"Kok rapih banget, dari mana?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Jelita.
Awalnya Jelita tidak akan bertanya apa-apa tapi entah kenapa bibirnya terasa gatal untuk bertanya. Melihat Jenggala yang rapih seperti ini tentu membuatnya curiga. Jenggala itu anak sekolahan tapi saat memakai jas seperti ini wajahnya yang bad boy di gantikan dengan aura berbeda. Terlihat dewasa dan Cool. Siapapun yang melihat Jenggala sekarang mereka pasti tidak akan mempercayainya.
"Abis dari rumah temen."
"Harus serapi ini yah?"
"Temen ngadain acara, masa gua harus pake baju acak-acakan." Jelita menganggukkan kepala mengerti.
Maaf, Jelita.
Nanti setelah saatnya tiba, gua bakal kasih tahu siapa gua sebenarnya.
"Terus kita mau kemana?"
"Pulang." Jelita menoleh lalu bibirnya cemberut.
Jenggala mengusak kepala Jelita, akhir-akhir ini mengusak kepala Jelita memang sudah menjadi hobinya. "Nanti malem mau keluar nggak?"
"Kemana?"
"Terserah." Jelita berpikir.
"Lagian besok kan libur, nggak sekalian mau bikin video mukbang? Terakhir kali Lo upload itu 1 Minggu sebelum gua ke tangkep polisi." Lanjut Jenggala.
"Kok Lo tahu sih?"
"Dari jutaan followers Lo salah satunya ada gua tentunya." Jelita memandang Jenggala yang sedang fokus menyetir.
Jenggala, laki-laki yang begitu nekad mendekatinya padahal Jelita slalu mengabaikannya. Awalnya perkenalan yang membagongkan tentu membuatnya masih ingat. Perkenalan yang tidak akan pernah Jelita lupakan. Jelita baru bertemu laki-laki aneh bin unik seperti Jenggala. Jadi wajar jika dia merasa kurang nyaman. Itu waktu di awal karena Jenggala tidak pernah berhenti mengganggunya. Namun semenjak di tanya, kenapa Jenggala slalu mengganggunya? Semua rasa penasaran Jelita terjawab. Jenggala menyukainya yang tentu membuat Jelita terkejut dan shock. Percaya atau tidak, bagaimana bisa Jenggala mencintainya sedangkan jika bertemu laki-laki itu slalu mem-bully nya. Tapi akhir-akhir ini entah kenapa perasaan Jelita terasa menghangat begitu saja. Jelita sedang mencari tahu apa yang di rasakan olehnya ini. Jika memang benar apa yang Gita katakan berarti memang dia sudah bisa membalasnya.
"Malah bengong lagi. Mau pergi nggak nih?"
"Kemana?"
"Gua bilang terserah kan."
"Tapi gua bingung mau pergi kemana." Jenggala melirik sebentar lalu kembali menatap jalan di depan dengan fokus.
"Sebenarnya temen gua ada pembukaan kafe baru, mau mampir ke sana?"
"Tempatnya enak nggak?"
"Aesthetic lah buat gua yang Instagramable." Jelita berpikir kembali.
Apa dia pergi keluar saja bersama Jenggala? Tapi ... apa Mamanya tidak akan marah jika dia keluar malam? Jelita hanya takut karena kemarin pulang malam dan sekarang meminta pulang malam lagi Mamanya marah lalu mengatakan jika dia melunjak. Walaupun Jelita sering bertengkar hal-hal kecil bersama Mamanya tapi tetep saja dia paling tidak bisa jika Mamanya sudah marah.
"Gua tanya Mama dulu boleh apa nggak keluar malem." Jenggala menganggukkan kepala.
Juwita, ibu Jelita sempat bercerita pada Jenggala jika Jelita memang sulit untuk di ajak pergi. Jelita lebih banyak menghabiskan diri di kamar seharian. Entah apa yang gadis itu lakukan selain membuat konten mukbang dan idolanya. Jenggala lihat, Ibu Jelita bukan sosok orang tua yang mengekang anak-anaknya. Orang tua Jelita membebaskan semua anak-anaknya. Mungkin bagi anak-anak seusia Jelita, jika di bebaskan seperti itu tentu mereka akan dengan senang hati menerima. Terkadang Jenggala bersyukur, Jelita lebih baik mengurung diri di kamar dari pada kelayapan tidak jelas. Setidaknya Jenggala pun tidak perlu takut Jelita kenapa-kenapa.
"Nanti kalau emang di bolehin pergi, chat gua aja."
"Gua nggak punya nomor Lo." Dengan lucu Jelita menatap Jenggala.
Jenggala menepuk kening, sudah dekat, kencan, pelukan bahkan sampai ciuman tapi untuk menyimpan nomor kontak satu sama lain tidak ada yang meminta terlebih dulu. Sebenarnya ada alasan, kenapa Jenggala tidak memilik nomor Jelita. Rumah mereka dekat, Jenggala tidak perlu repot-repot untuk menelepon atau chat hanya untuk mengetahui gadis itu. Jika rindu dia akan bertemu secara langsung. Rumah mereka hanya berjarak beberapa langkah, tinggal mengetuk pintu atau loncat lewat balkon dia bisa melihat sosok cantik Jelita.
Jenggala mengeluarkan ponsel dari saku jasnya lalu memberikan benda kotak itu pada Jelita. Jelita menerimanya lalu menyalakan ponsel milik Jenggala. Mata Jelita membulat, dia mengerjapkan mata.
"J-jenggala?"
"Ya?" Jenggala menoleh menatap Jelita yang sedang menatap ponselnya dengan seksama.
Mata Jenggala membulat, dia siap merebut ponsel miliknya namun Jelita lebih dulu berkelit. Matanya memandang Jenggala dengan tatapan marah. Sebenarnya di mata Jenggala, mau bagaimana pun ekspresi Jelita terlihat begitu menggemaskan. Bukannya merasa takut tapi Jenggala merasa lucu melihatnya. Dari ekspresi Jelita yang menampilkan kemarahan namun begitu berbanding terbalik melihat wajah gadis itu yang memerah. Jelas sekali jika Jelita marah di campur malu.
"Balikin sini ponselnya?" Jenggala menatap ke depan dengan tangan mencoba merebut kembali ponselnya.
"Bisa-bisanya Lo pasang wallpaper yang nggak senonoh begini Jenggala."
"Nggak senonoh dimana nya?"
"Yeah ini." Jelita menunjukan layar ponsel Jenggala. Rasanya malu, marah, kesal, semuanya bercampur aduk.
Bisa-bisanya Jenggala memasang foto mereka yang sedang berciuman. Yang menjadi pertanyaan Jelita, bagaimana bisa Jenggala mendapatkan foto ini? Sedangkan mereka yeah kalian tahu lah yah, Jelita malu sekali jika harus mengatakannya.
"Ini apa?"
"Foto ini Jenggala."
"Yah terus ada masalah?"
"Ada!"
"Apa?"
"Gimana kalau ada orang yang minjem hp Lo, terus mereka liat wallpaper ini?"
"Ponsel itu privasi jigieum."
Ya Allah.
Jelita tidak tahu sebenarnya apa yang Jenggala pikirkan. Bisa-bisanya dia memasang wallpaper foto ini. Jika saja Jenggala tidak memberikan ponselnya, entah sampai kapan dia tidak tahu tentang foto ini. Jelita benar-benar malu ya Allah. Bahkan bukan hanya telinga dan wajahnya saja yang memerah namun lehernya pun ikut memerah.
"Udah cepetan tulis nomor ponselnya."
"Gimana gua mau tulis kalau ponselnya juga di password."
"Angka kelahiran Lo." Jelita menatap Jenggala spontan.
"Kenapa lagi sih?" Jenggala heran, memangnya ada masalah apa sih kalau dia pasang wallpaper dan password yang menyangkut Jelita?
Dengan tangan bergetar Jelita membuka ponsel Jenggala. Jelita masuk ke aplikasi telepon, menekan setiap angka nomor ponselnya. Setelah itu dia membuka akun w******p, memperbarui kontaknya dan tidak lama mencari namanya sudah tertera di sana. Jelita mengetik sesuatu di chat room dan tidak lama ponselnya ikut bergetar. Jelita merogok ponsel yang ada di saku dan nomor baru sudah tertera. Melihat ada sesuatu yang membuatnya penasaran, Jelita menekan profil w******p dari Jenggala. Mulut Jelita menganga, apa lagi ini? Se-bucin ini kah Jenggala padanya? Bisa-bisanya Jenggala memasang profil fotonya yang bahkan Jelita saja tidak memilikinya. Jelita menoleh, menatap Jenggala yang sekarang sibuk menyetir.
Jenggala sebenarnya se-cinta apa Lo sama gua? Gua bener-bener nggak paham arti cinta itu gimana. Gua juga nggak ngerti yang sekarang gua rasain itu apa? Apa gua bener-bener cinta atau hanya sekedar rasa bangga karena ada cowok yang segitu cintanya sama gua. Ya Allah, Jelita teh bingung kalau udah gini. Lagian Jelita kan udah sepakat nggak akan dulu pacaran tapi kalau cowoknya kaya Jenggala siapa yang bakal nolak? Echan aja kayanya bakal tereliminasi dari daftar calon suami masa depan. Atuh, Echan maafin Jelita.
???
Jenggala
Gimana, jadi?
Jelita
Gua belum bilang sama Mama
Jenggala
Kenapa?
Jelita
Tadi Mamanya nggak ada di rumah
Tapi ini gua mau bilang sama Mama kok
Jenggala
Ya udah kalau jadi hubungin gua aja yah.
Jelita hanya me-read w******p dari Jenggala. Memang setelah kejadian saling save nomor tidak ada lagi percakapan. Jelita sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pun dengan Jenggala yang fokus menyetir. Jenggala sama sekali tidak merasa curiga jadi diamnya Jelita tidak masalah. Tapi berbeda dengan Jelita yang memikirkan, bagaimana bisa Jenggala se-bucin itu padanya? Jelita saja hanya tahunya nge-bucin pada Haechan saja. Begini kali yah di bucini sama orang lain. Jelita senyum-senyum sendiri dengan mengigit bantal guling nya. Matanya menatap poster besar milik Haechan.
"Echan ... gini yah rasanya di bucinin sama orang lain hiihii. Lo juga pasti bangga karena banyak yang bucinin elo kan? Ngaku, Chan? Lo pasti seneng kan setiap ketemu ciwi-ciwi di luaran sana teriak manggil nama Lo? Bangga kan Lo jadi rebutan ciwik-ciwik cantik? Echan ... malu banget gua. Gua pikir, gua yang bucin sama elo nggak bakal dapet cowok yang suka sama gua. Ini kali yah setiap gua nikung elo di persetiga malam buat jadi jodoh gua, Tuhan malah ngasih seseorang yang lebih. Yeah maksud gua lebih bisa di miliki secara nyata gitu. Populasi ciwi yang nge-bucin sama elo tuh satu persatu bakal di rebut sama jodohnya, sabar yah anak baik, anak ganteng. Echan, Lo harus ikhlasin gua juga, soalnya bentar lagi gua bakal ada yang punya mwehehehe. " Jelita dengan dunianya memang tidak bisa di jauhkan :(. Ini lah alasan kenapa Gita tidak setuju jika Jelita menyukai seseorang dalam dunia Internet. Jelita akan gila pada masanya dan ini lah salah satu cirinya.
Orang mah kalau cerita sama manusia yang bisa di ajak saling bertukar pikiran. Ini Jelita malah bercerita pada poster yang bahkan untuk menjawab pun tidak akan bisa. Kecuali jika itu poster memang ada penghuninya beda lagi ceritanya. Jelita mengalihkan pandangannya pada ponselnya, menepuk kening karena lupa jika dia ada janji dengan Jenggala. Turun dari ranjang, Jelita keluar dari kamar. Sejak pulang sekolah memang Jelita tidak keluar, Mamanya pun tidak tahu pergi kemana. Untuk mencoba meneleponnya buat apa? Karena sudah jelas Mamanya pergi jalan-jalan atau lainnya. Saat menuruni tangga Jelita mendengar suara yang seperti sedang berdebat. Dengan perasaan was-was Jelita sampai di anak tangga terakhir. Jelita melangkah ke arah ruang tamu, keningnya mengerut saat melihat Mamanya berdiri dengan tangan berkacak pinggang lalu suara Isak tangis terdengar.
Ada apa lagi ini?
Jelita berdiri tidak jauh dari ruang tamu, mendengarkan apa yang mereka perdebatkan. Mamanya bertengkar dengan Kakak' pertamanya, Jenita. Jelita melihat ada seorang laki-laki yang duduk di samping Kakaknya. Matanya berpaling pada Papanya yang memijat kening, terlihat gurat lelah di wajahnya. Sudah sangat jelas jika orang tuanya bertengkar karena laki-laki itu. Jelita mendekat, dia tidak bisa melihat keluarganya bertengkar terus menerus.
"Mama." Jelita memanggil Juwita. Juwita yang merasa di panggil menoleh, matanya membulat saat melihat Jelita yang mendekat.
"Kenapa de?" Langkah Jelita terhenti, jika Mamanya sudah mengatakan kata Ade itu artinya memang dia tidak di izinkan untuk turut adil.
Jelita menarik kedua sudut bibirnya, "Lita mau izin pergi."
"Pergi?" Juwita mendekat lalu meraih tangan putrinya.
"Ini nggak seperti yang kamu denger yah, de. Kamu mau pergi kemana?" Juwita tentu khawatir, mau pergi kemana Jelita malam-malam begini? Apa Jelita mendengar pertengkarannya dengan anak sulungnya?
"Mau pergi sama Jenggala, Ma." Juwita yang awalnya berpikir yang tidak-tidak langsung bernafas lega. Bodohnya, jika Jelita mendengar percakapan mereka untuk apa meminta izin pergi?
"Ah ... ya udah kalau gitu hehe."
"Ya udah Lita pergi yah, Ma."
"Hati-hati sayang." Jelita melepaskan tangan Mamanya lalu mengangguk.
"Pa, Lita pergi yah?"
Januar mengangguk, "Masih ada uang nggak?"
"Hehe ada kok Pa."
"Ya udah hati-hati." Jelita mengangguk lalu pergi berlalu dari ruang tamu setelah menganggukkan kembali kepalanya pada Kakak dan laki-laki yang menatapnya intens. Jelita merasa risih, dia buru-buru berlari keluar rumah. Bodo amat dia memakai piyama juga, bodo amat ponsel dan dompet tertinggal di kamar, toh dia bisa meminjam uang pada Jenggala.
Jelita membuka gerbang besar rumah Jenggala. Tanpa menutup kembali pagarnya, dia berlari mengetuk pintu besar itu secara brutal.
Tok Tok Tok
"Jenggala, buka pintunya." Jelita tidak peduli tangannya akan terluka.
"JENGGALA?!" Jelita berteriak dan sekarang dia menendang pintu itu.
Tidak lama pintu terbuka dengan sekali sentak, Jenggala akan membuka mulut namun Jelita langsung menghambur ke pelukannya.
"Kenapa sih Lo? Kalau nih rumah roboh gimana?"
"Mama, Papa sama Kak Nita berantem lagi."
"Lagi?" Jelita menganggukkan kepalanya.
Jenggala menatap sekitar dan matanya terpaku pada satu pasang mata yang sedang mengintip. Senyum miring terbit di bibirnya, tahu apa penyebab tubuh Jelita bergetar begini. Tanpa perlu mencari tahu pun Jenggala mengerti, tatapan pria itu menatap Jelita dengan berbeda.
"Masuk dulu, yuk." Jenggala mengiring Jelita masuk ke dalam rumah dengan menutup pintu dengan kuat sampai berdentam.
"Astaghfirullah ya Allah." Jelita terkejut sampai mengucap istighfar.
"Nggak apa-apa oke." Ucap Jenggala dengan mengusap kepala Jelita.
Ternyata insting gua bener. Nggak usah mimpi! Siapapun yang nyoba rebut Jelita dari gua, siap-siap aja nyawa Lo yang nge-layang.