Dewa kembali dari perusahaan sore hari kemudian. Pria yang masih mengenakan jas lengkap itu masuk ke dalam rumah, melihat Arsila yang sedang duduk di sofa ruang keluarga sambil menyusui putranya. Langkah kaki Dewa sontak berhenti, menatap lurus pada sebagian gundukan putih kenyal yang terlihat. Ada noda merah yang sangat kontras dengan warna di sekitarnya. Setelah menatap cukup lama, Dewa memalingkan wajah, melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Dari awal hingga akhir Arsila tidak menyadari keberadaan Dewa. Matanya menatap fokus pada tv yang sedang menayangkan sebuah sinetron populer di kalangan ibu-ibu. Sesekali Arsila menunduk, melihat anak yang sedang menyusu dengan rakus di dadanya. Mata anak itu terbuka, sambil menghisap, dia menatap Arsila dengan mata bulat dan polosnya.
"Kenapa, Sayang? Hm?" Arsila dengan lembut mengusap kening anak itu.
Bayi kecil itu melepaskan p****g yang dia hisap, tersenyum dengan gigi ompong pada Arsila. Setelah itu dia kembali menyusu. Arsila sontak tertawa dengan geli.
Melihat jam yang menunjukan pukul lima sore, Arsila menyudahi menyusui setelah anak itu dirasa cukup kenyang. Dia merapihkan dirinya, meletakan bayi kecil itu ke dalam stroller. Arsila mendorong stroller ke dapur, meletakan anak itu agak jauh dari kitchen. Setelah itu dia memasak makanan untuk sore ini.
"Apa yang kamu masak?" tanya Dewa yang baru saja turun dengan tubuh segar.
Arsila tidak menjawab, dia terus melakukan aktivitasnya sendiri.
"Arsila," panggil Dewa setelah dia tidak mendapatkan jawaban.
Satu detik, dua detik, satu menit, masih belum ada jawaban dari Arsila. Kening Dewa bertaut, dia merasa Arsila terlalu berlebihan. "Saya membayar kamu, Arsila," ujar Dewa dengan nada tidak suka.
Gerakan Arsila tiba-tiba berhenti, tubuhnya membeku mendengar apa yang Dewa katakan. "Saya tau," balas Arsila tanpa menoleh untuk menatap Dewa.
Kerutan di dahi Dewa semakin dalam, dia tidak suka diacuhkan seperti itu. "Kamu harus berhadapan langsung ketika seseorang mengajak kamu bicara, Sila."
Kesal, Arsila meletakkan pisau yang dia pakai untuk mengupas bawang. Arsila berbalik menatap Dewa. "Saya tau. Sya lagi masak, kalau Bapak khawatir saya akan hamil, saya pake link kb, akalu Bapak juga khawatir saya akan membawa masalah ini lebih jauh dan meminta Bapak untuk menikahi saya, saya enggak akan. Saya tau kalau saya di bayar." Sila menganggukkan kepalanya.
Dewa menghela nafas lega, mengangguk dengan puas. "Baguslah, saya enggak mau berurusan dengan hal-hal yang merepotkan. Lanjutkan masakan kamu." Setelah mengatakan itu Dewa melenggang pergi dari sana, meninggalkan Arsila yang menatap punggung lebarnya.
Dada Arsila berdenyut perih, bukan karena dia jatuh cinta pada Dewa lalu dikecewakan oleh kata-katanya. Melainkan karena Arsila masih tidak menyangka dia akan jatuh hingga ke titik ini. Titik di mana tubuhnya pun di bayar. Bapaknya pasti akan murka dan mengutuk dia jika saja masih hidup.
***
Di malam hari, ketika Arsila hendak tertidur di atas kasurnya, ponsel di samping tubuhnya berdering. Arsila menguap, mengambil ponsel dan menjawab panggilan telepon.
"Halo, Sil." Suara Surtinah terdengar.
"Halo, Bi. Ada apa, Bi?" tanya Sila.
"Sil, ibu kamu pingsan lagi, hidungnya mimisan lagi, Sil," jawab Surtinah dengan nada panik.
Alhasil Arsila langsung menegakkan tubuhnya, dia buru-buru turun dari tempat tidur saat menyadari bahwa sekarang dirinya berada jauh dari kampung halaman.
"Terus sekarang ibu di mana?" tanya Arsila.
"Dibawa ke rumah sakit. dokternya bilang kalau ibu kamu harus cepet-cepet di kirim ke rumah sakit yang lebih bagus soal pengobatan. Penyakitnya udah parah."
Mengigit kuku di jari tangannya, Arsila sangat cemas hingga dia tidak tahu harus bagaimana. Tidak mungkin untuk mengirim ibunya ke luar negeri sekarang, yang Arsila tahu adalah butuh proses panjang tang harus dilalui untuk bisa berobat di sana. Lagi pula, uangnya juga tidak cukup.
Bagai lalat tanpa kepala, Arsila berputar-putar di kamar itu. Dadanya terasa sesak, dia panik, takut, dan sedih. Apa yang harus aku lakuin? Apa yang harus aku lakuin? Apa yang harus aku lakuin? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Arsila.
Langkah kaki Arsila tiba-tiba terhenti ketika dia mengingat sesuatu. Arsila memakai cardigan nya, keluar dari kamar dengan terburu-buru. Berjalan sedikit, Arsila tiba di depan sebuah pintu berwarna hitam—kamar Dewa, bosnya.
"—Pak Dewa?" Arsila mengetuk pintu dengan pelan dan ragu.
Lama tidak ada jawaban, Arsila kembali mengetuk, kali ini dengan lebih keras.
"Masuk!" suara Dewa terdengar dari dalam.
Merasa gugup, Arsila membuka pintu dengan pelan. Sebelum masuk, dia melihat ke kiri dan ke kanan kamar Dewa, menatap pria itu yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap fokus pada laptop di pangkuannya.
"Pak," panggil Arsila ketika dia berjalan mendekati Dewa.
"Ada apa?" tanya Dewa, tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.
Arsila menunduk, dia merasa malu dan gugup. Arsila tidak tahu harus mengawali ceritanya dari bagian mana.
"Itu—"
"Kalau tidak ada yang ingin kamu sampaikan, silahkan keluar," ujar Dewa dengan acuh.
Menarik nafas panjang, Arsila berbicara dengan pelan pada Dewa. "Saya—apa Bapak tau gimana caranya ngirim orang ke luar negeri buat berobat?" tanya Arsila.
Baru saat itulah Dewa mendongak, menatap Arsila yang berdiri di depan dia. Dewa melirik sekilas pada bagian tempat tidur yang masih kosong. "Duduk!" titahnya.
Arsila mendudukkan dirinya di tepi kasur.
"Siapa yang sakit?" tanya Dewa.
"Ibu saya. Dia leukimia, dokter bilang kalau rumah sakit yang bagus buat leukemia ada di Singapura—"
"Kamu mau saya mengirim ibu kamu ke sana?" tanya Dewa dengan alis terangkat.
Arsila mengangguk canggung. "Saya minta tolong, Pak. Saya enggak tahu harus bagaimana dan harus minta tolong sama siapa." Dia kembali menundukkan kepalanya.
Dewa menatap wanita muda itu sebentar, tatapannya tiba-tiba beralih pada tulang selangka Arsila yang tidak terlindung oleh pakaian. Tenggorokannya menjadi kering, Dewa tiba-tiba saja merasa haus.
"Apa yang akan saya dapatkan?" tanya Dewa.
"Hah?" Arsila menatap Dewa dengan bingung.
"Kalau saya mengirim ibu kamu ke luar negeri dan membiayai semua biaya pengobatannya, apa yang akan kamu berikan pada saya?"
Raut wajah Dewa terlihat serius tanpa ada tanda-tanda bercanda sama sekali. Arsila kebingungan, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Arsila sebenarnya tahu apa yang Dewa maksudkan.
"Saya... " Wanita itu mendadak kehilangan kata-kata.
"Saya pengusaha, Arsila. Saya tidak melakukan sesuatu dengan cuma-cuma," ujar Dewa lagi.
"A-apa pun yang Bapak mau. Yang penting buat saya adalah ibu saya yang harus melakukan pengobatan." Arsila memantapkan hatinya, dia sadar bahwa setelah ini dia mungkin tidak akan bisa lepas dar Dewa.