Bab 7. Pacar Palsu

1300 Words
Dewa mengajak Kanaya pergi untuk melihat rumah terlebih dulu. Memberikan pilihan kepada wanita itu untuk memilihnya. Tapi sejak tadi Kanaya selalu menolak dengan alasan terlalu bagus, terlalu mahal dan ia tidak akan sanggup membayar uang bulanannya. Sekarang saja ia belum punya pekerjaan pasti, bagaimana nanti ia bisa membayar? "Nggak usah lihat angkanya. Buat aja kamu nyaman dulu disini. Aku urus nanti." Dewa dengan santai memberikan solusinya, tapi Kanaya tentu merasa tidak enak dan malah menyalahkan dirinya. "Kamu mau bayar pakai apa? Uang aja masih minta sama orang tua, nggak usah sok-sokan deh," ujar Kanaya. "Nggak, aku ada usaha sendiri. Kamu khawatir banget sih," kata Dewa. "Usaha sendiri?" Kanaya menatap Dewa curiga, berpikir usaha apa yang dikerjakan anak muda seperti Dewa. "Udah nggak usah banyak tanya, waktu kita itu nggak lama." Karena kesal terus-menerus dicerca pertanyaan oleh Kanaya, Dewa tiba-tiba saja menarik kepala Kanaya lalu meletakkannya di ketiak. "Dewa! Akhhhhhh lepasin nggak!" teriak Kanaya. "Enggak, janji dulu kalau nggak bakalan ngomel lagi," sahut Dewa terkekeh-kekeh. "Apaan sih! Lepasin nggak? Aku teriak nih!" ancam Kanaya tapi tidak digubris sama sekali oleh Dewa. Pria itu baru melepaskannya setelah sampai didekat motornya. "Brengsekkkkkk! Kurang ajar kamu!" umpat Kanaya bersungut-sungut kesal. "Siapa suruh bawel banget jadi orang, kalau banyak tanya lagi, nanti aku akan-" "Akan apa?" sergah Kanaya dengan nada tak sabar. Dewa menyeringai, ia tersenyum jahil lalu menarik pinggang Kanaya hingga tubuh mereka menempel erat. Kanaya ingin berteriak tapi tiba-tiba Dewa mendekatkan wajahnya membuat ia reflek memejamkan matanya. "Aku akan menciummu sampai kamu pingsan," bisik Dewa dengan sengaja menghembuskan napasnya dengan kasar sehingga tubuh Kanaya merinding. Kanaya membuka matanya, ia mencoba untuk tetap waras. Ia tidak boleh terlena akan godaan dari Dewa. "Jangan macam-macam," ucap Kanaya memelototi Dewa dengan kesal. "Nggak macam-macam kok. Cukup satu macam aja, kamu," ujar Dewa mengedipkan sebelah matanya menggoda Kanaya dengan senyuman manisnya. Kanaya membuang pandangannya, sial sekali. Baru seperti itu saja ia sudah seperti gila. Pria ini jelas sangat berbahaya, ia harus berusaha untuk tidak menggunakan perasaannya. Sudah cukup luka yang Adit torehkan padanya, sekarang bukan waktunya ia memikirkan perasaan. "Besok pagi kayaknya tempatnya udah bisa ditinggali. Yang di komplek D-Rose tadi saja ya, aku rasa itu tempat yang aman. Mantan suamimu tidak bisa sembarangan datang kesana. Tempatnya juga strategis, dekat sama SMP Merdeka," kata Dewa setelah membuka ponselnya sebentar, menginformasikan kepada temannya untuk segera mengurus semua surat-surat tentang rumah. "Dewa." Kanaya menggeleng tidak setuju, rumah di komplek itu terlalu mahal. Dan Dewa terlalu baik sampai memikirkan tentang kenyamanan anak-anaknya juga. "Kenapa? Terlalu mahal lagi?" Dewa melirik Kanaya yang berwajah lesu itu. "Iya, aku sekarang itu nggak ada kerjaan. Bagaimana kalau nanti aku nggak bisa bayar? Emang kamu nggak takut aku kabur gitu?" Dewa tergelak, ia mengacak-acak rambut Kanaya dengan gemas. "Polos banget sih jadi orang. Kalau kabur ya gampang, aku tinggal bawa foto kamu ke kantor polisi. Lagian ya kamu itu aneh, kamu mau kabur kemana emangnya? Bukannya nggak ada duit?" ejek Dewa. "Nah makanya! Jangan kasih rumah yang mahal-mahal biar aku gampang nyicil hutang ke kamu!" sentak Kanaya memukul lengan Dewa, sepertinya itu hobi Kanaya sekarang. "Nggak usah dicicil, aku kasih syarat gampang," kata Dewa mengulas senyum misteriusnya. "Syarat apalagi?" "Jadilah pacarku." Kanaya terkejut, ia memandang Dewa lalu tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kamu tertawa? Apanya yang lucu?" desis Dewa. "Minimal kalau mau gombal kira-kira, ya kali kamu pacaran sama janda dua anak kayak aku," celetuk Kanaya. "Emang kelihatan kalau aku sedang gombal? Aku itu serius," kata Dewa dengan wajahnya yang sangat serius. Kanaya mengerutkan dahinya, ia melipat tangannya diatas perut. "Lalu, apa alasanmu mau denganku? Padahal kamu udah tahu kalau aku punya anak," tanya Kanaya. "Apakah semuanya butuh alasan? Aku merasa nyaman denganmu," sahut Dewa tanpa merubah ekspresinya, benar-benar menatap Kanaya dengan serius. Kanaya tersenyum kecil, tidak mudah terbawa suasana apalagi percaya. Ia menepuk pelan bahu Dewa. "Sudah ya, waktu bercandanya udah kelar. Kita pergi sekarang," kata Kanaya. "Aku tidak sedang bercanda, Kanaya," desis Dewa tapi tidak digubris sama sekali oleh Kanaya. Wanita itu hanya menganggap Dewa mungkin sedang bermain-main saja. Dewa mendengus kecil, jiwa pemburu dalam dirinya langsung bangkit begitu mendapatkan penolakan ini. Dalam hidupnya tidak ada satupun wanita yang menolak dirinya. Tapi Kanaya? "Dia wanita yang berbeda, aku sangat penasaran kenapa dia tidak tertarik denganku? Well, kita lihat sampai kapan dia bisa bertahan?" batin Dewa yang merasa diliputi sebuah debaran yang tak biasa. Dewa tersenyum kecil, sepertinya ia harus melakukan sesuatu yang lebih agar Kanaya bisa melihat dirinya. *** Malam mulai datang, Kanaya sudah siap dengan baju yang terlihat sangat elegan membalut tubuhnya. Berwarna hitam dengan taburan berlian yang cukup banyak, membuat kesan elegan itu sangat terpancar dalam diri Kanaya. Wanita itu meskipun sudah berkepala tiga, tapi wajahnya masih sangat cantik dengan bentuk tubuh yang sangat ideal. Sejak tadi penata busana telah mendandaninya dari atas sampai bawah. Merubah seorang Kanaya yang sering berdandan ala kadarnya menjadi begitu cantik layaknya seorang gadis, padahal wanita itu sudah punya anak. "Perfect, Dewa pasti seneng banget nih lihat kamu. Emang nggak salah itu anak milih cewek," ujar sang penata busana tampak sangat puas dengan hasil karyanya. Kanaya meringis, ucapan itu entah kenapa membuat ia tersindir sendiri. Dewa yang beruntung atau dirinya? "Coba kamu hubungi dia, udah sampai mana? Jangan bilang masih main di OYO," timpal sang penata busana lagi. "Tadi bilangnya ada kerjaan, bentar aku hubungin dulu," kata Kanaya mengambil ponselnya, ia sudah punya nomor ponsel pria itu, jadi ia langsung menghubunginya. Namun, sebelum ia menghubungi Dewa, pria itu sudah lebih dulu datang kesana dengan tampilan yang sudah segar dan memakai setelan jas hitam yang senada dengan gaun Kanaya. "Ternyata udah dateng, baru aja aku mau hubungin. Habis darimana aja sih, lama banget," omel Kanaya. "Biasa, ada kerjaan." Dewa menyahut tanpa menoleh, pria itu sedang sangat serius memandangi layar ponselnya. "Serius banget si Lo, lihat nih cewek Lo, udah gua dandanin. Kali ini Lo harus kasih gue barang dobel ya," celetuk sang penata busana melirik Dewa sebal. "Gampang, sekarang diman ...." Dewa menghentikan ucapannya tatkala melihat sosok wanita cantik berdiri didepannya. Ponsel yang sejak tadi ia pegang langsung merosot begitu saja melihat Kanaya yang sangat cantik. Benar-benar cantik sekali seperti seorang putri, kata dua anak itu langsung pupus jika melihat bagaimana penampilan Kanaya saat ini. Sangat-sangat cantik hingga membuat seorang Dewa tidak bisa berkata-kata. Kanaya yang ditatap seperti itu mendadak gugup sendiri. Tatapan Dewa seperti ingin menelannya hidup-hidup dan membuat ia sangat gugup sekali. "Ada apa? Apa aku terlihat aneh?" tanya Kanaya dengan gugup. "Tidak, ehm maksudku kamu ehm, apakah sudah siap?" Dewa tergagap, ia hanya ingin mengatakan jika Kanaya sangat cantik, tapi ia tidak bisa karena gugup sendiri. Penata busana itu tersenyum puas melihat ekspresi Dewa. Pria itu terlihat sekali begitu terpesona dengan kecantikan Kanaya. "Susah banget mau bilang cantik. Udah buruan bawa, yakin deh, nanti disana cewek Lo bakalan jadi bintang. Si Clara itu pasti bakalan nyesel," ujar penata busana yang memang sudah menjadi teman dekat Dewa. Dewa langsung menoleh, mendengar itu kenapa sekarang ia tidak rela jika Kanaya akan dilihat banyak pria? Tapi, bukankah itu memang tujuannya? "Ehm, aku akan pergi sekarang. Nanti barangnya dikirim, Nick. Nggak usah neror gue," kata Dewa. "Aman, aman." Dewa segera mendekati Kanaya, pria itu masih terpesona dengan kecantikan wanita itu, apalagi kini Kanaya menggunakan baju yang terbuka, memperlihatkan keseksian wanita itu. "Apa Lo nggak punya jaket?" tanya Dewa. "Jaket buat apaan? Cewek Lo udah cantik gini." "Diluar dingin, dia bisa masuk angin nanti," celetuk Dewa dengan sebal. "Astaga, Lo posesif juga jadi cowok. Bentar gue ambilkan." Kanaya tersenyum geli, melihat ekspresi Dewa saat ini seperti ia melihat anaknya Kala yang sedang ngambek. Ia lalu segera memakai jaket yang diberikan oleh penata busana itu, barulah Dewa merasa puas. "Udah?" tanya Dewa. "Ehem." Kanaya mengangguk mengiyakan. Dewa mengulurkan lengannya yang Kanaya sangat paham artinya, ia langsung merangkul mesra lengan pria itu lalu pergi bersama untuk melakukan misi yang telah direncanakan. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD