat

1233 Words
Kanaya melihat jam ditangannya, sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Kini ia sedang menunggu sosok pria yang ia temui kemarin setelah sebelumnya sudah membuat janji. Kanaya beberapa kali melihat kearah luar, menunggu kenapa Dewa belum muncul juga membuat ia cukup kesal. Kanaya sudah memikirkan semuanya matang-matang semalam dan ia menyetujui permintaan Dewa. Ia sudah tidak betah tinggal di rumah yang seperti neraka itu. Meksipun tidak mempunyai perasaan lebih kepada Adit, tapi Kanaya tentu begitu kesal. Apalagi sikap makhluk tidak tahu diri itu begitu mempengaruhi kedua anaknya. "Morning Kak Naya, sudah lama nunggu?" Terdengar sapaan riang yang membuat Kanaya langsung menoleh. Ia mengernyit mendengar panggilan yang dilontarkan oleh Dewa. "Apa kamu bilang tadi?" tanyanya memastikan apakah tidak salah dengar? "Yang mana?" Dewa mengerutkan dahinya, berpura-pura tidak mengerti maksudnya. "Sudah lupakan, waktuku tidak banyak." Kanaya mengibaskan tangannya, merasa tidak terlalu penting juga. "Aku setuju dengan penawaranmu. Kapan aku harus bekerja?" tanya Kanaya to the point. "Wow, sesuai perkiraan," ucap Dewa mengulas senyum senang. "Tapi santai aja, Kak. Pesan minum dulu deh, aku laper banget habis ada kelas," lanjut Dewa memanggil seorang pelayan. "Kamu cukup bilang saja waktunya kapan. Aku udah siap, tapi ehm ..." Kanaya menghentikan ucapannya, cukup ragu untuk mengatakan apa yang ia inginkan. Dewa memiringkan kepalanya, menebak apa yang wanita didepannya ini pikirkan. "Nah apa aku bilang? Mending makan dulu, Kak. Kita bisa diskusi habis makan nanti, tenang aja, santai santai. Semua pasti aman kalau Mas Dewa yang ngurus," seloroh Dewa. Kanaya mencibir pelan, wanita itu memilih diam dan menunggu Dewa memesan makan terlebih dulu. Menghadapi bocah memang tidak boleh pakai emosi, begitulah yang Kanaya pikirkan. Tapi jika dia diam saja pun bosan. "Siapa sih yang bakalan kita temuin?" tanya Kanaya. "Mantan kekasihku," sahut Dewa singkat. "Oh, jadi ingin membalas dendam juga? Sayang sekali, kayak nggak ada wanita lain aja," ejek Kanaya "Bukannya Kakak juga sama?" Dewa menyahut seraya mendengus kecil. "Enak aja, aku tuh bukan balas dendam karena masih cinta sama dia. Tapi aku mau dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Enak aja sakit hati dibayar maaf, itu tidak adil," tukas Kanaya membela dirinya. "Ya aku percaya saja, wanita memang selalu benar," ucap Dewa. "Bukan wanita yang selalu benar, tapi lelaki yang selalu salah," cetus Kanaya. Dewa menghela napas panjang, ia mencoba tenang menghadapi sifat Kanaya yang memang tidak pernah mau disalahkan ini. Untungnya tidak beberapa lama kemudian, makanan yang dipesan sudah datang. Jadi Dewa tidak harus menghadapi sifat Kanaya yang suka marah tidak jelas itu. "Eh, kenapa aku dipesankan juga?" Kanaya cukup terkejut melihat makanan didepannya. "Nggak enak kalau makan sendirian. Ayo makan dulu. Masalah juga nggak akan berkurang kalau kita nggak makan," jawab Dewa dengan asal. "Aku udah makan, kenapa nggak ngomong dulu sih? Buang-buang uang banget, kamu itu nggak pernah tahu gimana orang tua kamu susahnya nyari uang. Malah enak-enakan aja." "Kamu udah pernah makan spaghetti disini belum? Rasanya paling enak, cobain deh." Bukannya meladeni perkataan Kanaya, Dewa justru menyodorkan satu sendok spaghetti yang masih mengepulkan asap kearah Kanaya. "Apaan sih? Aku bisa makan sendiri," ketus Kanaya mengernyit kesal. "Yakin nggak mau nyobain? Biasanya kalau makan dari tangan orang lain itu enak loh. Aaaaaaakkkkkk." Dewa mengedipkan sebelah matanya seraya terus menyodorkan makanan itu kepada Kanaya. "Enggak, aku kenyang." Kanaya melengos meski makanan itu benar-benar menggoda selera dari baunya. "Yaudah kalau nggak mau." Dewa menarik tangannya kembali dengan ekspresi menyayangkan. "Ish, nggak jelas banget sih jadi cowok. Kalau emang nggak mau ngasih, ya nggak usah ngasih. Ngapain nawarin segala? Bikin kesel orang aja," tukas Kanaya malah uring-uringan sendiri. "Loh, katanya kamu nggak mau? Ya aku makan sendiri aja," sahut Dewa dengan santai menikmati makanan didepannya. Kanaya semakin dongkol, ingin memaki tapi ia menahan dirinya. Ia langsung memakan makanan miliknya dengan dekat karena kesal sendiri entah karena apa. Dewa menahan senyumnya, melihat ekspresi Kanaya yang bersungut-sungut itu membuat hatinya senang juga. Terlihat lucu dan menggemaskan. "Eh? Apa-apaan aku ini?" batin Dewa yang merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Setelah selesai makan, Kanaya langsung membicarakan semua kesepakatan yang telah mereka buat. Tidak ada basa-basi karena saat ini ia benar-benar sudah muak sekali dengan mantan suaminya yang bazingan itu. "Kamu nggak apa-apa kalau mau aku ngasih kos-kosan kek, atau kontrakan biasa. Nggak masalah, yang penting aku pengen segera keluar dari rumah neraka itu," ujar Kanaya. Dewa mengangguk mengerti. "Oke, maunya kapan?" kata Dewa menyanggupinya saja. "Kapan kamu ada waktu aja," sahut Kanaya. "Ini aku ada waktu. Buktinya bisa ngomong sama Kakak," kata Dewa mengulas senyum tipisnya. "Serius bisa nggak sih!" seru Kanaya. "Loh, aku nggak seriusnya dimana? Mau pindahkan sekarang? Ayo aja aku mah. Apa minta ditemenin sekalian, siapa tahu Kakak takut nanti di rumah baru." Dewa mengerlingkan sebelah matanya. "Sekali lagi kamu memanggilku, Kakak. Aku akan memukul kepalamu," tukas Kanaya, risih sekali mendengar panggilan Dewa padanya. "Baiklah, baiklah. Aku memang serius ingin membantumu. Kita cari rumahnya sekarang, nanti sore kita akan pergi," kata Dewa, kali ini benar-benar serius. "Pergi kemana?" "Malam nanti acara pernikahannya, pacar palsuku tentu tidak boleh berdandan biasa saja. Sore nanti kamu harus pergi ke salon, tenang saja aku yang akan mengurusnya," ucap Dewa. "Ngapain ke salon segala sih? Aku bisa dandan sendiri, belikan aku saja baju," tolak Kanaya, tidak mau Dewa membuang uangnya lagi. "No, wanita yang menjadi pacarku tidak boleh biasa saja. Hari ini kakak menurut padaku saja, oke?" Dewa menaikturunkan alisnya. Kanaya baru saja akan membuka mulutnya tapi Dewa sudah lebih dulu meletakkan jari telunjuknya dibibirnya membuat Kanaya langsung bungkam. "Ssstttt, jangan membantah untuk kali ini saja. Percaya padaku, aku akan membuat semua seperti yang kamu inginkan. Kamu ingin membalas perbuatan suamimu bukan? Ini salah satu caranya, percaya padaku," kata Dewa memandang Kanaya dengan sangat serius, tatapannya tidak tajam tapi juga tidak lembut, tatapan Dewa itu seperti menembus jantung Kanaya hingga rasanya berdetak tak karuan. Kanaya bahkan reflek mengangguk dan diam saja saat Dewa menarik tangannya lalu membawanya pergi keluar kafe menuju parkiran. Ia sedikit mengernyit saat Dewa berhenti disamping motor besar berwarna hitam. "Eh, kita naik ini?" tanya Kanaya. "Yaps, tadi lupa nggak bawa mobil buat jemput ratuku ini. Nggak apa-apa ya, kita naik motor dulu," sahut Dewa. "Basi," cibir Kanaya menyembunyikan wajahnya yang memerah tersipu. Siyalan, aku apaan sih? Ingat Kanaya, tujuanmu hanya balas dendam! Dewa terkekeh-kekeh, ia segera mengambil helm miliknya lalu memakaikannya kepada Kanaya. Meskipun umurnya masih dibawah Kanaya, tapi tubuhnya jelas lebih tinggi dari wanita itu hingga saat berdiri seperti ini Kanaya hanya sebatas dagunya. Sementara Kanaya hanya bisa terpaku, berusaha keras menipu dirinya jika ia tidak terpesona dengan pria muda didepannya. "Sudah, ayo naik," kata Dewa. Dewa naik motor itu terlebih dulu lalu Kanaya, tapi wanita itu memilih berpeganan pada demper belakang, enggan untuk berpegangan pada Dewa. "Pegangan, nanti jatuh." "Enggak, kamu jalan aja." Dewa mengerutkan dahinya, ia melirik Kanaya yang bersikap keras kepala itu. Ia tersenyum kecil, tanpa aba-aba ia memasukan gigi motornya hingga motor itu melaju secara tiba-tiba dan reflek langsung memeluk pinggangnya. Namun, selain itu ia merasakan sesuatu yang empuk menyentuh punggungnya. Membuat ia membulatkan matanya. "Dewa!" teriak Kanaya langsung memukul kepada Dewa dengan cukup keras. "Aku tidak sengaja, maaf. Peganganlah, nantj kamu bisa jatuh," kata Dewa meringis. "Enggak, kamu sengaja!" "Enggak seriusan. Enggak jadi nanti kita." "Awas aja nanti." Kanaya mencoba tenang, ia berpegangan pada kemeja Dewa. Dewa pun segera melajukan motornya perlahan, tapi lama-lama cukup kencang sehingga membuat Kanaya mah tidak mau memeluk perut pria itu karena ia juga takut. Dewa yang merasakannya tersenyum kecil, pria itu sepertinya juga senang karena Kanaya mau memeluknya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD