Rahasia Jenggala 19

1837 Words
"Kalau naik motor berani nggak?" Jelita menatap Jenggala yang kembali berpenampilan seperti biasanya. Ini yang Jelita suka, Jenggala yang apa adanya. "Berani atuh." "Yakin yah?" "Iya." "Beneran yah?" "Iya ih." "Oke." Jenggala bertanya seperti ini karena tahu jika Jelita tidak bisa naik motor. Awalnya Jenggala tertawa terpingkal karena merasa lucu anak jaman sekarang tidak bisa naik motor tapi setelah di jelaskan oleh orang tua gadis itu dia mengetahui kalau Jelita memang pernah jatuh saat di bonceng sepupunya. "Ayo." Jelita mengikuti langkah Jenggala, dia menatap penampilan laki-laki itu dan dirinya. Menghela nafas, biarlah toh Jenggala tidak protes akan penampilannya. Jenggala berjalan ke arah garasi menyalakan motornya. Jelita meringis saat mendengar suara mesin yang menggaung. Tunggu ... Mereka akan pergi naik motor itu? Demi apa? Jelita mengigit kuku jarinya, yakinkah dia naik motor? Masalahnya Jelita sedikit trauma saat kelas 9 dia mengalami kecelakaan jatuh dari atas motor bersama sepupunya. Jenggala menoleh, saat itu dia sadar jika wajah Jelita terlihat pucat. "Masih mau naik motor?" Jelita tidak menjawab, dia menimbang-nimbang. Apa tidak apa-apa jika dia naik motor? Jelita sungguh penasaran bagaimana rasanya naik motor tapi dia takut terjatuh seperti 3 tahun lalu. "Ya udah kita naik mobil aja." Jenggala sudah mematikan motornya. "G-gua mau naik itu." Cicit Jelita. "Apa Je?" "Gua mau naik motor." "Yakin?" Jenggala tidak akan memaksa, jika memang gadis itu tidak ingin dia bisa mengganti kendaraan mereka. Jelita menarik nafas lalu menganggukkan kepala. Bismillah. Semuanya akan baik-baik saja. Hanya motor tidak akan membuatnya mati bukan? Pengalaman terjatuh dari motor dulu karena sepupunya-Joshua- belum sepenuhnya tahu bagaimana cara berkendara. Jelita yakin Jenggala akan menjaganya. "Ayo." Jenggala tersenyum, dasar Jelita. Jenggala naik ke atas motor terlebih dulu lalu mengulurkan tangan untuk membantu Jelita. Tetapi gadis itu hanya memegang tangannya, berdiri dengan wajah bingung. Ingin rasanya dia tertawa melihat Jelita yang tidak tahu bagaimana caranya naik motor tapi ini Jelita. Jenggala kembali turun, membopong tubuh gadis itu lalu menaikannya di atas motor. Jelita tersenyum menampilkan gigi rapihnya. Jenggala mengacak rambut Jelita saat pipi chubby itu kembali bersemu merah. Dengan telaten Jenggala memakaikan helm pada kepala gadis itu. Demi Tuhan, Jenggala benar-benar gemas sekali melihat wajah imut Jelita. Tubuhnya yang mungil di tambah wajah imutnya tentu membuat semua orang akan berkata jika dia siswa SMP. Percayalah Jelita itu awet muda. Jenggala menyusul naik ke atas motor, "Pegangan yah." Jelita langsung melingkarkan tangannya di perut Jenggala. Kepalanya di benamkan di punggung lebar laki-laki itu. "Pelan-pelan yah, Ga." Jenggala menepuk punggung tangan Jelita lalu menjalankan motornya keluar dari rumahnya. Saat Jenggala menjalankan motornya, tubuh Jelita menegang. Peristiwa 3 tahun lalu kembali hadir di ingatannya. Jelita meremas Hoodie yang di pakai Jenggala saat angin menerpa wajahnya. "Nggak apa-apa, Lo aman sama gua." Tangan Jenggala mengusap punggung tangan Jelita. Jelita menarik nafas lalu menghembuskan nya. Mencoba mencari posisi nyaman dan setelah mendapatkannya dia menikmati perjalanan itu. Kedua sudut bibir Jelita tertarik saat melihat banyak pasangan muda hilir mudik. Mereka terlihat menikmati momen itu bersama pasangannya. Ternyata naik motor tidak seburuk yang Jelita bayangkan. Jenggala menepati janji untuk membuat Jelita aman dan nyaman. Laki-laki itu sesekali mengusap punggung tangannya terkadang lututnya. Ya Allah rasanya meleleh sekali di perlakukan seperti ini. "Lo nggak tidur kan, Je?" Jelita mengangkat kepalanya, menumpukan dagu di bahu Jenggala. "Nggak." "Gimana? Masih takut?" "Hehe nggak." "Perasaan Lo gimana?" "Degdegan." "Wajar, ini kan baru pertama kali Lo naik motor." "Bukan degdegan karena itu." Kening Jenggala mengerut. "Terus?" "Degdegan karena gua bisa senyaman ini sama Lo." Seketika Jenggala langsung mengerem motornya. Beberapa pengendara yang ada di belakangnya tentu kaget sampai sahutan klakson terdengar dimana-mana. Jelita pun ikut kaget, dia bahkan memukul punggung Jenggala dengan kuat. Kenapa Jenggala tiba-tiba mengerem mendadak? Ada apa? Jelita ingin turun dari atas motor tapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Motor trail terbilang cukup tinggi untuk ukuran gadis boncel seperti dirinya. "Kenapa ih?" Suara Jelita sudah serak menahan tangis. "Hah?" "Kenapa mendadak berhenti?" "Ah itu ...." Jenggala tidak tahu harus menjawab apa, dia terlalu shock atas ungkapan Jelita. Benarkah Jelita mengatakan itu? "Ayo maju, ntar kita malah di amuk masa." Jelita menarik-narik Hoodie Jenggala. Laki-laki itu tersadar lalu melepas rem dan kembali melaju. Harusnya tadi Jenggala naik mobil saja supaya dia bisa mendengar jelas ungkapan Jelita. Tapi jika dia memakai mobil belum tentu Jelita akan mengatakan hal itu. Jenggala memegang jantungnya yang berdetak kuat. Astaga! Rasanya hanya dengan kata-kata itu saja sudah membuat Jenggala sebahagia ini. Bagaimana jika Jelita membalas perasaannya? Mungkin Jenggala akan berteriak kencang. Tidak ada obrolan lagi setelah itu. Jelita menikmati perjalanan itu, matanya terpejam merasakan hembusan angin yang menerpa kulit wajahnya. Wangi dari parfum Jenggala yang menenangkan tentu membuat Jelita semakin di mabuk kepayang. Nyaman sekali rasanya. Begini kah rasanya saat Gita bercerita tentang berkencan dengan teman laki-lakinya? Semua rasa di rasakan olehnya. Jantung berdebar halus membuatnya gemas sendiri. Pantas saja setiap pulang berkencan besoknya Gita akan bercerita heboh padanya, mengatakan ini dan itu. Saat itu Jelita menanggapinya dengan biasa, mengatakan Gita lebay tapi sekarang dia sendiri pun mengalami hal yang serupa. Ah setelah ini Jelita akan meminta maaf pada Gita. Motor tiba-tiba berhenti membuat Jelita sontak membuka matanya. Dia memandang ke sekelilingnya saat sudah ada banyak pasangan muda mudi yang hilir mudik. Mereka telah sampai rupanya. "Mau sampai kapan meluk guanya, Je?" Jelita langsung melepas pelukannya. Jenggala tertawa, dia turun dari atas motor setelah mematikan mesinnya. Melepas helm yang di pakai, setelah itu membantu Jelita membuka helmnya. Jenggala merapihkan rambut Jelita, menurunkan gadis itu dari atas motor. Dia memaklumi dengan segala sesuatu tentang Jelita. Mungkin Jenggala bukan tipe laki-laki sabar untuk Jelita tapi dia sedang berusaha. Berusaha memperbaiki diri menghadapi segala tingkah yang Jelita lakukan. Jelita mendongak menatap kafe di depannya. Terlihat nyaman dan aesthetic sekali tapi untuk ukuran makannya Jelita belum tahu yah. "Ayo." Jenggala menarik Jelita masuk ke dalam kafe. Saat dentingan pintu terbuka banyak pasang mata yang menatap mereka. Seketika Jelita menundukkan kepalanya melihay cara berpakaiannya. Jelita meringis, bisa-bisanya pergi dengan laki-laki tampan tapi dia hanya memakai piyama buluk nya. Menghela nafas, bodo amat lah dia menjadi pusat perhatian, sudah terlanjur juga mereka datang. "Oi Jenggala." Lambaian tangan dan teriakan seseorang membuat Jenggala ikut mengangkat tangan. Jenggala menarik Jelita melangkah ke arah 3 pria yang sudah duduk melingkar. Menarik salah satu kursi untuk di duduki Jelita dan duduk di samping gadis itu. "Gua pikir Lo nggak akan dateng." "Gua pasti dateng lah." "Woah sama siapa nih?" Jenggala menoleh menatap Jelita yang sedang menatap ke sekeliling. Ya Tuhan, mungil sekali Jelita, mana Jenggala baru sadar jika gadis itu memakai piyama. Berasa dia sedang mengajak sang adik pergi keluar. "Je kenalin ini temen-temen gua." Jelita mengalihkan tatapannya ke arah 3 laki-laki lalu tersenyum. "Ya ampun Lo dapet cewek imut begini dimana sih, Ga?" Tangan laki-laki di sampingnya akan mencubit pipi Jelita namun dengan sigap Jenggala menepisnya. "Nyentuh dia seujung kuku, gua potong tangan Lo." "Anceman Lo, Ga, ngeri banget anjir." Jenggala tidak memperdulikan protes temannya. "Yang itu Gading, Hadi sama Juno." Jelita melambaikan tangan. Gading yang melihat itu gemas sekali, dia ingin mencubit pipinya namun tatapan tajam dari Jenggala membuatnya harus menahan diri. Demi apa? Jenggala laki-laki kelebihan hormon itu bisa mendapatkan gadis se-polos ini. Woah ... Gading harus memberi apresiasi pada Jenggala, ini rekor karena laki-laki itu bisa di taklukan dengan bocah menggemaskan ini. "Hallo, gua Jelita." "Dapet karma baik apa Lo, Ga? Bisa-bisanya Lo dapetin cewek semanis ini." Pertanyaan Hadi sontak membuat kening Jelita mengerut. "Karma dari peristirahatan gua di masa lalu, mungkin." "Njir gua juga mau berhenti kalau dapet cewek semanis ini." Ucap Gading yang tanpa permisi langsung mencubit pipi chubby Jelita. Jenggala melotot kan matanya sedangkan Gading tertawa terbahak. Jelita hanya terdiam tidak melakukan apapun, dia hanya mengusap pipinya karena terasa menyakitkan. Gading, laki-laki itu tidak kira-kira sekali mencubit pipinya. Orang mah kalau cubit pipi itu dengan lembut ini kayanya pake tenaga. Panas sekali pipi Jelita rasanya. "Waduh pipi Lo merah, blushing yah neng?" Gading mencolek dagu Jelita. "Blushing dimana? Orang Lo cubit pipi gua pake tenaga." Sewot Jelita dengan delikan tajam. Jenggala melihat pipi Jelita yang memerah. Sialan. Gading memang cari mati. "Habis Lo gemesin banget." "Awas gading itu buaya." Ujar Juno. "Ayo mau pesen apa?" Hadi memberikan buku menu ke hadapan Jelita. Langsung saja Jelita menerima dan membukanya. Woah ... matanya berbinar. "Jenggala?" "Hmm." "Boleh pesen apa aja kan?" "Terserah Lo." "Oke." Hadi mengangkat tangannya meminta salah satu Pegawainya mendekat. Jelita menyebut beberapa makanan yang bisa di terima lambungnya. Juno, Hadi dan Gading yang mendengar pesanan Jelita menganga. Waiters hanya menulis pesanan yang Jelita inginkan, mungkin dia berpikir jika makanan itu pesanan yang lain juga. Jenggala? Laki-laki itu sudah tidak heran lagi. Perut Jelita menampung berapapun makanan yang masuk ke lambung. Tidak pernah gadis itu mengeluh kekenyangan, selain jika memang ada makanan yang tidak bisa di cerna. Setelah memesan banyak makanan Jelita duduk dengan tenang. Kakinya di goyangkan tidak sabar menunggu pesanannya. Demi apapun! Siapapun yang melihat Jelita sekarang mereka akan menganggap dia boneka hidup. Rambutnya yang panjang, lebat, hitam terawat benar-benar menakjubkan. Belum lagi wajahnya yang imut tentu menunjang segalanya. Hanya menunggu beberapa menit pesanan milik Jelita sudah datang. Jelita bertepuk tangan ringan, perutnya benar-benar lapar. Maklum saja, di rumah mulut Jelita tidak pernah berhenti mengunyah. Jelita meraih sepiring spaghetti bolognese, lalu memutar garpu dan memakannya. "Gua dapet korban dari pelabuhan." Hadi, Gading dan Juno yang sedang memperhatikan Jelita seketika mengalihkan pandangan mereka. "Orang yang ngirim korban pelakunya masih sama?" Pertanyaan dari Juno mendapat anggukan dari Jenggala. "Korban bilang dia cuman dapet janji buat memperbaiki kehidupan keluarganya tapi korban nggak tahu kalau dia bakal di jadiin pelacur." "Apa kita nggak apa-apa bahas hal ini di depan dia?" Ujar Hadi. Jenggala menoleh, "Dia bakalan sibuk sama makananya, nggak akan peduli sama orang lain." "Lo yakin?" Gading memandang Jelita yang sudah menghabiskan satu porsi spaghetti di ganti dengan nasi goreng. "Yakin." Jawab Jenggala. Ketiganya hanya mengangguk mencoba percaya dengan ucapan Jenggala. "Sekarang korban itu ada dimana?" Tanya Gading. "Gua serahkan sama pihak berwajib." "Gimana reaksi Rion?" Ujar Juno. "Rion sepakat buat mendalami kasus ini. Ini udah kesekian kalinya mereka lengah dan mereka nggak dapet apa-apa selain korban. Lo tahu sendiri Korban yang kita temuin rata-rata mereka punya gangguan mental." Juno membenarkan duduknya, "Terus kata Dokter jiwanya gimana?" "Gua nggak terlalu paham apa namanya dalam dunia psikologi, yang pasti Dokter bilang jiwanya emang ke ganggu, entah apa yang mereka lakuin sama para korban sampai mereka separah itu." Jenggala menghela nafas. Tadi saat Jenggala berpenampilan rapih dia memang sedang dalam mendapat tugas. Semua orang tahunya Jenggala seorang siswa SMA. Wajahnya yang memang awet muda dengan mudah mengelabuhi setiap orang. Saat Jenggala tertangkap polisi mungkin pihak sekolah kaget namun mereka hanya berpura-pura. Koneksi yang Jenggala miliki memudahkannya melakukan apapun. Jenggala bukan seorang siswa pindahan. Jenggala bukan laki-laki yang seumuran dengan para murid SMA. Dan Jenggala pindah itu karena memang dia mendapatkan misi. Semua yang dilakukannya ini memang ada niat tersembunyi. Lain kali Jenggala akan memberi tahu siapa dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD