Kehangatan Malam Mencekam
Dominick menutup pintu kamar penthouse aaprtement perlahan. Tubuhnya masih tegang, pikirannya dipenuhi rencana balapan berdarah yang menantinya. Namun ketika matanya jatuh pada sosok Elira—wanita cantik yang berdiri dengan anggun di tepi ranjang dengan gaun satin tipis yang jatuh pas di tubuhnya, dengan gelas wine di tangannya—dia merasakan sesuatu yang lebih mengancam daripada puluhan mafia bersenjata, rasa takut kehilangan wanita itu.
"Elira..." suaranya parau, berat.
Wanita itu menatapnya lama, lalu berjalan mendekat. Kain satin yang dia kenakan seolah menempel pada kulitnya, memperlihatkan lekuk yang selama ini membuat Dom gila. Dia berhenti tepat di depan pria itu, jemarinya yang hangat menyusuri d**a kokoh Dom yang penuh bekas luka. d**a yang menjadi tempat ternyaman untuknya.
"Kau akan pergi, bukan? Haruskah, kau mempertaruhkan hidupmu, Dom..." bisiknya, nyaris seperti erangan.
Dominick tak menjawab. Sebagai gantinya, dia menarik pinggang Elira, menciumnya dalam-dalam. Bibir mereka menyatu dengan rakus, panas, tanpa jeda.
Elira merintih kecil. "Ahhh! Dom..." tangannya mencengkeram rambut Dom, sementara tubuhnya menempel semakin erat dalam pelukan tangan kekar itu.
Gaun tipis itu melorot dari bahunya, hingga kain satin jatuh bebas ke lantai. Kulit lembutnya kini tergerai wangi semerbak sepertinya dia baru saja keramas. "Kau baru keramas?" Tanya Dom sambil mengusap lembut dengan telapak tangannya yang kasar. Dia menunduk, mencium leher Elira, lalu menggigit pelan hingga wanita itu menggeliat dengan desahan tertahan.
"Ahhh! Dom..." suaranya pecah, penuh kebutuhan.
Dominick mengangkat tubuh ramping wanita favoritenya belakangan, membaringkan tubuh itu perlahan ke ranjang. Bibir mereka kembali menyatu, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Nafas mereka terengah, panas tubuh bercampur, keringat mulai muncul. Elira melingkarkan kakinya di pinggang pria itu, menariknya lebih dekat membuat Dom semakin terbakar.
Setiap gerakan mereka semakin liar, setiap sentuhan menyalakan api yang membakar keduanya. Desahan Elira memenuhi ruangan, bercampur dengan bisikan nama Dominick yang dia ulang-ulang di telinganya. Dominick menunduk, mencium setiap lekuk tubuhnya, dari bahu hingga perut, membuat wanita itu melengkungkan punggungnya di atas ranjang, hampir kehilangan kendali.
"Dom... jangan berhenti..." suaranya memohon, bergetar antara rintihan dan keinginan.
Dominick kembali menatapnya, mata mereka saling mengikat dalam keheningan sesaat sebelum badai. Dan kemudian mereka melebur lagi, lebih cepat, lebih panas, tubuh saling menekan, seolah dunia luar tak pernah ada.
Waktu berhenti. Yang tersisa hanyalah suara mereka, napas yang memburu, ciuman yang rakus, tubuh yang menyatu dalam ritme yang liar namun penuh cinta.
Saat akhirnya mereka mencapai puncak gairah, Elira berteriak namanya. "Oughhh! Doomm...aku sampai...." air mata bercampur keringat di pipinya. Dominick jatuh di sampingnya, tubuh mereka masih menempel, d**a naik turun tak beraturan. Dom memeluknya, membawanya pada pelukan d**a bidang yang penuh dengan bekas luka
Dalam kelelahan, Elira berbisik serak,
"Aku benci malam-malam seperti ini," bisiknya sambil menatap wajah tampan pria yang memelukna erat. Tangannya menelusuri rahang kokoh pria itu, turun ke leher, lalu d**a kerasnya. "Malam di mana aku tidak tahu apakah kamu akan pulang seperti ini atau tidak..."
Dominick memperketat pelukannya pada wanita yang selalu mampu membuatnya mabuk kepayang. Tubuh wanita itu langsung menempel erat, membuat desahan kecil lolos dari bibirnya.
"Kalau aku tidak kembali malam ini..." gumam Dom, tapi kata-katanya terputus ketika Elira menutup mulutnya dengan ciuman dalam. Lidah mereka bertemu kembali, beradu, saling menuntut. Ciuman itu panas, rakus, penuh hasrat yang tertahan terlalu lama.
Selimut yang menutupi tubuh Elira melorot ke bahunya, membuka kulit lembut yang mengundang sentuhan. Dominick mencium lekuk lehernya, menggigit pelan hingga wanita itu melenguh, jemari Elira mencengkeram rambutnya.
"Dom..." suara Elira pecah, bergetar antara rintihan dan peringatan. "Jangan... jangan biarkan aku sendiri di dunia ini. Tanpamu aku tak ingin rasanya menghirup udara dunia. Kau yang memberi harapan tentang indahnya dunia…”
“Husst! Kau harus tetap hidup, meski aku mungkin hanya bisa melihat wajah cantikmu dari kejauhan…” bisik Dom sambil membelai wajah cantik itu.
“Tidak, Dom. Hidupku adalah kamu…” bisiknya serak.
Dominick mendorongnya perlahan beberapa saat kemudian, tubuh mereka menyatu. Tangannya kasar tapi penuh kerinduan, menyusuri setiap lekuk, menyalakan bara yang membuat Elira menggeliat. Setiap sentuhan, setiap gesekan kain yang tersingkir, menambah panas di udara kamar itu.
Ciuman mereka berpindah—bibir, leher, bahu, d**a. Nafas mereka terengah, saling mencari udara di tengah badai gairah. Elira melingkarkan kakinya di pinggang Dom, menahannya agar tak pergi, seolah tubuhnya sendiri ingin mengikat pria itu di sini.
Malam itu bukan sekadar pelampiasan. Mereka bercinta dengan kegilaan, seakan waktu akan merenggut mereka kapan saja. Tubuh saling menekan, suara mereka berpadu, menjerit, berbisik, memohon, lalu meledak dalam klimaks yang mengguncang jiwa.
Ketika akhirnya mereka kembali terkulai lelah, napas masih memburu, keringat bercampur di kulit, Elira berbaring di d**a Dom, matanya berkaca-kaca.
“Aku harus segera pergi, Lira. Tidak ada yang bisa menahanku malam ini, sekalipun kamu…” bisiknya
"Kalau kau mati... aku akan ikut mati, Dom." Suaranya nyaris tak terdengar.
Dominick hanya membelai rambutnya, menatap langit-langit kamar. Dalam diam dia tahu—di luar kamar ini, maut sudah menunggunya.
“Kalau aku mati, kau harus hidup Elira. Kau harus membalaskan dendamku dan wujudkan apa yang ingin aku capai…” bisik Dom memberinya sebuah token rahasia. “Pegang ini dan kembalikan setelah aku kembali…”
“Aku tidak mau menerima apapun darimu kecuali kehadiranmu dalam keadaan hidup, Dom…” Lira memberikan kembali benda hitam bergambar Kuda kecil ke tangan Dom.
Dominick memeluknya erat, bibirnya menempel di dahi wanita itu. Tak ada janji yang berlebihan. Hanya keheningan yang menyakitkan—karena mereka berdua tahu, malam itu bisa jadi benar-benar yang terakhir.